Oleh: Julisa*
Oerban.com – Di tengah ketidakadilan dan dominasi budaya patriarki di awal kemunculan Islam, berdirilah seorang perempuan luar biasa yang namanya terukir abadi dalam sejarah perjuangan iman: Sumayyah binti Khayyat.
Ia bukan hanya perempuan pertama yang memeluk Islam, tetapi juga manusia pertama yang menyandang gelar syahidah, gugur di jalan Allah karena mempertahankan keyakinan.
Dalam lintasan sejarah Islam, Sumayyah adalah simbol keteguhan hati, keberanian perempuan, dan kekuatan spiritual yang tak tertandingi.
Latar Belakang: Hidup dalam Keterbatasan
Sumayyah berasal dari kalangan budak, status sosial paling rendah dalam masyarakat Makkah saat itu. Ia dimiliki oleh Abu Hudzaifah sebelum akhirnya dimerdekakan.
Setelah merdeka, ia menikah dengan Yasir bin Amir, seorang pendatang dari Yaman, dan dikaruniai seorang anak bernama Ammar bin Yasir, yang kelak menjadi sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kehidupan keluarga ini penuh kesederhanaan, jauh dari kemewahan duniawi. Namun, justru dalam keterbatasan itulah tumbuh kekuatan luar biasa: iman.
Mereka termasuk orang-orang awal yang menerima dakwah Rasulullah dan menyatakan keislamannya secara terbuka yang merupakan sebuah keputusan yang sangat berisiko di tengah permusuhan Quraisy terhadap Islam.
Siksaan dan Syahadah
Keteguhan keluarga Yasir dalam memegang ajaran Islam membuat mereka menjadi sasaran empuk kebencian kaum musyrik Quraisy. Mereka diseret ke tengah padang pasir, di bawah terik matahari Makkah, diikat dan disiksa tanpa ampun.
Abu Jahal, salah satu pemimpin Quraisy yang paling keras menentang Islam, secara khusus menyiksa Sumayyah karena kebenciannya yang mendalam.
Dalam kondisi tubuh yang lemah, kulit yang melepuh karena panas dan cambukan, Sumayyah tetap tak bergeming.
Ketika ditawari keselamatan jika mau kembali kepada kekafiran, ia menolak tegas. Dengan penuh keberanian ia berkata, “Allah adalah Tuhanku dan Muhammad adalah Rasul-Nya.”
Kemarahan Abu Jahal memuncak. Ia akhirnya membunuh Sumayyah dengan menikamkan tombak ke tubuhnya. Dalam kondisi demikian, Sumayyah gugur sebagai syahidah pertama.
Rasulullah menyaksikan penderitaan ini dan memberikan kabar gembira, “Shabran yaa aala Yasir, fa inna maw’idakumul jannah” (Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya tempat kalian di surga).
Keteladanan Abadi
Sumayyah binti Khayyat mengajarkan bahwa kekuatan seorang perempuan tidak bergantung pada harta, status, atau kedudukan. Ia hanyalah seorang mantan budak, namun namanya terpatri abadi sebagai pahlawan iman.
Keteguhannya dalam mempertahankan keyakinan, bahkan hingga nyawa menjadi taruhannya, adalah pelajaran besar tentang makna perjuangan spiritual.
Relevansi di Era Modern: Menjadi Sumayyah di Tengah Arus Zaman
Saat ini, perempuan tidak lagi menghadapi siksaan fisik karena beriman, namun tantangan tetap ada, dengan bentuk yang berbeda.
Di tengah era digital dan globalisasi, banyak perempuan muslimah menghadapi tekanan untuk:
- Melepaskan identitas keislaman demi diterima lingkungan sosial,
- Mengikuti standar kecantikan dan gaya hidup yang bertentangan dengan nilai Islam,
- Mengorbankan peran keluarga demi ambisi duniawi,
- Diam terhadap ketidakadilan karena takut kehilangan posisi atau reputasi.
Dalam situasi ini, spirit Sumayyah sangat relevan. Ia mengajarkan bahwa menjadi perempuan tangguh bukan berarti kehilangan kelembutan, dan menjadi perempuan beriman bukan berarti terpinggirkan. Sebaliknya, perempuan yang teguh pada nilai-nilai Islam adalah pilar kekuatan dalam masyarakat.
Menjadi Sumayyah masa kini berarti:
- Berani menyuarakan kebenaran, meski bertentangan dengan arus mayoritas,
- Menjaga kehormatan dan identitas diri di tengah normalisasi gaya hidup bebas,
- Mendidik anak-anak dengan nilai tauhid, meski dunia terus menawarkan ideologi lain,
- Menguatkan sesama perempuan agar saling mendukung dalam kebaikan.
Penutup: Sumayyah binti Khayyat di Mata Zaman
Sumayyah bukan sekadar tokoh sejarah, tetapi cahaya penuntun di setiap zaman. Ia menunjukkan bahwa perempuan mampu menjadi garda terdepan dalam perjuangan, bukan karena kekuatan fisik, tetapi karena keteguhan iman.
Dalam dunia yang terus berubah, di mana nilai dan prinsip sering dipertukarkan demi kenyamanan atau pengakuan, kisah Sumayyah menjadi pengingat bahwa harga sebuah keyakinan adalah surga.
Dan perempuan yang memegangnya dengan teguh, seperti Sumayyah, akan selalu dikenang sebagai pilar kekuatan umat.
Semoga kita semua, terutama para perempuan muslim agar dapat meneladani keberanian dan kesetiaan Sumayyah, menjadi pembela kebenaran yang tak gentar meski dunia menekan dari segala arah. Karena pada akhirnya, bukan dunia yang menjadi tujuan, tetapi ridha dan jannah dari Allah.
*Penulis merupakan Mahasiswi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jambi