Jakarta, Oerban.com – Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sepakat menaikkan dukungan dana dalam program PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) yang diberikan kepada pekebun dengan luas maksimal 4 hektare per kepala keluarga. Besaran sekitar Rp60 juta per hektare.
Hanya saja, kenaikan ini belum disetujui oleh Komite Pengarah yang terdiri dari para menteri, dengan ketua Menko Perekonomian. Sehingga BPDPKS statusnya akan mengusulkan kenaikan tersebut.
Hal itu terungkap dalam rapat antara petani sawit dengan BPDPKS dan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian yang difasilitasi Ketua DPD RI.
Pada pertemuan itu, Ketua DPD RI didampingi Senator asal Lampung, Bustami Zainuddin, M Syukur (Jambi) dan Abdullah Puteh (Aceh), serta Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin.
Dari petani, hadir Kobar Sembiring dan Soaduon Sitorus dari Jaringan Petani Sawit Nasional dan Pahala Sibuea dari Persatuan Organisasi Petani Sawit (POPSI).
Hadir pula Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman, Direktur Keuangan Zaid Burhan Ibrahim dan Kepala Divisi USDM Adi Sucipto. Sedangkan Kementan diwakili Plt Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Ditjen Perkebunan Kementan, Baginda Siagian dan Sub Koordinator Pemasaran Domestik Ditjen Perkebunan Kementan, Elvy Risma.
“Keputusan pemerintah melalui Komite Pengarah besarannya adalah Rp30 juta per hektare dari sebelumnya Rp26 juta per hektare. Memang tak cukup. Dana Rp30 juta itu hanya sampai pada bibit ditanam saja. Kami sudah mengusulkan agar ada evaluasi atau peninjauan. Usulan dari kami Rp60 juta per hektare. Namun semua itu harus berdasarkan persetujuan Komite Pengarah,” kata Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman, di Lantai VIII Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (11/8/2022).
Eddy mengaku sepakat untuk dapat terus meningkatkan kualitas petani. Tujuannya, untuk membangun kemandirian di kalangan petani. Hanya saja, konsep dasar pemerintah sesungguhnya adalah bantuan Rp30 juta dalam bentuk hibah, selanjutnya petani dapat memanfaatkan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) Pertanian dengan bunga yang rendah.
Eddy menjelaskan, BPDPKS merupakan pelaksana teknis dari keputusan yang ditetapkan oleh Komite Pengarah yang terdiri dari delapan menteri yang diketuai oleh Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Menurutnya, BPDPKS, Badan Layanan Umum (BLU) yang dibentuk pemerintah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kembali harga sawit yang terdampak imbas penurunan harga minyak sawit yang begitu tajam.
Hal ini terjadi imbas produksi yang terus meningkat namun serapan sawit di pasaran tak cukup baik.
“Pemerintah terus mendorong agar serapan sawit di pasaran bisa bertambah. Maka dibentuklah BPDPKS ini dengan tujuan dapat meningkatkan penyerapan, sehingga mengangkat kembali harga sawit,” kata Eddy.
Eddy melanjutkan, tugas lain BPDPKS adalah melakukan peremajaan sawit, pengembangan SDM, memberikan dukungan prasarana dan sarana serta promosi meningkatkan harga dan serapan sawit.
“Terkait PSR, BPDPKS tugasnya hanya menyalurkan dana berdasarkan rekomendasi teknis dari Dirjen Perkebunan Kementan,” tegas Eddy.
Ia menjelaskan, jika di pasaran, harga CPO lebih tinggi dibanding minyak bumi. Oleh karenanya, dana yang dihimpun oleh BPDPKS diperuntukkan membayar selisih antara CPO dan harga minyak bumi dalam program Biodisel (B30).
Dikatakannya, dari tahun 2016 hingga Juli 2022 realisasi penyaluran dana PSR seluas 256.743 hektare untuk 112.414 pekebun dengan dana PPKS sebesar Rp7,01 triliun.
Untuk realisasi program pengembangan SDM total sebesar Rp247,61 miliar. Sedangkan untuk program insentif biodisel sejak 2015 hingga Juli 2022 sebesar Rp136,5 triliun.
“Proyeksi penerimaan Rp60 triliun, hanya dengan dinamika yang terus berkembang, penerimaan optimis Rp42 triliun.
Koordinator Jaringan Petani Sawit Nasional Soaduon Sitorus menjelaskan, kondisi petani sawit semakin memprihatinkan sejak adanya Pidato Larangan Ekspor Produk Turunan Buah Sawit pada Jumat, 22 April 2022 yang berlaku efektif mulai 28 April 2022.
“Saat harga global sedang membaik, tiba-tiba pemerintah menerbitkan regulasi untuk memutuskan rantai perdagangan global. Ini berdampak luas pada rantai industri sawit, terutama petani sawit sebagai pihak yang paling rentan di bagian hulu rantai industri,” papar dia.
Sekalipun pemerintah telah mencabut larangan ekspor, harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani bahkan semakin anjlok dari Rp 4000/kg menjadi Rp 600/kg.
Dikatakannya, dengan bantuan program PSR sebesar Rp30 juta, maka harus kembali berutang, sehingga yang terjadi justru terlilit utang. “Bukan membuat petani semakin mandiri, namun malah terlilit utang,” kata Sitorus.
Soal parenting, Sitorus menilai persoalan sesungguhnya bukan bibit unggul atau bibit lokal. Dikatakan Sitorus, ketika berbicara peningkatan hasil perkebunan sawit, sebagai petani sawit swadaya ia menilai yang utama adalah perawatan.
“Kami sudah menghabiskan biaya investasi besar. Hanya karena bibit unggul lalu harus di-parenting. Kami bisa perlihatkan bibit lokal bisa mengalahkan bibit unggul. Produktivitas rendah karena perawatan rendah, bukan karena bibit. Maka, solusinya adalah peningkatan perawatan,” tegas Sitorus.
Sitorus pun meminta agar BPDPKS dibubarkan karena dianggap tak begitu banyak memberikan manfaat untuk petani sawit. Pahala Sibuea dari Persatuan Organisasi Petani Sawit (POPSI) berharap ada yang membidangi khusus petani sawit di tubuh BPDPKS, sehingga fokus mengurus segala keperluan petani.
“Dana yang digunakan BPDPKS itu kan dipungut dari petani juga. Maka, kami berharap ada yang membidangi khusus petani, sehingga jelas arahnya,” harap Pahala.
Plt Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Ditjen Perkebunan Kementan, Baginda Siagian menjelaskan, sejauh ini pihaknya menerima data yang telah diverifikasi oleh dinas perkebunan secara berjenjang mulai dari tingkat kabupaten hingga provinsi. “Setelah itu disampaikan kepada kami dan kami melakukan verifikasi ulang,” kata Baginda.
Di sisi lain, menanggapi hal ini, Senator asal Jambi M Syukur mengaku mengetahui detail problematika yang dihadapi petani sawit.
“Jadi, tolong dijelaskan secara terperinci, berapa dana yang ada sekarang, berapa dana yang disalurkan kepada petani, berapa besaran unit-unitnya, termasuk berapa dana yang tersisa. Kita ingin persoalan ini dapat segera diselesaikan agar petani sawit kita mendapatkan manfaat dari program yang digulirkan pemerintah,” kata M Syukur.
Sementara Senator asal Aceh, Abdullah Puteh meminta agar petani sawit bisa mendapatkan keuntungan langsung tanpa waktu dan mekanisme yang cukup panjang.
“Kalau mengandalkan KUR Pertanian, implementasi di lapangan ternyata juga sulit diakses oleh petani. Alih-alih tanpa agunan, fakta di lapangan sulit diakses petani tanpa adanya jaminan,” ujar Puteh.
Sedangkan Senator asal Lampung, Bustami Zainuddin berharap pemerintah dapat mengedepankan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, dalam hal ini petani sawit.
“Pemerintah itu hadir untuk memberikan solusi. Pemerintah itu kan untuk memerintah. Masa kita tidak bisa mencarikan solusi yang mempermudah dan berpihak kepada petani. Segera harus diputuskan. Kasihan petani kita,” papar Bustami.
Ketua DPD RI sendiri merasa belum menemukan titik terang atas persoalan yang dihadapi petani sawit. La Nyalla pun berharap persoalan ini dapat segera dituntaskan. Oleh karenanya, Senator asal Jawa Timur itu meminta agar dijadwalkan pertemuan di Komite II dengan menghadirkan semua pihak secara lebih lengkap.
“Saya mau persoalan ini segera dituntaskan, diselesaikan. Kasihan petani kita. Saya minta dijadwalkan pertemuan yang lebih lengkap dan harus dihadiri pengambil keputusan,” kata Senator asal Jawa Timur itu.(*)
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini