Oleh: Ghina Syauqila
Ibnu Qayyim rahimahullah pernah bertutur,
“Andai engkau tahu bagaimana Allah mengatur urusan hidupmu, pasti hatimu akan meleleh karena cintamu pada-Nya.”
Cinta. Pantaskah kita mencintai sesuatu yang lain lebih dari kecintaan kita pada-Nya? Atau kita meragukan cinta kita pada-Nya? Sekarang, coba merenung. Sebesar apa cinta kita pada-Nya? Cinta selaras dengan kepatuhan. Seorang pecinta akan mencintai apa yang dicintai yang dicinta dan tulus melakukan apapun karena serta untuk yang dicinta. Belum cinta namanya jika tidak patuh kepada yang dicinta. Sekarang, coba nilai sendiri. Bagaimana ibadah kita. Sudahkah kita shalat lima waktu? Sudahkah kita shalat tepat waktu? Atau masih ada shalat yang kita lalaikan? Sudahkah kita rutin membaca Alquran? Kita juga bisa mengevaluasi keseharian kita pada orang lain untuk melihat sejauh mana kita mencintai-Nya. Contohnya, berbakti pada orang tua, berinteraksi dengan lawan jenis, membantu orang lain, dan hal-hal lainnya. Karena, tatkala kita mencintai sesuatu, tentu saja kita akan berjuang mati-matian agar tetap dekat dan agar bisa dicintai oleh yang kita cinta. Sudahkah kita berjuang untuk menggapai cinta-Nya? Jika kita belum berpikir untuk berusaha menggapai cinta-Nya, tentu kalimat ‘aku cinta Allah’ belum kita utarakan sepenuh hati.
Ustadz Muhammad Al-Habsyi pernah mengungkapkan dua resep agar kita dicintai Allah.
“Dua resep agar dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah melakukan hal yang tidak disukai karena itu disukai Allah, serta meninggalkan hal yang disukai karena itu tidak disukai Allah.”
Seringkali kita bermalas-malasan melaksanakan perintah-Nya. Seperti enggan melaksanakan shalat tepat waktu, menolak untuk berpuasa sunnah atau menunaikan shalat sunnah, menunda-nunda untuk berhijab syari bagi muslimah, tidak ingin bersedekah, membiarkan Alquran kita berdebu, dan sebagainya. Hal-hal tersebut sungguh sangat dicintai-Nya, namun cenderung berat untuk dikerjakan kebanyakan dari orang-orang yang padahal mengaku beriman. Sedangkan hal-hal berbau duniawi dan sia-sia justru seringkali disukai orang-orang, seperti membuang-buang waktu untuk bermain game, menjelajahi media sosial untuk men-stalking artis-artis favorit, berkumpul dengan teman-teman atau nongkrong, namun di dalamnya sama sekali tidak ada hal berfaedah yang dilakukan—justru menggibahi orang lain, membicarakan hal-hal buruk, dan seringkali, tatkala waktu shalat masuk, orang-orang seringkali abai hingga lupa waktu. Contoh lainnya lagi adalah berpacaran, menghambur-hamburkan uang demi keinginan yang sebenarnya tidak terlalu penting, mengenyangkan perut hingga begah, dan hal-hal lainnya yang memperturutkan hawa nafsu, padahal hal-hal tersebut tidak disukai-Nya.