Baru-baru ini beredar berita seorang anak pejabat melakukan aniaya. Mario Dandy Satriyo, anak pejabat ditjen pajak, dikabarkan menganianya seseorang yang bernama David. Latar belakang penganiayaan tersebut tidak terlepas dari andil kekasih Mario yang merupakan mantan kekasih pihak yang teraniaya, David.
Sang kekasih meminta agar David dan Mario bertemu, namun David tidak mengindahkan. Akhirnya sang kekasih membuat siasat agar keduanya bertemu. Pada pertemuan tersebut maka terjadilah aniaya yang dilakukan Mario terhadap David. Kejadian tersebut direkam dan diunggah di media sosial hingga viral di dunia maya.
Kejadian serupa bukan kali pertama terjadi. Banyak kasus anak pejabat yang menunjukkan arogansi atau penyimpangan lainnya. Namun melalui kejadian ini memunculkan pertanyaan, mengapa anak pejabat cenderung arogan atau sombong?
Data empiris yang menunjukkan arogansi anak pejabat memang tidak ditemukan. Sampai saat ini belum ada penelitian jumlah populasi anak pejabat yang arogan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua anak pejabat menyimpang atau arogan. Namun setidaknya, stigma arogansi anak pejabat memang sejak dahulu dirasakan suhunya di kalangan masyarakat.
Film Warkop DKI yang popular di zamannya juga menyinggung tentang arogansi anak orang kaya. Sebagaimana komentar kasino pada film ‘Gensi Dong’ yang dirilis tahun 1980 menyinggung gelagat anak orang kaya yang sikapnya tidak mengenakkan.
“Ah udah nggak usah lu pikirin. Memang begitu anak orang kaya, lagunya suka tengil. Kayak duit bapaknya halal aja!,” kata Kasino dalam film ‘Gengsi Dong’.
Arogansi merupakan sebuah sikap yang menyatakan diri lebih dibanding yang lain, bisa juga disebut sebagai sombong, angkuh atau melebih-lebihkan kemampuan dan kehebatan diri. Sikap arogan berbeda dengan percaya diri, keduanya berada dalam garis yang sama namun dalam proporsi yang berbeda. Sikap arogan cenderung dimanifestasikan ke dalam tingkah merendahkan orang lain bahkan berujung anarkis. Maka, dalam hal ini sikap arogansi justru tergolong sikap bawah yang tidak dapat ditolelir.
Kondisi, lingkungan ataupun pemahaman menjadi alasan seseorang untuk bertindak arogan. Maka terkait kasus arogansi anak pejabat, terdapat beberapa hal yang menjadi kemungkinan alasan di balik sikap tersebut.
Pertama, kemudahan fasilitas tanpa kompensasi. Anak-anak pejabat cenderung mendapatkan kenyamanan fasilitas dari orang tuanya yang kaya. Hal tersebut tentu tidak mengapa, yang menjadi persoalan ialah kenyamanan tersebut mereka peroleh secara cuma-cuma tanpa kompensasi (pertukaran dari sesuatu yang diinginkan). Jika hal ini terjadi seseorang akan cenderung semena-mena dan tidak mengerti arti dari pengorbanan. Akibatnya, sikap ini akan melahirkan arogansi. Sebagai contoh, barang yang didapat dari hasil jerih payah sendiri tentu penghargaan dan penjagannya akan berdeda dengan barang yang didapat secara cuma-cuma.
Kedua, prinsip hidup orang tua. Prinsip hidup orang tua akan mempengaruhi cara dia bertindak dan memperlakukan anak. Beberapa orang ada yang mencapai sukses (baca: pejabat sukses) melalui jerih payahnya dengan masa lalu yang memiliki berbagai kesulitan hidup. Saat orang tua sudah mencapai kesuksesan, dia akan memberikan kenyamanan hidup dan fasilitas kepada anaknya dengan dalih ‘anak saya tidak boleh menderita seperti saya dahulu.’ Akhirnya sang anak diperlakukan dengan manja hingga ia sulit untuk mandiri dan mengontrol diri.
Ketiga, self defense atau upaya mempertahankan diri. Sebagian orang akan cenderung bersikap arogan saat ia dalam keadaan tertekan, hal tersebut dilakukan sebagai upaya mempertahankan diri. Hanan Parves dalam tulisannya “Psychology of an Arrogant Person” mengatakan bahwa alasan dibalik tindakan arogan dalam mempertahankan diri ialah karena berusaha melindungi ego dan harga diri.
Sebagaimana yang diketahui, anak pejabat cenderung memiliki tuntutan yang besar, baik dari keluarga maupun lingkungan sosial. Tindakannya akan di-labeling dengan penghakiman ‘anak pejabat masa gitu’ atau ‘anak pejabat harus lebih sukses dari orang tuanya.’ Keadaan ini yang jarang disadari bahwa mereka dalam kondisi yang tertekan dan memiliki tanggungan yang besar hingga menghasilkan berbagai respon dari kondisi tersebut, salah satunya bertindak arogan. Namun selain itu, tak jarang pula dijumpai beberapa anak pejabat atau anak orang kaya lainnya yang mengambil sikap menyembunyikan identitasnya karena tidak ingin berada dalam bayang-bayang orangtuanya.
Tantangan Pengasuhan
Berdasarkan kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa memang tidak semua anak pejabat bersikap arogan bahkan ada yang mencoba untuk bersikap independent. Namun, menilik pada sebagian yang melakukan penyimpangan, agaknya ini menjadi tantangan sekaligus perhatian bagi para orang tua.
Orangtua ialah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Merekalah yang seharusnya memberi pengaruh besar terhadap keberhasilan anaknya. Hal ini tentu ditanamkan sejak kecil yang mana fase tersebut merupakan pembentukan pondasi kepribadian dari seorang anak. Pendidikan tersebut akan berpengaruh kepadanya hingga sudah dewasa kelak. Apabila seorang anak didik dengan pengasuhan yang benar, maka akan memudahkannya untuk menghadapi berbagai problematika hidup di masa depan.
Terkait kasus yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan terkait gelagat dan tingkah polah anak pejabat, semoga dapat menjadi pelajaran bagi setiap orang terutama seseorang yang memilik posisi yang sama agar tidak berbuat hal yang demikian.
Ainun Afifah, Editor Oerban.com