Penulis: Tri Wahyu Ningsih
Sebagian besar masyarakat Jambi memeluk agama Islam, yang kemudian disusul dengan agama Budha dan Kristen protestan. Mungkin ini juga karena dipengaruhi oleh warga pendatang yang datang ke Jambi yang kebanyakan berasal dari keturunan Cina atau Tionghoa. Bagi masyarakat Melayu Jambi, adat mereka adalah Islam. Islam dan adat adalah dua hal yang tidak terpisah. Sebuah seloko yang sering diulang-ulang adalah “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengato adat memakai”. Seloko ini berarti bahwa adat atau kebiasaan masyarakat Melayu Jambi didasarkan pada syariat yang berasal dari kitab suci; apa yang dititahkan syariat, akan dipakai oleh adat.
Kuatnya Islam dipegang oleh masyarakat Melayu Jambi membawa implikasi antara lain penolakan masyarakat Jambi terhadap hal-hal yang mereka anggap bukan Islam. Masyarakat Jambi misalnya memotong sejarahnya dan mengambil kedatangan Islam sebagai tonggak bermula, islamisasi di mana pun tidak pernah berjalan sangat mulus. Kalaupun bukan gelombang, riak-riak kecil mewarnai prosesnya. Di dalam masyarakat Melayu Jambi, cerita tentang riak itu tidak pernah di munculkan karena merupakan bagian dari masa lalu yang bukan Islam, yang justru ingin mereka hilangkan.
Selepas Reformasi bergulir, terjadi kebangkitan adat di banyak tempat di Indonesia. Jambi juga tidak lepas dari fenomena itu. Kesultanan Jambi yang sudah lama jatuh sekarang dihidupkan lagi, muncul organisasi-organisasi yang secara eksklusif menamakan diri Melayu, termasuk lembaga adat yang semula bernama Lembaga Adat Propinsi Jambi berubah menjadi Lembaga Adat Melayu Jambi, perubahan desa menjadi rio, dan muncul peraturan daerah yang mengatur kebudayaan Melayu secara khusus. Seorang pegiat kebudayaan di Jambi mengatakan bahwa terjadi “Orientasi Melayu” dalam banyak peraturan daerah yang diterbitkan. Padahal, masyarakat Jambi sekarang tidak hanya terdiri atas etnis Melayu, tetapi multietnis. Kebangkitan adat ini tentu saja mengabaikan keragaman etnis yang ada di Jambi. Beberapa kabupaten yang didominasi oleh etnis lain, seperti Kerinci serta Tanjung Jabung Barat dan Timur, seolah keluar dari aturan yang ada.
Setelah Reformasi pula, muncul kelompok-kelompok agama yang oleh beberapa sarjana dikatakan sebagai gerakan transnasional. Di Jambi perkembangan gerakan ini cukup massif terutama di kampus umum seperti Universitas Jambi. Di tingkat masyarakat, gerakan ini berkembang juga disumbang oleh karakter masyarakat Melayu Jambi yang agamis, yang dalam beberapa tahun belakangan lembaga pendidikan keagamaannya banyak tutup karena kebijakan pemerintah. Tawaran lembaga pendidikan gerakan baru ini kemudian banyak disambut oleh masyarakat yang butuh, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama.
Kehadiran gerakan ini belakangan menimbulkan gesekan-gesekan dengan kalangan adat. Kalau masyarakat Melayu Jambi mengklaim adatnya adalah Islam, bagi kelompok ini keislaman mereka dianggap tidak Islam yang sebenarnya. Karena Islam adat bukan yang semestinya, gerakan ini menolak praktik-praktik adat yang ditampilkan masyarakat Melayu Jambi, seperti dalam perkawinan. Mereka lalu menampilkan Islam secara berbeda, dengan jilbab panjang, berbicara dengan beberapa istilah dalam bahasa Arab, cenderung tertutup, dan hanya peduli dengan sesama mereka. Tampilan eksklusif Islam inilah yang mereka klaim sebagai Islam yang benar sebagaimana yang dipraktikkan Nabi di masa lalu.
Sampai di sini kita melihat bahwa dalam konteks masyarakat Jambi, Melayu dan dengan demikian Islam telah ditafsirkan dan maknanya ditarik ke sana-kemari. Bagi kalangan adat, Melayu adalah Islam, tapi keislaman Melayu oleh sebuah gerakan transnasional dianggap bukanlah Islam yang sesungguhnya. Mereka kemudian membuat representasi Islam yang benar itu. Problemnya adalah baik oleh kalangan adat maupun penentangnya, Islam yang ditampilkan adalah yang tak ramah terhadap perbedaan dan ekspresi kebudayaan lain. Demikian pula, kebangkitan adat atau Melayu juga cenderung mengabaikan keberagaman.