Prostitusi juga dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan imbalan sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya.
Jika diperhatikan, suburnya kegiatan prostitusi di Indonesia menunjukkan
bukti prostitusi masih menjadi momok terhadap moral masyarakat Indonesia, begitupun di Jambi.
Eksploitasi anak di bawah umur untuk kegiatan prostitusi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merupakan payung hukum bagi perlindungan HAM. Dalam UU tersebut terdapat sejumlah asas penting bagi perlindungan HAM yaitu;
Pertama, Pasal 3 UU No. 39 tahun 1999, yang menekankan bahwa setiap orang dilahirkan dengan bebas, dengan harkat dan Padahal prostitusi sudah merusak moral para generasi muda negeri ini.
Ajang prostitusi dijadikan hal yang biasa untuk mengumbar napsu. Jika ditinjau lebih jauh, kami menemukan beberapa tempat penginapan seperti hotel-hotel dan kos-kosan di Kota Jambi melindungi kegiatan tersebut, bahkan membiarkan anak-anak yang masih di bawah umur untuk dijual oleh si mucikari yang disebut (ADMIN)
Alasan-alasan mengapa seseorang menjadi pelacur bisa sangat kompleks, tidak saja dari prostitusi itu sendiri melainkan juga dari keluarga dan masyarakat di sekeliling nya.
Prostitusi ini dilakukan secara sengaja, di Jambi salah satunya, di beberapa hotel dan kos-kosan secara sengaja melindungi mereka, dan diduga ada beberapa oknum penegak hukum dari beberapa instansi pemerintahan juga bermain di sana.
Perdagangan manusia atau human trafficking yang termasuk dalam cyber crime diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan: “Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
Bagi daerah-daerah yang praktek prostitusinya tinggi juga mengeluarkan sanksi yang diatur dalam peraturan daerah (perda) mengenai kegiatan prostitusi. Seperti Peraturan Daerah Kota Jambi, Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Pemberantasan Pelacuran Dan Perbuatan Asusila dan dicantumkan berikut:
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH JAMBI
Pasal 10
(1) Walikota berkewajiban melakukan pemberantasan pergaulan bebas, pelacuran dan perbuatan asusila lainnya.
(2) Untuk kepentingan pencegahan, pemberantasan dan penindakan pelacuran dan perbuatan asusila sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Walikota berwenang:
a. melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelacuran dan perbuatan asusila;
b. melakukan pembinaan dan rehabilitasi sosial terhadap germo, mucikari, pelacur dan pelanggan pelacur;
c. melakukan penutupan lokalisasi pelacuran dan/atau tempat yang dipergunakan untuk pelacuran;
d. melakukan pencabutan izin usaha hotel, panti pijat, salon, asrama, warung, kantor, tempat hiburan dan tempat-tempat usaha lainnya untuk kegiatan pelacuran dan asusila.
e. melakukan kerjasama dengan Polri, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri.
f. melakukan kerja sama antar daerah dan dengan pihak swasta, perguruan tingi dan lembaga swadaya masyarakat.
Pasal 11
(1) Satuan kerja perangkat daerah yang tugas pokok dan fungsinya melakukan penegakan peraturan daerah berkewajiban:
a. melakukan pengawasan dan penindakan terhadap tindak pidana pelacuran dan tindak pidana kesusilaan;
b. menindaklanjuti setiap laporan dari masyarakat tentang kejadian tindak pidana pelacuran dan tindak pidana kesusilaan serta memberikan perlindungan kepada pelapor;
c. berkoordinasi dengan penyidik Polri.
(2) Satuan kerja perangkat daerah yang tugas pokok dan fungsinya menyelenggarakan urusan bidang kesejahteraan sosial wajib:
a. melakukan kegiatan dalam rangka pencegahan perbuatan pelacuran dan tindak pidana kesusilaan.
b. melakukan pembinaan dan rehabilitasi sosial terhadap germo, mucikari, pelacur dan pelanggan pelacur;
(3) Satuan kerja perangkat daerah yang tugas pokoknya menyelenggarakan urusan
bidang pendidikan wajib melakukan kegiatan dalam rangka pencegahan terjadinya perbuatan asusila dan pelacuran.
(4) Satuan kerja perangkat daerah yang tugas pokoknya menyelenggarakan urusan
bidang kesehatan wajib melakukan kegiatan dalam rangka pencegahan terjadinya penyakit kelamin, perbuatan asusila dan pelacuran.
Pasal 12
(1) Untuk kepentingan pemberantasan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1). Walikota dapat membentuk tim pemberantasan pelacuran yang ditetapkan dengan Keputusan Walikota, (2). Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari unsur pemerintah kota, unsur penegak hukum dan unsur masyarakat.
Dan mari kita lihat apa saja Faktor pendorong seseorang melakukan praktek prostitusi atau menjadi pelacuran yaitu:
a. Terpaksa keadaan ekonomi, keadaan ekonomi memaksa seseorang untuk menjalani prostitusi.Termasuk dalam faktor ini antara lain berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah, kebutuhan mendesak untuk mendapatkan uang guna membiayai diri sendiri maupun keluarganya, tidak mempunyai sumber penghasilan, tingkat pendidikan rendah, minimnya keterampilan dan sengaja dijual oleh keluarganya ketempat pelacuran.
b. Ikut arus, prostitusi dianggap sebagai pilihan yang mudah dalam mencari nafkah karena rekan-rekan mereka di kampung sudah melakukannya dan bagi masyarakat daerah pelacuran merupakan alternatif pekerjaan.
c. Frustasi, kegagalan seseorang untuk mencapai tujuan hidup disebut fustasi. Seseorang yang sangat mendambakan kehidupan rumah tangga yang bahagia akan frustasi bila mengalami perceraian, seorang yang mencintai kekasihnya akan frustasi bila mengalami kegagalan cinta. Keadaan ini dapat menimbulkan rasa kecewa dan sakit hati. Pada umumnya mereka yang terlibat dalam prostitusi karena ingin membalas sakit hatinya.
Disamping faktor diatas, prostitusi juga disebabkan karena Pertama,
adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan. Kedua, komersialisasi dari seks, baik dari
pihak wanita maupun germo- germo dan oknum- oknum tertentu yang
memanfaatkan pelayanan seks. Ketiga, dekadensi moral, merosotnya norma- norma susila dan keagamaan pada saat- saat orang mngenyam kesejahteraan hidup, dan ada pemutarbalikan nilai- nilai pernikahan sejati. Keempat, semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum wanita dan harkat manusia.
Sementara itu, Jefrisetiawan dalam penelitiannya mengatakan bahwa faktor yang paling dominan terhadap adanya prostitusi adalah karena faktor ekonomi, yaitu sebanyak 45%; sedangkan faktor lainnya adalah faktor putus cinta sebanyak 20%, faktor lingkungan 15%, faktor hasrat seks 10% dan dikarenakan tertipu oleh rayuan atau janji manis mucikari yang katanya hendak mencarikan kerja yang pantas dan gajinya besar sebanyak 10%.13.
Bagi remaja, terkadang prostitusi bukan dunia yang mudah untuk ditinggalkan. Biasanya kalau sudah terlanjur melakukan praktek prostitusi, maka dibutuhkan usaha yang sangat ekstra keras untuk dapat menghentikannya. Banyak remaja putri usia muda, terutama di kalangan anak sekolah atau kuliah yang terjerumus kedalam hitamnya dunia prostitusi. Memang pada awalnya para remaja putri usia muda itu tidak ingin melakukan praktek prostitusi sebagai pekerjaan utamanya. Fikiran yang singkat, tidak ada penindakan serius dan tidak memiliki pandangan jauh kedepan menjadikan mereka melakukan prostitusi.
Dalam menghadapi meningkatnya praktek prostitusi, negara telah membuat begitu banyak peraturan untuk menghentikan atau memberikan sanksi kepada pelaku atau orang-orang yang terlibat di dalam prostitusi tersebut, yaitu seperti yang dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta undang-undang maupun peraturan-peraturan daerah. Jika dikaitkan dengan prostitusi dalam kategori umum (bukan secara online), maka KUHP mengaturnya dalam dua pasal.
