email : [email protected]

28 C
Jambi City
Friday, November 22, 2024
- Advertisement -

Pementasan Laron, Potret Kritik Humanis dari Teater Air

Populer

Oleh : Novita Sari

Butet Kartarejasa seorang aktor ternama Indonesia pernah mengatakan, teater telah mengajarkannya banyak hal, bahwa setiap kita hanyalah bagian dari hidup, bagian dari orang lain, dan seorang aktor tidak pernah hidup sendirian akan tetapi mereka selalu menghadirkan dunia realitas dalam pementasannya.

Saya masih menimbang-nimbang bahkan jika tulisan ini sampai kepada pembaca. Sebagai penikmat seni, pertunjukkan apapun selalu memberikan kesan mendalam (diluar persoalan teknis) sebab karya yang disajikan, telah melewati serangkaian proses panjang, hal tersebutlah yang barangkali tidak akan pernah ternilai.

Mendapat kesempatan diundang menonton pertunjukkan teater Laron beberapa waktu lalu (8/10) merupakan kesempatan yang berharga, terlebih saya merasa berhutang untuk menuliskannya pasca itu.

Laron, potret pengejaran fatamorgana

Rani Iswari sutradara (kanan), Fitria aktor (kiri). sumber foto Novita/oerban

Sesuai judulnya, pertunjukkan teater Laron menceritakan tentang kehidupan laron-laron di istananya yang digambarkan secara fisik menyerupai sarang di kayu-kayu bawah tanah,  awalnya istana tersebut kehilangan cahaya lalu dapat diatasi dengan cadangan bahan bakar yang ada.

Ada kebiasaan laron-laron yang terjadi turun-temurun, jika sudah saatnya mereka harus bermigrasi keluar dari istana dengan mengantri satu-persatu. Hingga saat itu datang, mereka membayangkan kehidupan di luar yang sangat indah dan menakjubkan. Secara keseluruhan cerita dalam pertunjukkan ini menggambarkan tentang cinta, kebebasan, dan cahaya yang indah.

Akan tetapi semua tidak berjalan sesuai ekspektasi, berbagai masalah muncul, mulai dari laron yang memaksa untuk keluar, kembalinya laron 1 yang membawa kabar duka setelah keluar istana, kedatangan semut merah jahat yang ingin memangsa, hingga upaya kudeta dan perlawanan warga Laron yang merasa ganjil akan aturan migrasi yang dibuat raja Laron. Berbagai permasalahan tersebut membuat kawanan laron pergi lalu berakhir dengan menyedihkan.

Baca juga  Ketua PKK Provinsi Jambi Hj. Hesti Haris Mengkampayekan Diversifikasi Pangan Pokok di Luar Beras

Pertunjukkan teater Laron secara keseluruhan menggambarkan potret pengejaran fatamorgana yang dilakukan oleh tokoh Laron. Mereka membayangkan kehidupan yang lebih baik diluar istana (sarang) mereka. Laron satu begitu senang saat mendapat giliran untuk pergi dan meninggalkan sarang selamanya, sambil menyanyi dan bersenandung riang membuat saudara-saudara laronnya merasa iri.

Tokoh laron membayangkan pejantan perkasa, bunga bermekaran, cahaya matahari yang menghangatkan, serta kehidupan maha indah lainnya. Meskipun hal ini terbantahkan dengan kepulangan laron 1 yang sakit-sakitan dan mengatakan bahwa kehidupan diluar tidak lepas dari saling memangsa. Hal ini jika dikaitkan dengan kehidupan manusia, sama seperti kita yang menganggap kehidupan orang lain jauh lebih menyenangkan dari hidup yang kita jalani, merasa tidak beruntung, dan suka mengeluh.

Kawanan laron yang ingin bermigrasi keluar digambarkan sebagai laron-laron perempuan yang centil dan jenaka, sesekali saling iri, namun suka membantu antar sesama. Dalam perspektif luas, perempuan memang akan menjadi lebih berdaya ketika saling mendukung, namun tidak jarang pula sesama perempuan sendiri saling menjatuhkan dengan menganggap persaingan antar mereka. Stigma perempuan melalui kawanan laron ini masih menunjukkan ketimpangan. Meskipun sosok sang perkasa merupakan laron perempuan, namun ia masih disimbolkan sebagai perempuan yang hanya menjadi mesin penghasil laron muda, suka marah, dan hanya mampu memerintah bahkan menyalahkan pengawalnya. Sedangkan tokoh laron tua, merupakan sosok ringkih yang taat pada penguasa, filosofis, dan senantiasa mengabdikan diri.

“Lagipula aku sudah mendapatkan banyak hal dalam hidup ini, nasehat sang perkasa sudah cukup membuatku terhanyut, di kelahiran akan datang para pion akan menjadi penyelamat, gonteng yang sakti akan datang, akan menjadi kaum bermahkota laron. Akar rumput padang ilalang, hidup tak pernah hilang, hidup adalah untuk berjuang.”

Baca juga  Gubernur Al Haris Sebut Pengaturan Transportasi Batubara Jadi PR bagi Pemerintah

Laron dan potret kritik humanis

Pertunjukan ini mencoba menampilkan kritik humanis, bagaimana hubungan hierarkis penguasa dan bawahan. Sang penguasa menyalahkan pengawalnya ketika terjadi masalah. Pada bagian awal menyindir harga bahan bakar yang naik. Ketika sektor barat  bocor lalu sektor selatan padat, junior malah menyarankan untuk berhutang. Kondisi yang cukup kontekstual dengan keputusan politik ketika negara ini mengalami masalah.

Ketika semut merah berhasil memasuki istana laron, ia menyebut dirinya merupakan saudara senasib, ia hanya ingin berteduh, mengeluh rumahnya hancur dan persediaan makanan yang habis. Hal itu dilakukan semut merah hanya untuk memanfaatkan situasi untuk memangsa laron-laron. Namun segera disadari oleh Kapiten, hingga semut merah mengakuinya secara tidak langsung.

“Kalian kan luhur, mengorbankan diri untuk makhluk lain”

Dalam situasi kolonial, hal ini pernah dipraktikkan oleh bangsa kulit putih yang menyebut diri mereka sebagai saudara senasib, akan tetapi tujuan mereka sebenarnya hanya untuk mempermudah persoalan perniagaan di bumi Nusantara. Meskipun kita juga tidak menampikkan ada beberapa sistem dan peninggalan yang diwariskan cukup berguna, namun, pola awal kedatangan mereka hanya untuk itu. Pesan pertunjukkan ini memberikan peringatan mawas diri bagi siapapun.

Pertunjukkan berakhir dengan perlawanan yang menyebabkan si perkasa diarak keluar dari istana, semut merah dibunuh di tahanannya, warga laron kebingungan karena hanya si perkasa yang bisa melahirkan keturunan lalu mereka menjemput si perkasa meninggalkan sulung dan Laron tua kemudian mereka tidak pernah kembali. Secara keseluruhan pertunjukkan yang di sutradarai Rani Iswari ini cukup berhasil merefleksikan pesan kepada penikmatnya, akan tetapi bukan berarti ia sempurna. Pencahayaan biru diawal pembukaan cukup mengganggu mata, durasi yang cukup lama (1,5) jam dengan scene yang tidak banyak memberikan kejutan juga terkesan membuat pertunjukan ini bertele-tele.

Baca juga  Diduga Meninggal Akibat Malpraktik di Rumah Sakit Royal Prima Jambi, Ibu Korban Lapor Polisi

 

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru