email : [email protected]

28.5 C
Jambi City
Saturday, November 23, 2024
- Advertisement -

Kembalikan Hak Mahasiswa UNJA, Jangan Menunggu Pemilihan Rektor!

Populer

Sudah tepat 18 bulan lamanya sejak habisnya SK Kepengurusan BEM KBM UNJA, MAM KBM UNJA dan BEM di lingkup Fakultas Universitas Jambi dan sampai detik ini, Pemilihan Umum Mahasiswa Universitas Jambi atau biasa disebut PEMIRA UNJA belum dapat dilaksanakan. Hal ini terjadi dikarenakan pihak Rektorat tidak mau mengeluarkan SK bagi KPU dan BAWASLU UNJA yang telah tersusun pada agenda yang diselenggarakan oleh MAM KBM UNJA tanpa alasan yang jelas.

Apa yang dilakukan oleh rektorat merupakan perampasan hak mahasiswa menjalankan fungsi demokrasi di dunia kampus. Terlebih lagi Indonesia, negara tempat kita berada merupakan negara demokrasi dan kampus bukan hanya sekedar wadah pencetak tenaga kerja bertitel sarjana maupun ahli, tetapi juga merupakan miniatur negara yang menjadi gambaran generasi muda dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara serta wadah di mana setiap insan intelektual berkumpul.

Semenjak “pengebirian” yang dilakukan Rektor Universitas Jambi terhadap BEM dan MAM, dinamika kampus pun melemah. Gerakan mahasiswa pun mulai melemah karena kehilangan sistem pemerintahan di kampus itu sendiri, beberapa kelompok gerakan mahasiswa pun mulai berdiri sebagai efek ketidakpuasan akibat perbuatan “tercela” yang dilakukan oleh birokrasi terhadap sistem demokrasi kampus.

Pihak birokrasi mengubah wajahnya menjadi otoriter, dan berfokus pada pencitraan “UNJA menuju PTN-BH” dengan banyaknya pembangunan yang sebenarnya tidak terlalu memiliki urgensi. Bahkan tatkala Mendikbudristek RI yaitu Nadiem Makarim mengadakan kunjungan ke Universitas Jambi pada 22 September 2021, pihak rektorat pun memasang spanduk pada gedung RS UNJA yang terbengkalai dengan tulisan “Sedang Dalam Pembangunan” dan namun, kenyataannya gedung tersebut tidak pernah ada progresnya. Hal ini semakin menunjukkan bahwasanya pihak birokrasi hanya peduli pada pencitraan, namun tidak peduli pada hak mahasiswanya.

Baca juga  PBAK SEMI VIRTUAL DI UIN STS JAMBI, SEJUMLAH MAHASISWA PERTANYAKAN URGENSINYA

Pengebirian ini pula berdampak pada kesulitannya mahasiswa untuk membantu sesama mahasiswa yang mengalami permasalahan pada kuliahnya, karena tidak adanya wadah rill yang seharusnya dapat mempersatukan setiap mahasiswa dari berbagai fakultas maupun program studi. Seperti kasus pelecehan yang dialami mahasiswa Unja pada tanggal 31 Oktober 2022 saat sedang magang di RSUD Raden Mattaher, kasus ini baru mencuat sebulan setelah kejadian yaitu 3 Desember 2022 dan sangat disayangkan, pihak birokrasi yang sudah memiliki Satgas PPKS yang seharusnya dapat bertindak cepat justru lebih lambat daripada aliansi Mahasiswa yang berunjuk rasa kepada rektor tatkala sedang ada pagelaran UNJA EXPO 2022.

Aksi yang dilakukan ini pun bertujuan agar pihak birokrasi dapat mengambil tindakan tegas, namun justru mendapatkan perilaku yang tak menyenangkan dari pihak keamanan dengan dalih bukanlah waktu yang tepat. Bukankah membatasi orang berpendapat itu melawan hukum? Setiap orang punya hak dalam menyampaikan pendapat, sebagaimana tertulis dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Selain itu, kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan sebagian dari hak asasi manusia yang dijamin dalam pasal 19 dan 20 Deklaratio Universal of Human Right PBB.

