Oleh : Ave Olivia *
Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mengobati infeksi akibat bakteri pada manusia ataupun pada hewan. Antibiotik tidak dapat membunuh virus sehingga tidak dapat digunakan untuk mengobati penyakit akibat virus. Golongan antibiotik sangat banyak, antara lain golongan penisilin seperti amoksilin, ampisilin; golongan sefalosporin seperti cefadroksil, sefiksim dan golongan makrolid seperti eritromisin, claritromicin; golongan fluorokuinolon seperti ciprofloksasin, levofloksasin dan aminoglikosida seperti gentamicin dan neomicin. Antibiotik bekerja dengan cara membunuh bakteri atau menghambat pertumbuhan pertumbuhannya. Jenis antibiotik yang dapat membunuh bakteri disebut bakterisidal, sedangkan antibiotik yang hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri disebut bakteriostatik. Dapat dikatakan, antibiotik bakteriostatik lebih lemah dibandingkan bakteri bakterisidal. Pada pasien dengan imunitas yang relatif baik dan derajat infeksi yang ringan, sistem imun tubuh diharapkan dapat mengeliminasi bakteri penyebab infeksi yang telah dihambat pertumbuhannya oleh antibiotik bakteriostatik.
Antibiotik digolongkan dalam obat keras, dimana diberi lambang lingkaran merah dengan huruf K, yang artinya pemakaiannya harus dengan resep dokter. Dokter dalam meresepkan antibiotik akan mempertimbangkan jenis bakteri penyebabnya. Jenis bakteri penyebab infeksi dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Selagi menunggu hasil laboratorium tersebut, dokter biasanya akan memberikan antibiotik jenis spektrum luas yaitu antibiotik yang dapat digunakan untuk sebagian besar jenis bakteri. Pemilihan antibiotik jenis ini berdasarkan pengalaman empiris dokter dan pola resistensi bakteri terhadap antibiotik pada area domisili pasien. Sedangkan antibiotik spektrum sempit hanya efektif untuk jenis bakteri tertentu.
Antibiotik untuk dapat membunuh atau menghambat bakteri harus berada diatas kadar hambat minimal. Kadar hambat/bunuh minimal adalah minimal kadar antibiotik di area infeksi yang diperlukan untuk dapat menghambat pertumbuhan ataupun membunuh bakteri. Fluktuasi kadar antibiotik di dalam tubuh dipengaruhi oleh proses farmakokinetik obat. Didalam tubuh, obat akan mengalami proses absorpsi, distribusi dan eliminasi. Absorpsi adalah proses penyerapan obat dari saluran cerna atau tempat pemberian obat lainnya seperti injeksi ke dalam darah. Obat selanjutnya akan terdistribusi mengikuti sirkulasi darah menuju tempat area infeksi. Proses eliminasi obat meliputi metabolisme dan ekskresi obat. Obat akan mengalami metabolisme di hepar yang menyebabkan perubahan struktur obat. Perubahan struktur tersebut sebagian besar menyebabkan obat tidak lagi mempunyai efek farmakologis. Sedangkan proses ekskresi adalah pengeluaran obat dari tubuh melalui urin ataupun feses. Setiap obat mempunyai waktu paruh, yaitu waktu yang diperlukan untuk obat berkurang menjadi separuhnya. Waktu paruh inilah yang biasanya digunakan untuk menentukan frekuensi pemberian obat. Apabila kita lupa mengkonsumsi obat atau terlambat dari jam yang sudah tentukan maka proses eliminasi tetap berlanjut sehingga kadar obat di dalam darah terus turun dan pada saat inilah kadar obat dapat berada di bawah kadar hambat minimal.
Kadar hambat minimal di area infeksi dapat dicapai apabila antibiotik diminum secara tepat. Cara konsumsi antibiotik yang benar adalah dengan interval waktu yang tetap yaitu dalam hitungan durasi jam sebagai contoh setiap 8 jam setiap 6 jam dan seterusnya. Penulisan cara konsumsi antibiotik 3 kali sehari atau satu kali sehari seharusnya tidak lagi digunakan dalam penulisan resep. Karena 3 kali sehari atau satu kali sehari tidak mempunyai durasi interval konsumsi obat yang teratur. Jika dituliskan 3 kali sehari, obat biasanya akan diminum saat pagi, siang dan malam. Semisal obat pagi diminum sekitar jam 7 kemudian siang sekitar jam 13.00 dan malam sekitar jam 20.00. Apabila kita hitung durasi interval antara minum obat pertama ke obat kedua adalah 6 jam, dari minum obat kedua ke minum obat ketiga adalah 7 jam, kemudian dari minum obat ketiga ke minum obat ke empat pada keesokan harinya adalah 11 jam. Frekuensi minum obat yang tidak teratur seperti ini akan menyebabkan kadar obat di dalam darah/area infeksi lebih rendah daripada kadar hambat minimal yang akan menyebabkan antibiotik tersebut kehilangan efek dalam membunuh ataupun menghambat pertumbuhan bakteri.
Dokter dalam memberikan resep antibiotik juga akan mempertimbangkan lama pengobatan, apakah 3 hari, 5 hari bahkan 14 hari. Hal ini berdasarkan pertimbangan infeksi yang terjadi, jenis kuman penyebab dan antibiotik yang digunakan. Setiap bakteri penyebab infeksi mempunyai durasi waktu kontak dengan antibiotik yang berbeda sehingga bakteri tersebut dapat benar-benar mati. Oleh karenanya, pasien harus mengkonsumsi antibiotik sesuai yang diresepkan.
Pemakaian antibiotik secara tidak tepat dapat menyebabkan terjadinya resistensi bakteri, yaitu bakteri tidak lagi dapat dibunuh dengan suatu antibiotik. Resistensi bakteri dapat terjadi karena bakteri mempunyai kemampuan untuk menghasilkan enzim tertentu yang dapat menghidrolisis atau merusak struktur suatu antibiotik sehingga antibiotik tersebut tidak lagi berfungsi. Selain itu, bakteri juga mempunyai kemampuan untuk memompa keluar kembali antibiotik yang telah masuk ke dalam sel bakteri. Adanya perubahan pada permeabilitas dinding sel bakteri ataupun mutasi protein bakteri tempat antibiotik bekerja juga dapat menyebabkan antibiotik tidak lagi efektif membunuh bakteri tersebut. Semakin banyak jumlah antibiotik yang mengalami resistensi, maka infeksi bakteri tidak akan terkendali dan dapat meningkatkan risiko keparahan dan kematian serta penyebaran infeksi yang lebih luas. Jadi, sangat penting untuk mengkonsumsi antibiotik secara tepat sehingga infeksi yang terjadi dapat diatasi secara optimal dan mencegah terjadinya resistensi bakteri.
Penulis Dosen Farmakologi FKIK UNJA