Jakarta, Oerban.com – Dewi Rahmawati Nur Aulia dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), menyatakan bahwa menurunnya tingkat pernikahan di Indonesia bisa disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor dari dalam masyarakat sendiri dan faktor dari luar masyarakat.
“Faktor internal yaitu berasal dari situasi kebatinan/psikologis individu. Hal ini dapat berasal dari trauma pengalaman individu melihat dalam proses pembelajaran orang-orang sekitarnya, termasuk ketiadaan figur ayah dan rendahnya keterampilan interpersonal individu untuk membangun hubungan lawan jenis. Selain itu, faktor eksternal dapat berasal dari tingkat pendidikan yang semakin tinggi, di mana kesadaran untuk membangun karir (terutama pada perempuan), serta adanya ketimpangan kesempatan ekonomi antara laki-laki dan perempuan juga menjadi hal yang memengaruhi rendahnya tingkat pernikahan yang terjadi pada beberapa tahun terakhir,” ujarnya dalam podcast Ngobrol Kebijakan (Ngobi) The Indonesian Institute, Episode 16 dengan judul “Menikah saat ini penting gak sih?”.
Selain itu, Felia Primaresti, seorang peneliti di bidang politik di TII, juga mengungkapkan sebuah fenomena yang sedang terjadi di kalangan anak muda melalui platform media sosial TikTok. Fenomena ini mencoba untuk menimbulkan pertanyaan mengenai relevansi pernikahan bagi mereka, terutama saat mereka sedang mengeksplorasi potensi karir dan pengembangan diri.
Menurut Dewi, fenomena penurunan angka pernikahan yang terjadi di beberapa negara maju di Asia, seperti Jepang, Korea, dan Singapura, juga dialami oleh Indonesia.
“Data BPS menunjukkan terdapat penurunan angka pernikahan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada tahun 2022-2023. Meskipun dalam tahun-tahun tersebut (terutama masa pandemi) Indonesia juga dilaporkan mengalami kenaikan angka kelahiran. Namun, secara umum terjadinya dua fenomena tersebut disebabkan adanya aturan pembatasan seperti PSBB. Aturan pembatasan ini menyebabkan sebagian besar masyarakat mengalami keterbatasan, baik dalam sistem kerja yang mengharuskan untuk bekerja dari rumah (Work From Home) dan mengurangi penyelenggaraan hajat (termasuk resepsi pernikahan),” ujar Dewi.
Felia menjelaskan bahwa masalah pernikahan adalah urusan pribadi dan merupakan pilihan serta kebebasan individu. Dewi setuju dengan pandangan tersebut, menyatakan bahwa keputusan untuk menikah seharusnya didasarkan pada kesadaran dan keputusan pribadi, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
Selain itu, karena pernikahan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, persiapan yang matang diperlukan, termasuk dalam mempersiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Salah satu upaya untuk itu adalah melalui program generasi berencana (Genre), yang sebelumnya telah menjadi program utama pemerintah dalam memperkenalkan pentingnya persiapan generasi muda untuk kehidupan keluarga.(*)
Editor: Ainun Afifah