Apa yang dilakukan oleh pihak birokrasi saat ini merupakan bentuk baru dari NKK/BKK yang pernah terjadi di era rezim Soeharto, Mahasiswa UNJA saat ini dihadapkan kepada NKK/BKK bentuk baru dengan cara-cara yang lebih halus dan elegan. Gerakan politik moral mahasiswa ditutup aksesnya dan dikerdilkan hingga hanya menyisakan Himpunan Mahasiswa sebagai Lembaga eksekutif yang ruang lingkupnya hanya sebatas satu program studi. Aktivitas kemahasiswaan pun dibatasi kepada aktivitas pemuasan kebutuhan keilmuan, dan penelitian semacam seminar, lokakarya, dan program Kampus Merdeka.

Baca juga  BEM FKIP Sukses Gelar Webinar Pendidikan hingga Peran Kita Award 2021

Hal ini berakibat kepada pengucilan peran politik mahasiswa terhadap negara dan mematikan nalar kritis mahasiswa serta menciptakan pola pikir bahwa mahasiswa berkuliah hanya sebagai “produk” untuk memuaskan syahwat dunia industri. Ini serupa dengan motif diadakannya pendidikan oleh bangsa penjajah pada akhir abad ke-19 di Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda. Pendidikan kala itu bertujuan untuk menciptakan tenaga kerja yang terdidik, bukan sekedar terlatih. Pada saat itu pun, pendidikan dibeda-bedakan berdasarkan golongannya.

Kini, pola yang serupa pun mulai diterapkan kembali walau dibuat dengan bahasa yang lebih modern. Padahal, keberadaan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara jauh lebih mulia dibanding sekedar menciptakan “produk” bagi perusahaan. Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan terbagi menjadi tiga yaitu: membentuk budi didik yang halus pada pekerti peserta, meningkatkan kecerdasan otak peserta didik, dan mendapatkan kesehatan badan pada peserta didik.

Pendidikan politik penting bagi mahasiswa sebagai upaya penyampaian (penanaman) nilai-nilai pengetahuan dan ideologi warga negara mengenai bagaimana diberlakukannya sistem, regulasi, dan kebijakan negara termasuk hal yang dirumuskan oleh kebijakan dan demokrasi politik. Namun, perilaku otoriter yang ditunjukkan oleh Rektor dan jajarannya menunjukkan bahwasanya mereka “phobia” terhadap kritik mahasiswa yang akan menghambat kepentingan mereka, serta menciptakan mindset bahwasanya mahasiswa harus “manut” buta terhadap kebijakan kampus tanpa adanya ruang sedikitpun dari kampus untuk mengkritik.

Harapan akhir bagi penulis adalah, kembalikan hak mahasiswa untuk berdemokrasi dan menjalankan definisi kampus sebagai miniatur negara serta mahasiswa sebagai agent of social control dimulai dari mengontrol kebijakan rektorat agar tidak “kebablasan”. Jangan menunggu pemilihan rektor baru bergerak mengadakan pemira agar menciptakan “pencitraan” baru lagi. Apalagi masa pemilihan rektor UNJA periode selanjutnya akan sangat berdekatan dengan tahun 2024 yang merupakan tahun pesta politik Indonesia dengan adanya Pemilu. Sehingga ini sangat rawan akan kepentingan politik praktis dari pemilihan ini dan perlu adanya pengawalan dari mahasiswa yang fungsinya menjalankan politik moral.

Baca juga  Restorasi Tatanan Demokrasi Kampus: Hak Mahasiswa yang Diabaikan oleh Rektor UNJA dan Upaya Konkret Menyelamatkan Mahasiswa Baru

Akhir kata penulis ucapkan,
“Jika kampus adalah motor, rektor adalah pengemudi, maka pemerintahan mahasiswa adalah remnya. Motor yang dicabut remnya akan bergerak tanpa hambatan, tetapi akan mencelakakan pengemudinya.”

Jordi Adrian Syach, Mahasiswa UNJA Semester 8

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru