Kota Jambi, Oerban.com – Sahabat, tentu kita pernah melewati masa remaja. Masa remaja adalah masa pencarian identitas, di mana dalam petualangan mencari identitas diri tersebut, kita sebenarnya membutuhkan role model loh, Sahabat. Mengapa demikian?
Remaja merupakan suatu tahap di mana seseorang bertransisi dari masa kanak-kanak akhir dan menuju masa dewasa awal. Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah melakukan pencarian identitas diri. Pada masa remaja, seseorang berusaha menelusuri dan menemukan jati diri sebenarnya. Dalam ilmu psikologi, remaja merupakan suatu fase perkembangan yang krusial karena pada penghujung periode ini, seseorang harus menemukan identitas diri yang sejati. Menurut Erik Homburger Erikson—yang biasa dikenal dengan nama Erik Erikson—dalam Teori Tahap Perkembangan Psikososial yang ia kemukakan, hal tersebut dinamakan identity versus role confusion, alias identitas versus kebingungan peran, yaitu sebuah tugas perkembangan psikososial yang dialami seseorang pada fase remaja.
Pada tahun-tahun awal masa remaja, adaptasi dengan teman-teman sebaya dalam kelompok masih tetap menjadi suatu hal yang penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Namun, mereka mulai menelusuri identitas diri sendiri serta tak lagi merasa puas dengan menjadi sama dalam segala hal dengan teman-teman sebayanya. Identitas diri tersebut meliputi upaya untuk menemukan dan menjelaskan siapa dirinya serta bagaimana perannya dalam masyarakat (Hurlock, 2011).
Dikutip dari buku ‘Childhood and Society’ yang pernah digubah Erik Erikson pada 1950, Erikson menyatakan bahwa pada masa remaja, seseorang memerlukan seorang peraga atau model sebagai pedoman yang secara langsung tak langsung menuntun, mendampingi, membimbingnya untuk menemukan jati diri. Pada masa remaja pula, remaja mencari identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan sebagai bagian dari identitas diri yang utuh. Dalam pencarian jati diri ini, seorang remaja banyak mendapatkan kontribusi dari lingkungan sosialnya, termasuk di dalamnya role model atau tokoh idola sebagai orang yang dikagumi sekaligus berarti untuk dirinya. Role model ini merupakan salah satu hal yang amat memengaruhi pembentukan jati diri seorang remaja. Role model atau tokoh idola biasanya merupakan sosok-sosok figur dari kelas papan atas, seperti penyanyi, aktor atau aktris, dan atlet. Namun, orang mana pun juga bisa menjadi role model bagi seseorang, karena role model merupakan sosok yang mampu membuat seseorang tersebut terkesan.
Diane E. Papalia, seorang psikolog berkebangsaan Amerika Serikat, mengungkapkan remaja yang berhasil mencapai identitas diri yang teguh akan memperoleh pandangan tentang dirinya secara jelas, mampu memahami dan menoleransi orang lain, bijaksana menyikapi kelebihan dan kekurangan diri sendiri, responsif terhadap beragam kondisi, mampu menata masa depan dengan bijak, dapat menghadapi berbagai persoalan dengan cerdik, percaya diri, dan maksimal dalam melakoni perannya di lingkungan sosial.
Role model-lah yang menjadi guru sejati bagi seorang remaja untuk bertemu dengan identitas diri yang sejati pula. Role model ini yang jejaknya diikuti oleh remaja, yang akan memodifikasi sikap dan tingkah laku remaja, dan memengaruhi jalan mana yang akan seorang remaja tempuh untuk meraih identitas diri ini, sehingga identitas diri yang kelak dicapainya sebagian besar dibangun serta ditentukan oleh role model.
Albert Bandura, seorang psikolog yang mencetuskan Teori Kognitif Sosial menyatakan bahwa proses seseorang untuk memastikan siapa role model dan bagaimana ia meniru langkah-langkah sang role model disebut dengan modeling alias pemodelan. Proses pemodelan (modeling) yang dilakukan remaja terhadap role model-nya dalam proses pencarian keutuhan jati diri bukanlah sekadar imitasi belaka; modeling ini meliputi penambahan atau pengurangan suatu perilaku yang diamati dan menggeneralisasi dari satu pengamatan dan pengamatan lainnya, melingkupi proses kognitif, yang bertujuan memrepresentasikan secara simbolis sebuah informasi dan menyimpannya supaya dapat digunakan di masa depan.
Menurut Albert Bandura, ada beberapa faktor yang menentukan proses modeling seseorang, yaitu: 1) karakteristik sang model. Seorang model dengan kedudukan dan status sosial yang tinggi, berkompeten, berkualitas tinggi, dan berdaya lebih mungkin diikuti oleh seseorang, dibandingkan kebalikannya; 2) karakteristik dari subjek yang melakukan modeling. Orang yang tidak memiliki status dan kapabilitas lebih mungkin melakukan pemodelan, seperti anak-anak yang melakukan modeling terhadap orang dewasa, atau seseorang yang amatir terhadap seorang pakar atau ahli; 3) konsekuensi dari perilaku yang akan ditiru memiliki dampak terhadap pihak yang melakukan modeling.
Role model yang positif akan memberikan contoh yang positif bagi remaja, sehingga remaja dapat merasakan dampak positif apabila meniru perilaku role model. Sebaliknya, role model yang negatif akan memberikan contoh negatif yang dapat merugikan atau merusak diri seorang remaja.
Oleh karena itu, apabila Sahabat masih remaja atau memiliki anggota keluarga remaja, pastikan bahwa ia memiliki role model yang baik untuk membantunya membentuk jati diri yang positif, ya!