email : [email protected]

23.6 C
Jambi City
Friday, November 22, 2024
- Advertisement -

SDGs Desa dan Perencanaan Pembangunan

Populer

Oleh : Agus Mustawa

Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Andalas

Asap hitam yang mengepul ke langit-langit, suara keras yang memekakan gendang telinga, di beberapa titik telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat yang tinggal di pinggiran Sungai Batang Tabir di Merangin, Jambi.

Sungai Batang Tabir pada masanya merupakan sumber kehidupan penting bagi seluruh masyarakat yang tinggal disekitarnya, karena keberadaan sungai dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan menangkap ikan, pertanian, MCK, penambangan emas tradisional dan sarana transportasi air. Hampir keseluruhan manfaat sungai tersebut bernilai ekonomis bagi masyarakat.

Namun pada dewasa ini kondisi sungai tabir telah mengalami rusak parah, baik hulu maupun hilir semuanya telah rusak ulah tangan manusia. Penyebab kerusakan sungai tidak lain dan tidak bukan karena aktivitas penambangan emas tidak resmi atau lebih dikenal Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI).

Sesuai namanya, Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Tabir meliputi lima kecamatan dalam Kabupaten Merangin yaitu: Kecamatan Tabir Barat, Tabir Ulu, Tabir, Margo Tabir dan Tabir Ilir. 

Maraknya aktivitas PETI menggunakan Dompeng ini membawa dampak buruk pada masyarakat pedesaan yang tinggal di sepanjang aliran sungai tersebut, sebab sungai menjadi kian dangkal dan melebar sehingga berpotensi terjadinya bencana banjir bandang, bahkan pada giliraanya dapat menghancurkan capaian-capain pembangunan desa itu sendiri.

SDGs Desa

Berangkat dari keprihatinan banyak pihak ikhwal memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya manusia, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui World Commision on Environment and Development (WCED) atau lebih umum dikenal komisi Brundtland pada Oktober tahun 1987 menerbitkan laporan berjudul Our Common Future. Dalam laporan tersebut, untuk pertama kali istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan.

Baca juga  TAK SESUAI STANDAR TUGAS, GARDA TERDEPAN COVID-19 DI PERBATASAN BUNGO-BANGKO, MINTA KEPEDULIAN PEMERINTAH DAERAH

Pada dasarnya ruh dari konsep pembangunan berkelanjutan ini adalah mendorong proses pengintegrasian pembangunan dan lingkungan kedalam satu kesatuan utuh yang diarahkan sebagai agenda politik global. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan hari ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.”

Seiring berjalan waktu, konsep pembangunan berkelanjutan dikembangkan lebih jauh menjadi Millennium Development Goals (MDGs). Kemudian ditransformasikan menjadi Sustainable Development Goals (SDGs).

Di Indonesia, konsep Sustainable Development Goals (SDGs) mendapat perhatian khusus dari Menteri Desa PDTT Republik Indonesia, sebagaimana dalam tulisannya “SDGs diakui sebagai produk PBB paling komprehensif, mencakup segenap aspek pembangunan yang telah dikenal manusia, dan sudah diadopsi Indonesia sejak lama sesuai Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017. (http://sdgsdesa.kemendesa.go.id/sdgs-desa-2/)

Dalam tataran impelemtasi konsep SDGs dijadikan acuan dalam penyusunan program prioritas penggunaan dana desa tahun 2021. Merujuk pada Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2021, terdapat 10 program yang diprioritaskan, yaitu: 1) Desa tanpa miskin; 2) Desa tanpa kelapran; 3) Desa sehat sejahtera; 4) Keterlibatan perempuan sesa; 5) Desa berenergi bersih dan terbarukan; 6) Pertumbuhan ekonomi desa merata; 7) konsumsi dan produksi desa sadar lingkungan; 8) Desa damai berkeadilan; 9) Kemitraan untuk pembangunan desa; dan 10) Kelembagaan desa dinamis dan budaya partisipatif.

Alternatif Ekonomi Desa

Para pekerja dan pemodal penambang emas di sepanjang aliran sungai tabir mayoritas merupakan masyarakat asli desa setempat. Sebelum menjadi penambang emas seperti sekarang, mereka umumnya berprofesi sebagai petani karet, tukang rumah dan sebagainya.

Peralihan profesi secara massif ini bukan dilakukan tanpa alasan, melainkan karena harga jual karet sangat rendah dan tidak menentu (fluktuatif). Belum lagi getah sekarang (dalam bahasa setempat) sangat susah untuk dikumpulkan. Jadi bertahan sebagai petani karet bukan solusi yang bijak, karena tidak akan cukup memenuhi kebutuhan kehidupan mereka.

Baca juga  Fasilitasi UKW Gratis, Dewan Pers Harapkan Wartawan Kompeten, Jambi Paten!

Di sisi lain, hal yang patut disesalkan dari aktivitas PETI adalah pembabatan terhadap pohon-pohon duku, durian dan mangga yang kawasannya berada dipinggir dekat pinggirs sungai. Hal ini menyabakan generasi kita hari ini telah berlaku tidak adil terhadap generasi mendatang. Padahal apabila tiba musim panen duku ataupun durian, tidak sedikit pemilik kebun yang mendapat tambahan ekonomi yang cukup besar dari hasil penjualan tersebut.

Mencermati problem PETI diatas, faktor pendorong utamanya didasari oleh masalah ekonomi, maka sudah selayaknya penggunaan dana desa ke depan betul-betul berfokus pada penguatan perekonomian masyarakat. Adapun langkah awal yang dapat ditempuh, yaitu:

Pertama, pemerintah desa bersama para stakeholder harus mulai serius menggali potensi di wilayahnya. Bermodal dana desa yang cukup besar tidak mustahil untuk menciptakan satu desa satu produk unggulan khas lokal. Produk tidak harus berupa barang dan jasa, tetapi bisa saja keunikan budaya.

Kedua, kepala daerah harus menyiapkan iklim yang sehat untuk mendongkrak produk unggulan khas desa, bukan hanya tenaga pendamping tetapi juga membuka akses ke pasar lokal, nasional dan internasional. Tentu langkah kecil ini akan berkorelasi positif dalam menumbuhkan perekonomian masyarakat desa, terutama mencipatakan lapangn kerja baru yang pada gilirannya mengurangi PETI dan kerusakan lingkungan.

Editor : Renilda Pratiwi

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru