email : [email protected]

29.7 C
Jambi City
Thursday, November 21, 2024
- Advertisement -

78 Tahun Indonesia Merdeka: Apakah Masyarakat Benar-benar Merdeka?

Populer

Oerban.com – Indonesia telah merdeka sejak proklamasi Kemerdekan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan telah diakui secara de facto dan de jure oleh negara tetangga maupun dunia. Indonesia berdiri dengan berasaskan kepada Pancasila dan UUD 1945. Lalu, apa arti merdeka?

Merdeka artinya bebas. Bebas dalam arti masyarakat tidak lagi mengalami berbagai macam penindasan dan kezaliman bangsa asing maupun bangsa sendiri.

Merdeka berarti sejahtera, sebagaimana diamatkan dalam Alinea ke-IV pembukaan UUD NRI 1945 yang berbunyi,”Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan ikut memajukan kesejahteraan umum…”. Masyarakat sejahtera artinya terbebas dari kemiskinan, dapat menikmati pendidikan, memiliki kebebasan dalam mengungkapkan pendapat dan berekspresi di depan public, tidak ada diskriminasi ras, suku, budaya, agama, gender dan golongan termaksud diskriminasi dalam  hal akses hukum.

78 tahun Merdeka, apakah rakyat Indonesia merasakan merdeka dalam arti yang sebenarnya? Meskipun telah bebas dari jajahan dan intervensi dari negara lain, tetapi Indonesia masih tetap terjajah dalam negeri sendiri dan oleh bangsa Indonesia sendiri, terutama dalam akses hukum.

Adanya perbedaan akses hukum antara si kaya dan si miskin telah mengingkari makna merdeka bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin. Adanya perbedaan akses hukum juga telah menyalahi prinsip kemanusiaan di dalam hukum humaniter yaitu asas “equality before the law”, bahwa setiap orang sama di mata hukum. Selain itu, realitas penegakan hukum di negara ini juga menyalahi pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi “segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Baca juga  Mayoritas Ahli Hukum Adalah Penipu?

Ungkapan, ‘Lo punya uang, lo punya kuasa’, memang benar adanya. Mari berkaca pada kasus terbaru, kasus penembakan polisi di rumah polisi oleh jenderal polisi pada bulan Juli 2022 lalu. MA mengabulkan permohonan kasasi terpidana dengan nomor perkara 813K/Pid/2023 dan memotong pidana yang tadinya hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Kejahatan besar yang sudah terbukti masih bisa mengelak dari hukuman yang sudah seharusnya

Mengingat kembali kasus nenek  Asyani  yang tua dan miskin harus dipenjara karena dituduh mencuri pada tahun 2015 atau kasus “membela diri dari begal malah jadi tersangka” headline berita seperti ini tentu sudah tidak asing lagi di negara ini. Selain itu banyak kasus-kasus lain yang tidak di proses oleh kepolisian hanya karena pelapor adalah orang biasa yang tidak punya uang dan kuasa. Hal ini yang menyebabkan banyak masyarakat lebih memilih media sosial sebagai sarana awal agar kasusnya dapat diproses, sehingga terkenal tagar “No viral, no justice”. Fakta bahwa Hukum  hanya bertindak adil dan tegas kepada masyarakat miskin dan menutup mata terhadap orang yang ber-uang dan punya kedudukan, semakin membuktikan bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah tumpul ke atas.

Menurut penulis ada beberapa hal yang menjadi penyebab susahnya akses hukum di Indonesia bagi masyarakat biasa, yaitu lemahnya penegakan hukum, hal ini dapat dilihat dari pembuatan UU dengan pasal-pasal kontroversi dan lebih berpihak pada penguasa. UU kontroversi terbaru dapat dilihat pada pasal-pasal KUHP baru dan UU Cipta Kerja. Selain itu penegakan hukum yang diwarnai dengan uang, sehingga banyak kasus suap, korupsi yang menjerat aparat penegak hukum, yang menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum terutama aparat kepolisian, berdasarkan survey Nasional LSI pada bulan Februari 2023 dalam penegakan hukum, kepercayaan (sangat + cukup percaya) terhadap Kejaksaan paling tinggi (72.5%), sementara Kepolisian paling rendah, 64% cukup atau sangat percaya. Selain itu, trending-nya tagar “percuma lapor polisi” dan fakta bahwa banyak masyarakat yang lebih banyak menaikan kasusnya di medsos agar cepat di proses oleh pihak kepolisian.

Baca juga  Terorisme Masalah Kompleks yang Tak Kunjung Usai

Selain itu, ketidaktahuan masyarakat akan hukum membuat banyak masyarakat bingung dalam mengambil Tindakan, mudah percaya, terutama pada orang yang terpandang dan berkedudukan karena dianggap lebih tau. Selain itu, rendahnya kesadaran hukum masyarakat dapat menyebabkan penegakan hukum yang tidak adil dan praduga tidak bersalah.

Bangsa Indonesia belum bisa merasakan arti dari kata merdeka yang sebenarnya, terutama untuk mereka yang ekonominya menengah ke bawah. Susahnya akses hukum menjadi salah satu factor, di mana hak mereka untuk dilindungi tetapi diabaikan.

Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus dibenahi dari dalam, karena awal kekacauannya dari internalnya. Kemudian sistem senioritas harus dihilangkan di mana bawahan harus selalu patuh kepada atasan baik diperintah hal baik ataupun buruk, selain itu penegak hukum harus bertindak lebih tegas dalam memberikan keadilan, patuh terhadap peraturan bukan perintah dari atasan ataupun orang-orang yang berkepentingan. Selain itu, adanya sosialisasi hukum kepada masyarakat terkait hukum, meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum di masyarakat, seperti memberi edukasi dan  informasi yang mudah dipahami terkait hukum.

Penulis: Monas, Paralegal Lembaga Pendampingan Perempuan dan Anak Bina Aisyah KALTIM

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru