Oleh: Vickry Haykal*
Kota Jambi, Oerban.com – Konflik merupakan salah satu proses sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia. Salah satu konflik yang terus terjadi dalam sejarah kehidupan manusia adalah konflik agraria. Konflik ini terjadi karena banyaknya persaingan dan kepentingan dalam menguasai area untuk hidup dan mengembangkan kehidupannya. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi konflik agraria mengingat banyaknya permasalahan dan kepentingan untuk penguasaan lahan dan sebagainya.
Terkhusus Provinsi Jambi Menurut data Serikat Petani Indonesia (SPI), Provinsi Jambi menduduki peringkat kedua konflik agraria terbanyak secara nasional, terdapat lebih dari 30 titik konflik agraria yang tersebar di berbagai kabupaten, Provinsi Jambi. SPI Jambi sendiri mencatat beberapa konflik yang sudah masuk dalam skala prioritas di 5 titik tak kurang dari 101.000 hektare. Tindakan brutalitas pihak aparat keamanan terhadap petani juga sering di lakukan ketika petani sedang memperjuangkan tanahnya, contohnya penangkapan sewenang-wenang secara brutal kepada 29 warga Desa Teluk Raya Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi yang terjadi pada 20 Juli 2023 lalu.
Untuk penyelesaian konflik agraria lahirnya TAP MPR No.9/2021 dan Keppres tentang reforma agraria jadi komitmen pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria, merupakan suatu program inisiasi Pemerintah dalam merestrukturisasi kepemilikan dan penguasaan atas tanah bagi rakyat Indonesia.
Pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan dari penjajahan ketimpangan pemanfaatan dan pemilikan sumber-sumber agraria pada saat itu terasa sangat melebar, keberpihakan kepada tuan-tuan tanah dan kepentingan para penjajah akan hasil sumber daya agraria kita menjadi pemandangan yang biasa pada saat itu. Sehingga inisiasi penataan ulang sumber-sumber agraria salah satunya melalui penataan ulang kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan, dan penggunaan tanah bagi masyarakat merupakan kebijakan dan langkah yang tepat dalam membangun fondasi negara.
Salah satu implementasi kegiatan tentang kelembagaan pelaksanaan reforma agraria pusat dan daerah yaitu dengan pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di daerah, baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten.
Tujuan ideal yang ingin dicapai Republik ini ketika dicanangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria adalah kemakmuran masyarakat terutama kaum petani dan tidak ada lagi konflik. Dengan adanya kebijakan Pemerintah yang telah dikeluarkan sejumlah 12 peraturan tentang pelaksanaan program reforma agraria akan tetapi masih memunculkan angka ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
Hingga pada saat ini seolah-olah pelaksanaan program reforma agraria seperti berjalan di tempat, padahal demi menyukseskan jalannya reforma agraria tersebut Pemerintah sudah berupaya menciptakan regulasi dan peraturan-peraturan yang dijadikan sebagai landasan hukum dalam menjalankan reforma agraria agar dapat berjalan sesuai tujuannya.
Oleh karena itu akan timbul suatu pertanyaan besar yaitu “apa permasalahan yang terjadi?” yang membuat program reforma agraria ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, padahal UUD 1945 pasal 33 ayat (3) telah mengamanatkan kepada pemerintah agar SDA yang ada di Indonesia digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Istilah land reform itu sendiri memiliki makna perlunya untuk memformat ulang (reformasi) tentang kepemilikan lahan dan sekaligus pendayagunaannya. Sasaran utama dari land reform adalah para petani yang lahannya terus mengalami penurunan akibat sistem pewarisan dan ekses tidak langsung dari pembangunan dan industrialisasi. Sudah barang tentu, pelaku reforma agraria ini harus diawali oleh pemerintah selaku pemegang policy. Tanpanya, status land reform akan berubah menjadi aksi penyerobotan dan inkonstitusional, sehingga pelaku di lapangan bisa diseret ke meja hijau (pengadilan).
Kenapa pelaksanaan reform agraria sejati khususnya di Jambi bisa dikatakan jalan di tempat karena ada ketidakseriusan pemerintah yang berwenang dalam penyelesaian konflik agraria ini. Kaum tani miskin dan tertindas yang selalu memperjuangkan reforma agraria tidak disambut baik oleh pemerintah, maka dari itu banyak terjadi tindakan represifitas oleh aparat kepada petani ketika unjuk rasa dan tindakan tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 13 ayat (3) Undang-undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU 9/1998”) yang memberi amanat bagi institusi polisi untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum.
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi