Oleh : Wawan Saputra
Teks Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebenarnya telah tidak lagi asing bagi segenap anak bangsa semenjak berada di bangku sekolah dasar, yang memang kala itu teks UUD 1945 ini adalah merupakan salah satu klise seremonial di tiap-tiap senin pagi kala prosesi upacara bendera, yang sebenarnya adalah merupakan rutinitas mingguan yang mungkin diperuntukkan sebagai kurikulum edukasi dini kesadaran semangat patriotik dan kesadaran bernegara.
Pagi 18 Agustus 1945 (10 Ramadhan 1364 H) adalah merupakan batu tapal keadaban Nasional kita, yang mana hari itu adalah merupakan awal mula perumusan serta hari yang telah melahirkan dasar ideologi bangsa dan negara kita (Pancasila) Dieja dengan Pantjasila kala itu, serta konstitusi Oendang-Oendang Dasar 1945 untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan dengan proses penuh khidmat demi kemenangan cita-cita bersama yakni Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil makmur yang di ridhai Allah Ta’ala.
Sebagai dasar Negara, Pancasila merupakan asas kerohanian dalam ilmu kenegaraan Filsafat Negara. Dalam kedudukan ini, Pancasila merupakan sumber tata nilai dan norma dalam setiap sendi penyelenggaraan serta sebagai muara tertib (hukum) bernegara. Konsekuensinya, seluruh aturan perundang-undangan serta peranakannya harus senantiasa bersandar kepada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Baik itu pembagian kekuasaan, lembaga-lembaga tinggi Negara, hak dan kewajiban warga Negara, keadailan sosial, dan seterusnya.
Maka bolehlah dikatakan bahwa 18 Agustus 1945 itu layaknya di gelari sebagai hari kebebasan kita dari Darwinisme berbangsa dan bernegara (tertib hukum tertinggi), yang walau memang tidaklah serta merta membumi hanguskan hasrat dan insting kebinatangan warga Negara secara kodrat tentunya, yang barang tentu siapa saja (setiap warga Negara) berpotensi untuk mengusik ketertiban bernegara via legitimasi legal palsu dan seterusnya.
Dalam perjalannya, dinamika konstitusi kita mengenal beberapa periode kiblat keadaban Nasional, yang diantaranya periode Oendang-Oendang Dasar, konstitusi Republik Indonesia Serikat, periode Udang-Undang Dasar sementara, periode Udang-Undang Dasar 1945, hingga akhirnya melahirkan periode Udang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada Tahun 1999 yang tercatat telah di amandemen sebanyak empat kali sepanjang sejarah.
Perjalanan nya cukup pelik sebenarnya, sehingga menjadikan kita sebagai bangsa yang berperadaban kaya (proses pemutlakan supremasi hukum) yang dibarengi dengan dinakamika bangsa dari masa ke masa, lantas akankah kelak akan melahirkan Trisila, Ekasila dan sterusnya sebagai keadaban Nasional kita? Yang tentunya diperlukan perdebatan panjang kemanusiaan demi menjaga asa keberlangsungan khittah pendiri bangsa.
Tegaknya hukum dan peraturan merupakan salah satu tujuan pengawasan dan pengimbangan dalam penyelenggaraan kenegaraan modern yang mengharuskan adanya diferensiasi antara berbagai lembaga kenegaraan menurut kekhusususan bidangnya, terutama kekhususan eksekutif, legislatif, serta yudikatif.
Tugas utama sistem pemerintahan serta yang menjadi tolok ukur keberhasilan ataupun sebaliknya ialah kemampuan memelihara ketertiban dengan mengatur serta menyelesaikan segala bentuk dinamika sosial yang berkembang di dalam masyarakat. Namun ketertiban itu sendiri memerlukan parameter-parameter berupa peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan hukum. Maka dalam menjalankan tugasnya dalam menegakkan ketertiban, pemerintah secara keseluruhan berkewajiban mempertahankan agar parameter-parameter itu dipegang teguh serta dilaksanakan dengan taat oleh kekuasaan itu sendiri, terutama kekuasaan eksekutif.
Karena pada dasarnya kekuasaan eksekutif memiliki segala fasilitas dan prasarana untuk melanggar norma peradaban dengan dampak yang amat luas terhadap seluruh sendi kehidupan bernegara, maka sistem pengawasan dan pengimbangan harus terlebih dahulu dan utama diciptakan antara ketiga unsur kekuasaan itu sendiri. Pengawasan dan pengembangan akan terwujud jika masing-masing dari ketiga kekuasaan itu independen antara satu dengan yang lain, serta bebas melaksanakan pengawasan serta pengembangan antara satu dengan yang lain.
Secara khusus, terkait dengan usaha penegakan hukum dan peraturan, sistem peradilan yang independen serta berfungsi secara penuh merupakan jaminan kelembagaan yang paling kuat bagi tegaknya hukum dan peraturan. Sebaliknya jika sistem peradilan yang ada tidak mampu untuk melepaskan dari dari pengaruh pemerintahan eksukutif ataupun pengaruh luar lainya, maka akan mengakibatkan runtuhnya ketentuan hukum dan peraturan yang di cita-citakan bersama.
Yang kadang kala dalam realitas sosial masyarakat kerap di pertontonkan perbuatan asusila sosial secara telanjang di muka publik, yang mana kerap menelan pil pahit kadang kala seseorang yang bersalah jika dipandang dari kacamata realitas namun tidak terbukti jika dipandang dari kaca mata legal formal pun sebaliknya, ironis memang jika hukum itu bisa saja di jungkir balikkan dan bahkan direkayasa. Yang bahkan dikalangan Orang Amerika berkembang pameo “All lawyers almost liars” (para ahli hukum hampir semuanya adalah penipu) yang dalam artian mereka-mereka berkeahlian dan berpotensi untuk menciptakan muslihat hukum, sehingga suatu perkara hukum yang salah bisa saja dengan tiba-tiba menjadi benar dengan pembenaran dan seterusnya.
Pada dasarnya hakim Lawyers itu tidak hanya merujuk kepada hakim pengadilan semata, namun juga merujuk kepada setiap orang yang diberi kepercayaan, Yakni mereka-mereka yang di percaya untuk menyelesaikan suatu perkara-perkara sosial. yang tentunya mereka tidaklah terbebas dari potensi tindak kolusi dalam memutuskan perkara-perkara yang ada. Diisyaratkan hendaknya para hakim itu (juru adil) tidak tergoda oleh godaan finansial dan kepentingan-kepentingan.
Dengan demikian mereka dituntut berlaku adil guna menegakkan keadilan dengan tanpa pemihakan yang diimbaskan oleh godaan-godaan finansial serta kepentingan lainya. Dalam ilmu-ilmu sosial dijelaskan bahwa tindakan manusia yang paling mungkin melanggar keadilan adalah tindakan menggunakan kekuasaan. Yang oleh karenanya, kekuasaan adalah sesuatu yang harus ditunaikan sebaik-baik dan seadil-adilnya.
Pelaksanaan pemerintahan yang baik akan selalu mendorong pelaksanaan asas hukum dan keadilan secara tegar, tegas dan teguh.
Sebaliknya, tanpa adanya penegakan asas hukum dan keadilan, pelaksanaan pemerintahan yang baik adalah sebuah kemustahilan. Melemahnya kesadaran arah dan tujuan bernegara yang menggejala hari-hari ini berdampak sangat negatif kepada ikhtiar penegakan hukum dan keadilan.
Yang di karenakan beroperasinya praktik bisnis penegakan hukum yang terkutuk itu telah mengakibatkan masyarakat semakin banyak kehilangan kepercayaan kepada proses-proses penegakan hukum dan keadilan para aparatur penegakan hukum yang bersangkutan. Terlepas dari benar tidaknya sinyalemen dalam masyarakat tentang dunia peradilan kita yang terjerat oleh jaringan penyimpangan dan manipulasi hukum yang terorganisasi, segi penegakan hukum adalah merupakan salah satu titik paling rawan dalam kehidupan bernegara, yang pada realitasnya dalam masyarakat terdapat banyak sekali indikasi bahwa tindakan kejahatan berlangsung dengan lindungan helat hukum (perangkat hukum) sehingga tak jarang membuahkan legitimasi legal palsu.
Ketaatan kepada hukum dan aturan adalah pangkal keadaban / kesopanan. Sebaliknya, masyarakat tanpa hukum (hukum rimba) adalah ciri-ciri masyarakat tak berkeadaban yang menuju kehancuran. Seperti halnya di dalam rimba, dalam keadaan kacau dan lemah hukum, yang berfungsi dalam masyarakat ialah kekuatan dan kekuasaan yang sewenang-wenang, dan negara hukum yang dicita-citakan para pendiri bangsa seketika berubah menjadi negara kekuasaan.
Yang lemah tidak mampu bertahan menghadapi yang kuat, suatu bentuk darwinisme dalam kehidupan sosial politik, dengan hukum sintasan terbugar melalui seleksi alam yang brutal. Berbeda dengan darwinisme, terwujudnya kebaikan dalam kehidupan sosial manusia senantiasa memerlukan campur tangan kepemimpinan yang benar serta sadar akan tugas-tugas kemanusiaan.
Situasi hari ini sudah sangat mengerikan sebenarnya, hukum hari-hari ini kerap kali digunakan sebagai alat politik dan alat kekuasaan. Yang tak jarang pula hukum itu digunakan untuk memperkaya diri (bisnis penegakan hukum / mafia peradilan), fasilitas hukum juga kerap kali digunakan oleh pebisnis-pebisnis hukum sebagai modal politik yang sejatinya adalah merupakan (kegilaan peradaban / luka bangsa) yang harus segera disembuhkan.
Maka yang paling utama diperlukan adalah kesadaran keadilan pada pribadi masing-masing komponen bangsa yang harus diletakkan dalam kerangka sosial dan struktural. Yang jelasnya, penegakan supremasi hukum adalah salah satu langkah kongkret dan muara segala upaya pengharmonisan serta penertiban dalam berbangsa dan bernegara agar terhindar dari darwinisme berbangsa dan bernegara itu sendiri. Hal itu tentunya tiada lain ialah sebagai perlindungan segenap bangsa dan segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta sebagai ikhtiar untuk memastikan bahwa keadilan dan kepastian hukum adalah merupakan hak dan kemutlakan bagi seluruh rakyat Indonesia.