Jakarta, Oerban.com – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai, tuduhan kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Haris dan Fatia terhadap Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan terkesan dipaksakan.
Meski begitu, keduanya tetap menghadiri panggilan Polda Metro Jaya untuk diperiksa pada hari ini, Senin 21 Maret 2022. Kedatangan tersebut merupakan bentuk komitmen warga negara yang patuh dan tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
KontraS menyebutkan, Kasus yang menjerat Haris dan Fatia dapat disimpulkan sebagai kriminalisasi terhadap aktivis atau pembela HAM. Sebab, Haris dan Fatia dilaporkan karena melangsungkan diskusi atas hasil riset beberapa organisasi masyarakat sipil – yang membahas tentang penempatan militer di Intan Jaya dan kaitannya dengan konflik bisnis pejabat publik.
“Kriminalisasi terhadap Haris dan Fatia jelas merupakan bentuk represi terhadap warga sipil yang menyampaikan ekspresinya. Fenomena ini jelas berbahaya, sebab akan berimplikasi pada ketakutan dan pembungkaman publik dalam skala besar,” jelas KontraS seperti dikutip dari keterangan tertulisnya.
Lembaga yang bergerak di bidang advokasi HAM ini mengecam Polda Metro Jaya yang begitu cepat memproses kasus Haris dan Fatia, yakni 6 bulan semenjak laporan polisi yang dilakukan Luhut bersama kuasa hukumnya. Padahal, bukti terhadap persangkaan tindak pidana tidak jelas.
“Data-data yang disampaikan dalam riset dan video youtube tidak pernah dibantah lewat data terbuka. Sehingga hal-hal yang disampaikan oleh Haris dan Fatia tidak dapat disebut sebagai berita tidak benar/hoax karena belum melalui proses pembuktian yang memadai. Selain itu, belum ada satupun pemegang otoritas yang menyatakan bahwa data tersebut tidak benar atau merupakan kabar bohong,” jelas KontraS.
Jika dibandingkan dengan kasus-kasus lain yang ditangani Polda Metro Jaya, KontraS berpendapat kasus Haris dan Fatia jelas sangat cepat diproses. Karena di sisi lain, Polisi dinilai sangat lamban dalam menindaklanjuti laporan masyarakat. Tak sedikit bahkan ditolak mentah-mentah. Sebagai contoh, Polisi langsung menolak laporan beberapa aktivis Pro Demokrasi (Prodem) yang melaporkan Luhut Binsar Panjaitan atas keterlibatannya dalam kasus bisnis PCR.
Selain itu, terdapat kasus lain yang sampai hari ini mangkrak seperti kekerasan terhadap Muhammad Yahya dalam aksi #ReformasiDikorupsi, kasus peretasan Ravio Patra dan kasus kekerasan terhadap Tri Kurnia Yuniarto saat meliput di gedung DPR/MPR RI.
“Cepatnya proses kasus Fatia dan Haris juga kembali menegaskan adanya konflik kepentingan yang terjadi apabila kasus tersebut melibatkan pejabat publik. Peristiwa tersebut jelas mencederai asas equality before the law,” terang KontraS.
Sementara itu, KontraS juga turut mengecam pejabat publik yang anti kritik dan memilih mempidanakan masyarakat. Bukannya membuka data di Papua secara terang benderang, Luhut malah memanfaatkan kekuasaannya dengan menggunakan instrumen Kepolisian untuk membungkam warga.
Tak sampai disitu, Luhut juga menyebarkan informasi yang belum dapat dipastikan kebenarannya, yakni terkait big data yang menyebutkan 100 juta orang yang menghendaki Pemilu ditunda. Selain berpotensi hoax, wacana yang disampaikan Luhut juga mengangkangi konstitusi. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa Luhut merupakan pejabat yang tidak paham demokrasi dan hak asasi manusia.
“Pemanggilan dan penetapan Haris dan Fatia sebagai tersangka juga bertepatan dengan momentum Hari Ulang Tahun (HUT) KontraS yang ke-24. Hal ini tentu ironi, sebab peran masyarakat sipil justru kian terbatas ditandai dengan masifnya represi dan kriminalisasi terhadap pembela HAM. Alih-alih terjadi perbaikan situasi demokrasi, dua aktivis yang pernah/sedang mengabdi untuk KontraS justru dibungkam ketika mereka mengungkap suatu kebenaran,” tutup KontraS.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini