email : [email protected]

23.6 C
Jambi City
Friday, November 22, 2024
- Advertisement -

Kisah Inspiratif – Panggung Kemerdekaan di Rumah (Bagian 1)

Populer

Karya: Ghina Syauqila

Dyo hanya mengerlingkan mata dengan malas seraya menyesap Teh Botol dinginnya. “Yah, begitulah,” ia mengangkat bahu.

Arsen masih dengan kepala dingin membalas lagi kalimat Dyo seraya menuangkan kecap manis ke siomaynya. “Kok bisa?”

“Ya, bisa!” Dyo mencetus. “Yang namanya barang pasti bisa rusak!” nadanya tinggi, membentak.

“Wow, santai,” Arsen membuka kedua telapak tangannya, meletakkannya di depan dada seolah-olah hendak menahan sesuatu. Menahan kemarahan Dyo. “Aku bertanya padamu baik-baik, kan? Kenapa kau menjawabnya dengan kemarahan?”

Dyo meletakkan Teh Botolnya dengan bantingan keras, membuat orang-orang di dekat mereka menoleh. “Diamlah,” ucapnya sinis. “Aku mau makan tapi kau selalu bertanya. Itu menggangguku, kau tahu—

Jari-jemariku mengaso berlarian lincah di atas permukaan keyboard sejenak, mengambil jeda mengetik, lalu refleks menengok kepada layar ponselku yang mendadak menyala, memamerkan sepenggal dua penggal pesan WhatsApp yang baru saja masuk. Rehat untuk beberapa saat, ku balas beberapa pesan itu, dengan argumen yang tiba-tiba menyambangi kepalaku: sebelum-sebelum hari ini dan hari ini, ku jumpai orang-orang yang jenuh dan mengeluh di media sosial, ikut andil menyuarakan kejengkelannya terhadap wabah yang sedang asyik-asyiknya melanglang buana. Saking serunya, sampai-sampai penduduk bumi tidak diperkenankan menjelajahi buminya sendiri. Dipaksa setengah mati untuk karantina di rumah, dengan ancaman mati. Telah terisolasi selama kurang lebih nyaris melalap separuh tahun. Bumi seolah-olah diinvasi. Dijarah dan dijajah. Bedanya, jika tempo abad lalu negeri yang dijajah mengenal figur-figur dari penjajahnya, kini tidak! Serdadu pasukannya pun tak kasat mata dan mahir mengagresi kendati tanpa senjata! Iya, aku pun, ada kalanya kerinduan menjejali hati. Ingin bersua dengan teman-teman, nongkrong di McDonalds sambil berbagi ilmu yang tadi didapat saat kuliah dengan kelompok study group, ingin menentang angin dan menyapu jalan demi jalan dengan sepeda motorku! Mendambakan udara segar, aroma hujan, dan terkadang mentari yang menggosongkan melanin kulitku—yang hanya bisa kudapati kala bersemuka dengan bumi secara langsung.

Baca juga  DIBALIK ECO BRICK

Usai membalas, sedikit jauh kusingkirkan ponsel. Lalu, mulai terpersok di dunia itu lagi. Dunianya Dyo dan Arsen yang bebas, tanpa ada ultimatum pandemi—setidaknya, saat ini, yang terlintas di benakku. Dyo yang tengah disambar amarah, dan Arsen yang mesti mengalah. Sampai lupa bahwa aku telah melahap waktu begitu banyak. Namun, yang ada, asaku kian membara. Semakin tak sabar mengelana menuju ke masa depan sembari mengembarai waktu. Proses perjuangan yang kutiti serta pencapaian target-target yang kutata, pada akhirnya menghadiahiku karya bab demi bab yang meski belum utuh layaknya puzzle, aku tengah berusaha menyusunnya, menyelesaikannya, dan merampungkan-nya. Hingga tiba saatnya karya itu, yang menampung kisah serta ‘biografi’ tentang Dyo dan Arsen di dunianya sendiri, telah paripurna.

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru