Jakarta, Oerban.com – Indonesia merupakan salah satu surga, tempat paling aman dan nyaman, bagi para pelaku kekerasan. Sebaliknya, Indonesia adalah neraka, tempat paling berbahaya bagi para korban kekerasan. Kita, manusia Indonesia, dari Presiden sampai Ketua RT, tak pernah serius menghadapi persoalan kekerasan seksual.
Beberapa hari lalu, kita dibuat heboh oleh kasus kekerasan seksual di Inggris yang melibatkan seorang WNI sebagai pelakuknya. Kasus kekerasan dan pemaksaan seksual atau perkosaan yang oleh otoritas hukum setempat pelakunya –sekali lagi seorang WNI– disebut sebagai pelaku perkosaan terbesar dan terparah (the most prolific and the worst) dalam sejarah kekerasan seksual di Inggris membuat banyak di antara kita, manusia Indonesia, malu. Bahkan Sekretaris Kabinet –yang artinya mewakili suara resmi negara– menyatakan dengan tegas, kasus tersebut benar-benar merusak reputasi Indonesia dunia internasional sebagai bangsa penjunjung moral. Indonesia malu karena seorang warganya menjadi pemerkosa terbesar dan terparah dalam sejarah; Indonesia lebih malu karena ternyata WNI pelaku perkosaan adalah seorang gay yang menargetkan laki-laki sebagai target korbannya.
Indonesia malu karena ternyata negeri ini dihuni kaum gay. Maka, alih-alih belajar bagaimana otoritas di Inggris menangani kasus kekerasan seksual ini dengan, paling utama, mempertimbangkan hak-hak para korban seraya melakukan penegakan hukum secara adil dan “powerful,” kita lebih senang fokus pada berbagai kontroversi dan sensasi yang menyertai kasus ini. Kita tidak belajar bagaimana otoritas di Inggris berusaha tidak membuat pernyataan atau langkah yang bisa menyulut dan menghidupkan pandangan publik tentang keterkaitan orientasi seksual dengan perilaku kekerasan. Justru kita, di Indonesia, yang beramai-ramai melakukan judgment, bahkan melakukan “penghukuman,” bahwa tindakan kekerasan tersebut semata-mata didasari oleh orientasi seksual si pelaku sebagai seorang gay. Pemkot Depok bahkan sudah mengeluarkan “kebijakan” untuk melakukan razia komunitas LGBT: sebuah langkah sesat, sesesat-sesatnya, yang sama sekali tidak berhubungan dengan upaya melawan kekerasan seksual.
Begitulah: kita memang tidak pernah serius, tidak pernah bisa serius, saat menghadapi kekerasan seksual; kita tidak pernah serius melakukan berbagai upaya melawan kejahatan kekerasan seksual. Maka, sekali lagi, negeri ini adalah surga bagi para pelaku kekerasan seksual, dan neraka bagi para korbannya.
Jangankan kasus-kasus yang tidak terekspos media dan mata publik, kasus-kasus yang ramai menjadi bahan pembicaraan publik –seperti sering terjadi semisal kekerasan seksual terhadap murid sekolah, santri pesantren, jamaah kelompok keagamaan, pelamar kerja –termasuk tes keperawanan– para pegawai sebuah instansi, dan lain-lain– sama sekali tidak membuat kita tergugah untuk lebih serius melakukan upaya melawan kekerasan seksual. Kita tidak pernah berpikir jika kekerasan seksual adalah persoalan kemanusiaan yang sungguh serius, refleksi berbagai bentuk ketidakadilan! Kita tak pernah merasa malu, para suami di negeri ini, dengan dalih agama, terutama, bisa merdeka, tanpa pernah merasa bersalah, saat melakukan paksaan seksual terhadap para isteri mereka. Mereka sama sekali tidak mengenal consent, yang keluar dalam kondisi sadar dan merdeka, untuk bisa melakukan hubungan seksual, tak terkecuali dalam sebuah lembaga perkawinan sekalipun.
Inilah salah satu ambiguitas paling nyata dalam masyarakat kita terkait kekerasan seksual. Kita merasa malu dengan kekerasan seksual yang berskala “internasional” yang melibatkan WNI sebagai pelaku; kita nyaman, take for granted, tanpa risih sekalipun, dengan berbagai kekerasan seksual yang terjadi di rumah sendiri. Kita tak peduli dengan persoalan kekerasan seksual sebagai persoalan kemanusiaan; kita hanya peduli dengan reputasi tak bernilai.
Saat sedang “kesal” dengan cara kita menyikapi kekerasan seksual –khususnya dipicu oleh kasus di Inggris itu– kami mendapat kiriman “selebaran” dari kantor kepolisian kota Binghamton, New York, di mana kami tinggal saat ini. “Selebaran” itu adalah “sex offender notification”, informasi seorang yang terlibat kekerasan seksual. Dalam selebaran ini, disebutkan dengan jelas nama (termasuk aliasnya), ciri-ciri, dan tindakan kekerasan seksual yang dilakukannya. Dalam selebaran yang saya dapat ini (lihat gambar di bawah), pelaku adalah seorang perempuan, usia 40an, dengan korban remaja usia belasan, dengan tindakan berupa perkosaan. Selebaran –yang bukan sekali ini kami terima– bukan sekedar notifikasi terhadap pelaku yang disebutkan dalam selebaran ini, tapi sebuah “peringatan” agar kita selalu waspada, berkenan melaporkan secepatnya, jika melihat tindakan kekerasan seksual. Inilah salah satu contoh sikap serius dalam menghadapi kekerasan seksual. Bahkan di level lokal sekalipun, kita “disuguhi” situasi yang membuat kita berpikir bahwa kekerasan seksual adalah persoalan serius yang harus dilawan bersama. Tak ada istilah “malu” atau merusak reputasi sehingga kasus kekerasan harus ditutupi.
Bukan saja lembaga-lembaga pemerintah, seperti kepolisian, yang menunjukkan sikap serius. Sekolah, perpustakaan umum, mal, dan lembaga publik lain juga menunjukkan sikap serupa. Kita akan mudah menemukan brosur atau sumber informasi lain tentang kekerasan seksual, termasuk kontak emergensi yang bisa dihubungi saat kita mengalami atau melihat kekerasan seksual ini.
Kita lebih memilih menutupi kejahatan kekerasan seksual, tidak memedulikan kondisi para korban, atas nama menutupi rasa malu. Indonesia akan selalu menjadi surga yang aman dan nyaman bagi para pelaku kekerasan seksual. Memprihatinkan dan mengerikan!
Penulis : Diah Irawaty, Founder LETSS TALK dan Ph.D Candidat socio-cultural Anthropology of New York