Jakarta, Oerban.com – Amnesty International (AI) untuk Indonesia meminta rencana pemerintah merevisi pasal-pasal karet di UU ITE tidak sekedar jargon belaka, hal tersebut disampaikan lewat keterangan tertulis yang diposting melalui akun twitter resminya pada Rabu (17/2).
“Pemerintah minta dikritik, tapi ancaman kriminalisasi UU ITE masih di depan mata. Meski Presiden @jokowi sudah meminta @DPR_RI merevisi sejumlah pasal karet dan @DivHumas_Polri membuat aturan penafsiran #UUITE, ini tidak boleh jadi jargon belaka,” Terang AI.
Pada 15 Februari 2021 kata AI, presiden Jokowi meminta polisi untuk lebih selektif menangani kasus UU ITE, permintaan tersebut patut untuk diberikan apresiasi.
Namun, kita juga tidak boleh melupakan fakta bahwa UU ITE sudah tujuh kali digugat ke Mahkamah Konstitusi, Pasal 27 ayat (3) yang mengatur pencemaran nama baik adalah yang paling banyak digugat, tapi gugatan belum pernah berhasil.
Menurut AI, Setidaknya ada tiga pasal bermasalah dalam UU ITE yang paling banyak digunakan sebagai dasar pelaporan untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi.
Pertama, pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik.
Pasal ini bisa sangat subjektif tafsirannya. Ketentuan ‘penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’ bisa menimbulkan penafsiran bermacam-macam karena tidak ada ukuran objektif yang dimaksud secara jelas.
Kedua, pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian dan SARA.Tidak ada batasan jelas tentang SARA dan tindakan apa saja yang dianggap menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Karenanya, pasal ini juga berpotensi merepresi minoritas agama.
“Kedua pasal karet tersebut juga rentan disalahgunakan dan dimanfaatkan oleh siapa saja yang merasa tidak suka dengan pernyataan orang lain,” Kata AI.
Dan yang ketiga, pasal 27 ayat (1) tentang penyebaran informasi elektronik yang melanggar kesusilaan. Ketentuan ‘muatan yang melanggar kesusilaan’ ini tidak punya batasan yang jelas terkait pengaduan kesusilaan sehingga bisa memukul rata setiap aduan menggunakan pasal ini.
Pada pasal bermasalah yang ketiga, AI menyebutkan jika pasal tersebut berpotensi mengkriminalisasi korban kekerasan seksual seperti kasus Baiq Nuril, yang menyebarkan bukti rekaman audio pelecehan seksual terhadap dirinya.
“Jika tidak direvisi, korban kekerasan seksual rentan dikriminalisasi menggunakan pasal ini,” Jelas AI.
Selain Baiq Nuril, Veronica Koman yang mendokumentasikan pelanggaran HAM di Papua, juga dikriminalisasi dengan pasal berlapis, termasuk UU ITE.
Aktivis Muhammad Sandi juga jadi tersangka pencemaran nama baik karena mengadvokasi kerusakan lingkungan yang menimpa ratusan warga di Ketapang, Kalimantan Barat.
Dan yang paling dekat adalah delapan anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditangkap dengan dugaan melanggar UU ITE karena mengkritik pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Nyatanya, meski dikritik, UU Omnibus Law tetap disahkan.
Pada tahun 2020, AI mencatat setidaknya ada 119 kasus dengan 141 orang dilaporkan karena dianggap melanggar UU ITE, jumlah terbanyak dalam 6 tahun terakhir.
Pelapor terbanyak berasal dari pejabat negara (kepala daerah, kepala instansi/departemen, menteri, aparat keamanan). Sedangkan terlapor terbanyak adalah kelompok aktivis, pelajar dan mahasiswa, guru, dosen, dan jurnalis.
Tak lupa, AI memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar dapat memastikan UU ITE tidak lagi digunakan untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi, di luar batasan yang diizinkan sesuai hukum dan standar HAM Internasional.
AI juga meminta pemerintah memastikan UU ITE tidak disalahgunakan oleh pihak berwenang untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, berhati nurani, beragama dan berkepercayaan.
Terakhir, AI meminta kepada pemerintah untuk mencabut ketentuan pidana pencemaran nama baik yang terkandung dalam UU ITE, dan memastikan setiap laporan pencemaran nama baik ditangani secara perdata.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini