Jakarta, Oerban.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti hasil Survei Kepemimpinan Nasional yang dirilis oleh Litbang Kompas pada 21 Februari 2022 lalu.
Lewat laman Instagram resminya, Minggu (27/2/2022) siang, KontraS menyinggung soal tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi – Ma’ruf Amin, hasilnya 73,9 persen publik merasa puas. Yang paling disoroti adalah sekor politik dan keamanan, dengan tingkat kepuasan cukup tinggi, yakni 74,6 persen.
Menurut KontraS, beberapa Indikator kepuasan di sektor politik dan keamanan tidak sesuai dengan realita yang terjadi di lapangan.
Pada indikator pertama, menjaga rasa aman warga dari tekanan, ancaman, dan kejahatan baik di dalam maupun luar negeri yang mendapat angka 69 persen, Kontras mengatakan bahwa di lapangan masyarakat masih kerap mendapatkan intimidasi dan kekerasan bahkan lewat aktor negara.
“Sebagai contoh yang sempat ramai beberapa waktu lalu, terjadi bentrokan antara aparat dan warga yang menolak tambang di Wadas. Beberapa warga mendapatkan represi berupa ditarik, didorong, dipukul dan ditembak gas air mata. Akibat hal tersebut, sejumlah warga mengalami luka-luka,” jelas KontraS.
“Tak sampai disitu, bahkan beberapa warga, advokat LBH Yogyakarta dan jaringan aktivis lingkungan ditangkap tanpa alasan yang jelas. Ironinya, beberapa waktu setelahnya, aparat Kepolisian bersenjata masih sering berkeliling desa. Hal tersebut membuat warga kian takut dan mengganggu hak atas rasa aman masyarakat setempat,” lanjutnya.
Menurut KontraS, Represi terjadi bukan hanya di ruang publik, negara juga dinilai gagal menjamin rasa aman dari serangan digital.
“Peristiwa serangan siber begitu masif mengarah pada aktivis yang menyuarakan penolakan terhadap pemecatan 574 pegawai KPK. Peretasan dan doxxing menyasar pada beberapa aktivis hingga mahasiswa. Sampai saat ini Kepolisian juga belum berhasil mengusut tuntas dan cenderung membiarkan peristiwa serangan digital tersebut. Kemarinpun, akun media sosial Ketua AJI diduga mengalami peretasan,” ungkapnya.
Untuk indikator kedua, menangani konflik antar kelompok, gerakan separatis dan sebagainya, dengan tingkat kepuasan 68 persen. Sampai hari ini, kata KontraS, pemerintah masih gagal mengatasi konflik di Papua yang tak berkesudahan. Pendekatan keamanan lewat penurunan pasukan terus menerus dilakukan tanpa pernah disertai dengan evaluasi yang objektif.
“Hasilnya, kontak senjata terus terjadi dengan mengorbankan masyarakat sipil. Di tahun 2021, berbagai peristiwa penembakan terjadi seperti halnya pada 2 anak dan satu mama di Intan Jaya. Kedua peristiwa itu sampai saat ini tak diusut melalui mekanisme hukum yang jelas. Selain itu, ribuan masyarakat Papua harus terpaksa mengungsi karena konflik yang terus terjadi,” ungkap KontraS.
Indikator selanjutnya, menjamin warga bebas berpendapat dengan angka kepuasan 73 persen. Menurut KontraS juga tidak sesuai dengan realita di lapangan. Hal tersebut karena UU ITE tak kunjung direvisi, padahal akar masalah kriminalisasi ada pada produk hukum tersebut.
“Di Tahun 2021, masih banyak ditemukan kasus kriminalisasi yang didasarkan oleh UU ITE, seperti peristiwa kriminalisasi Stella yang mengunggah keluhan terkait iritasi kulit setelah menjalani perawatan di sebuah klinik. Selain itu, kasus Asrul, seorang Jurnalis di Palopo juga dipenjarakan dengan UU ITE karena menulis liputan dugaan korupsi. Bukannya merevisi pasal-pasal problematik dalam UU ITE, pemerintah justru mengambil langkah membuat pedoman intrepretasi yang sebenarnya tak menjawab persoalan,” kata KontraS.
“Belum lagi penangkapan terhadap pembentang poster dan pengejaran pembuat mural di tahun 2021, menambah panjang rentetan pelanggaran hak kebebasan berpendapat,” tambahnya.
Terakhir, membuka kesempatan bagi masyarakat untuk mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan, dengan tingkat kepuasan 66 persen. KontraS menanggapinya dengan menyentil soal kritik yang dibalas dengan somasi.
“Di tahun 2021, kita justru mengalami penyusutan ruang sipil yang cukup signifikan, ditunjukan dengan banyaknya langkah pembungkaman yang bahkan dilakukan oleh pejabat publik. Terdapat dua somasi yang saat ini sudah berujung pada laporan polisi, yakni terhadap aktivis ICW, egi dan miftah, serta Fatia dan Haris. Padahal yang mereka lakukan merupakan kritik publik dalam rangka pengawasan jalannya pemerintahan,” tutup KontraS
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini