Oleh: Simson Nababan
Sekretaris Fungsi Perguruan Tinggi GMKI Jambi
Sudah jadi rahasia umum dan tak dapat dibantah lagi jika orientasi dari partai adalah kekuasaan dan kepentingan. Terbaru dunia mahasiswa, bahkan masyarakat Indonesia dibuat bertanya-tanya dengan hadirnya sebuah partai yang mengatasnamakan Mahasiswa, ya. Partai Mahasiswa Indonesia (PMI) namanya.
Eko Pratama, sosok figur yang menjadi Ketua Umum dari partai yang menjual nama Mahasiswa ini diketahui merupakan Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara yang sebelumnya ramai menjadi perbincangan setelah lebih memilih berdiskusi dengan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto, ketimbang bersatu dengan kelompok mahasiswa yang turun menyuarakan aspirasi ke jalanan.
Tak lama setelah peristiwa itu, kini malah muncul partai, waduh. Sesama mahasiswa, tentu saya (Penulis) juga sadar dan tau betul bahwa ada banyak jalan menuju Roma. Ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk menyampaikan aspirasi, memuluskan kepentingan, dan memastikan bahwa Demokrasi di negara ini masih berjalan atau berpraktek sebagaimana teori mengatakan.
Namun, terkait kehadiran PMI dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Kemenkumham No: M.HH-6.AH.11.01 tahun 2022, pada 21 Januari 2022 lalu tentang pendirian PMI. Hingga saat tulisan ini dibuat oleh penulis, akal sehat penulis atau mungkin juga ribuan mahasiswa seluruh Indonesia masih mempertanyakan apa sebenarnya tujuan atau siapa orang dibalik pendirian partai yang mengatasnamakan mahasiswa itu?
Karena menurut saya, sebagai mahasiswa menjadi sangat penting untuk menjaga independensi serta memupuk idealisme. Bukan tidak mungkin, kehadiran PMI yang viral di jagad media massa ini dapat mematahkan semangat perjuangan mahasiswa dan memecah peran mahasiswa sebagai agent of change dan sosial control.
Mengapa, karena berbicara partai tentu tidak lepas dari kepentingan. Sementara kepentingan partai yang paling paling penting adalah memenangkan pertarungan (kontestasi). Nah bagaimana caranya? Bermain pragmatis pun kerap menjadi solusi.
Praktisnya, mereka yang terjun ke dunia politik harus memilih antara menjadi oposisi atau koalisi pemerintah. Pertanyaannya, dimana nanti letak pemikiran kritis mahasiswanya ketika pilihan yang diambil adalah menjadi koalisi pemerintah. Yang ada, besar kemungkinan Partai yang katanya mahasiswa ini, nanti malah tidak lagi mendengarkan aspirasi atau persoalan krusial di masyarakat. Karena sama-sama kita ketahui bersama jika kebanyakan partai politik di Republik tercinta ini menerapkan pola-pola politik pragmatis.
Besar harapan saya sebagai mahasiswa, untuk saudara Eko Pratama (Ketum PMI) yang juga merupakan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara, salah satu kelompok gerakan mahasiswa yang paling dikenal di Indonesia yang belakangan telah pecah menjadi dua kubu untuk segera membubarkan PMI.
Sudah begitu banyak organisasi-organisasi di Indonesia yang mengatasnamakan rakyat, tak sedikit pula yang terpecah karena kepentingan masing-masing kubu. Ada banyak yang lebih penting untuk disuarakan, oleh karena itu lebih baik rasanya jika mahasiswa (agent of change) segera bersatu.
Mari bersama-sama menyuarakan dan mengkawal semua persoalan yang ada di Republik tercinta ini, sebagai mahasiswa rasanya tak perlu sampai bergabung atau terjun ke dunia politik, kecuali jika mau nyaleg atau nyabup/nyakot.
Ingat kita ini Mahasiswa, bukan Politisi.
Hidup Mahasiswa.
Hidup Rakyat Indonesia.