Pasal 295 ayat 2 KUHP memberikan ancaman pidana selama empat tahun bagi siapa saja yang dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian dengan orang lain.
Sedangkan Pasal 296 KUHP menyatakan bahwa: “barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
Kemudian Pasal 506 KUHP menyatakan: “barang siapa menarik
keuntungan dari perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”
R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal), mengatakan bahwa pasal ini untuk memberantas orang-orang yang mengadakan rumah bordil atau tempat-tempat pelacuran.
Supaya dapat dihukum berdasarkan pasal ini, harus dibuktikan bahwa perbuatan itu menjadi “pencaharian” (dengan pembayaran) atau “kebiasaannya” (lebih dari satu kali).
Sementara bagi lelaki pengguna layanan para wanita dibawah umur juga dapat dikenakan pidana sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 290 ayat (2) KUHP yang menyatakan: Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.
Disamping ketentuan yang terdapat dalam KUHP di atas, maka praktek prostitusi juga diataur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, yaitu manakala melibatkan anak, atau perundangan lain yang terkait dengan perundangan pidana.
Namun apabila kegiatan pelacuran tersebut dilakukan dengan ancaman kekerasan atau paksaan terhadap seseorang untuk mau dijadikan pekerja seks komersial, maka tindakan tersebut dikenakan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sanksi bagi orang yang melakukan eksploitasi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU 21/2007 adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Apabila yang dieksploitasi adalah anak, berdasarkan Pasal 66 ayat (3) jo. Pasal 66 ayat (1) UU Perlindungan Anak,setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.
Sanksi bagi setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU Perlindungan Anak.
Jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh anak, misalnya sebagai pengguna jasa prostitusi, maka berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012. Ancaman pidana penjara bagi anak yang melakukan tindak pidana adalah setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang yang sudah dewasa.
Lebih dari itu, dalam hal prostitusi online yang terjadi, dapat juga dikenakan pasal terhadap perdagangan manusia melalui media sosial online yang setelah itu digunakan jasanya. Untuk perdagangan manusia atau human (dua ratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU Perlindungan Anak.
Jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh anak, misalnya sebagai pengguna jasa prostitusi, maka berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012. Ancaman pidana penjara bagi anak yang melakukan tindak pidana adalah setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang yang sudah dewasa.
Lebih dari itu, dalam hal prostitusi online yang terjadi, dapat juga dikenakan pasal terhadap perdagangan manusia melalui media sosial online yang setelah itu digunakan jasanya.
Negara sudah membuat aturan dengan ancaman hukuman kepada pelaku prostitusi, baik dalam KUHP, undang-undang bahkan peraturan daerah. Namun Prostitusi tetap tumbuh subur dalam masyarakat. Padahal adalah tanggungjawab negara untuk memberantasnya, terutama yang berbasis prostitusi online.
Negara harus memandang pelaku prostitusi terutama yang memperdagangkan anak dalam bentuk apapun sebagai perbuatan tercela yang harus dihukum. Negara jangan gagal dalam memberikan perlindungan secara utuh kepada anak-anak sebagai generasi penerus yang harus selalu dijaga dan diselamatkan.
Yang lebih penting, negara juga harus memperhatikan media-media online yang boleh diakses oleh masyarakat terutama anak-anak. Sekarang begitu bebasnya masyarakat mengakses media-media sosial tanpa pengawasan yang ketat dari negara.
Inilah tanggungjawab negara terhadap warganya dalam menyelamatkan wanita dan anak-anak di bawah umur dari perbuatan prostitusi yang ilegal dan melawan hukum, baik melalui media online mapun tidak. Sehingga penghormatan akan HAM bisa didapatkan secara hakiki sebagai kodrat manusia sejati.
Di Jambi kita berharap semua pihak yang tidak tertib terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan peraturan perundang-undangan dituntut dan diadili, serta diharapkan pula akan dilakukan tindakan dengan cara menyebarkan berita ini.
Penulis: Irwanda Naufal Idris, Mahasiswa