Jakarta, Oerban.com – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45) bukan sebuah kitab suci. Sehingga menurutnya, tidak boleh dianggap tabu manakala ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan dan perubahan.
“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memanglah bukan kitab suci, karenanya tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan,” kata Bamsoet dalam acara peringatan Hari Konstitusi Nasional, Rabu (18/8/2021).
“Secara alamiah, konstitusi akan terus berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat,” imbuhnya
Bamsoet menyebutkan, di masa sebelum reformasi Undang-Undang Dasar sangat dimuliakan secara berlebihan. Namun seiring datangnya era reformasi di pertengahan 1998, muncul arus besar aspirasi masyarakat yang menuntut dilakukannya perubahan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal tersebut, lanjut dia, segera disikapi oleh MPR dengan terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR Nomor 4/1983 tentang referendum melalui Ketetapan MPR Nomor 8/1998.
Wakil ketua umum partai Golkar itu berpendapat, pencabutan Tap MPR telah memuluskan jalan bagi MPR hasil Pemilu 1999 untuk menindaklanjuti tuntutan masyarakat yang Menghendaki perubahan UUD 45. Demikian responsifnya MPR masa itu dalam menyikapi arus besar aspirasi masyarakat.
“Responsivitas yang sama saat ini juga ditunggu masyarakat, berkaitan dengan arus besar aspirasi yang berhasil dihimpun MPR yaitu kehendak untuk menghadirkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN),” tuturnya.
Bamsoet mengungkapkan, ini sudah yang ketiga periode MPR diamanatkan untuk melahirkan PPPHN. Namun belum juga berhasil mendorong masuknya PPHN sebagai bintang pengarah bangsa ke depan, dengan tujuan agar bangsa ini tidak berganti haluan terus menerus tiap pergantian kepemimpinan di tingkat nasional maupun daerah.
Mantan ketua DPR tersebut menambahkan, Indonesia ke depan tidak boleh seperti menari poco-poco, maju 2 langkah mundur 3 langkah. Harus ada arah yang jelas kemana bangsa ini akan dibawa oleh pemimpinnya dalam 20, 30, 50 sampai 100 tahun yang akan datang.
Oleh karena itu, tegasnya, walaupun kedudukan dan wewenang MPR sudah banyak berubah, ruh yang disematkan ke lembaga MPR oleh para pendiri bangsa tidak boleh hilang, yaitu ruh kedaulatan rakyat.
“MPR harus senantiasa mampu menjembatani berbagai aspirasi masyarakat dan daerah, mengedepankan etika politik kebangsaan dengan selalu berusaha menciptakan suasana yang harmonis antar kekuasaan sosial politik dan antar kelompok kepentingan untuk mencapai sebesar-besarnya kemajuan bangsa dan negara,” tandasnya.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini