Jakarta, Oerban.com – Prolegnas 2025 – 2029 sudah ditentukan, dan mulai banyak desakan merampungkan RUU-RUU tertentu. Badan Aspirasi Masyarakat yang menjadi alat kelengkapan terbaru DPR juga mulai digodog. Namun, partisipasi masyarakat juga tetap menjadi keresahan di mana sejumlah UU di masa lampau kurang mengikutsertakan masyarakat.
Terkait hal ini, Christina Clarissa Intania, Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) memberikan pandangannya bahwa, “Permasalahan partisipasi masyarakat dalam pembuatan UU adalah tidak adanya jaminan bahwa masukan yang diberikan masyarakat akan dipertimbangkan oleh DPR dan diakomodir ke dalam RUU. Kemudian, tidak ada juga kewajiban untuk menjelaskan hasil akhir keputusan ketentuan mana yang diakomodir oleh DPR,” jelas Christina dalam diseminasi penelitian laporan tahunan TII INDONESIA 2024 bidang hukum, berjudul ”Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang” (10/12/2024).
”DPR banyak mendapat aspirasi dari beragam media dan cara. Namun, pengumpulan aspirasi dan tindak lanjutnya tidak jelas karena tidak adanya medium yang terintegrasi untuk semua aspirasi publik bisa dikumpulkan secara transparan, sehingga bisa dipertimbangkan sepanjang jalannya permbahasan RUU dan dipertanggungjawabkan oleh publik,” ungkap Christina berikutnya.
Arif Adiputro, Peneliti Indonesian Parliamentary Center, dalam kesempatan yang sama menyampaikan juga bahwa, ”Sekilas produk legislasi DPR telah mencapai angka yang sangat signifikan. Namun, hal ini bukan berarti bagus karena proses pembentukan RUU dari jalur kumulatif terbuka merupakan ‘fast track legislation’ lebih banyak disahkan dibanding tertutup yang adalah bagian dari Prolegnas. Kemudian kualitasnya juga menjadi perhatian,” dalam pernyataannya.
”Akibatnya, banyak masyarakat yang ke MK untuk mengujikan UU. Dan sayangnya, masih ada anggota DPR yang bilang ’kalau tidak suka bisa MK saja’. Ini pola pikir yang harus diubah. Masa barang ’jelek’ berikan ke rakyat,” tegas Arif.
Zainal Arifin Mochtar, Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, menimpali, ”Konsep partisipasi dalam pembentukan UU kita tidak jelas. Jika partisipasi harus dilakukan di semua tahap pembuatan UU, maka bagaimana partisipasi dilakukan saat pengesahan RUU, di mana pihak yang bisa terlibat adalah Presiden untuk menyetujui? Secara keseluruhan, pengaturan mekanisme partisipasi dalam pembentukan UU perlu dikritisi lagi. Pemahaman akan konsep partisipasi perlu dipahami secara dasar dan menyeluruh,” jelas Zainal.
”Pasal 96 dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu dikritisi secara mendasar juga. Jangan sampai terjebak menerjemahkan partisipasi hanya pada batasan Pasal ini saja,” pungkas Zainal.
Di akhir, Christina menambahkan pentingnya manajemen aspirasi yang disampaikan oleh publik ke DPR. ”Jangan sampai aspirasi yang diberikan tidak ada tindak lanjut yang jelas. Harus ada mekanisme penerimaan aspirasi yang baik, tercatat jelas dan transparan. Dengan demikian, hal ini bisa ditindaklanjuti selama pembahasan dan dipertanggungjawabkan oleh publik,” ujar Christina.
Arif juga menutup dengan usulan, ”DPR perlu memperkuat tata kelola dengan menyiapkan basis data yang sistematis. Database ini diharapkan dapat membantu DPR dalam menentukan siapa saja yang harus diundang dan dilibatkan dalam proses penyusunan undang-undang, sehingga pandangan yang diberikan menjadi lebih representatif dan berbobot. Keterlibatan yang terencana akan meminimalkan potensi pengabaian terhadap kelompok tertentu dalam proses legislasi,” tutupnya.(*)
Editor: Ainun Afifah