email : [email protected]

24.1 C
Jambi City
Sunday, November 24, 2024
- Advertisement -

Money Politic Merebak: Praktik Kotor Memanfaatkan Masyarakat Miskin

Populer

Oleh: Monas

Oerban.com – Pesta Demokrasi diartikan sebagai pesta milik rakyat yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih pemimpin yang akan menentukan masa depan negara untuk lima tahun yang akan datang.

Adanya politik uang sebagai fenomena politik yang selalu berulang di setiap tahunnya dianggap sebagai bagian dari pesta Demokrasi di Indonesia. Hal ini memunculkan ke khawatiran masyarakat akan adanya praktik yang sama untuk politik tahun ini yang akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024.

Politik uang (money politic) adalah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau lainnya. Praktik politik uang (money politic) sudah ada sejak dulu yang dikenal dengan istilah ‘serangan fajar’ yakni istilah dari sejarah revolusi Indonesia.

Kebanyakan para Pasangan Calon (Paslon) menyasar masyarakat miskin yang minim pengetahuan  dan pendidikan politik terutama di daerah-daerah pelosok. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Ratna Dewi Pettalolo yaitu anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), menyatakan bahwa angka kemiskinan di sebuah daerah menentukan penerimaan masyarakat akan politik uang dalam pemilu.

Para anggota calon legislatif melihat kemiskinan dan ketidakberdayaaan  masyarakat dalam hal ekonomi sebagai peluang untuk mendapatkan suara. Banyak  paslon yang kemudian ditangkap akibat money politic.

Sebagaimana yang terjadi pada pemilu 2019, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan tiga orang ditangkap tim Satgas Antipolitik Uang karena terlibat kasus politik uang di Jakarta Utara. Ketiganya, yakni Wakil Ketua DPC Jakarta Timur berinisial CL, Ketua MTC Kecamatan Tanjung Priok inisial DL, dan Caleg DPRD DKI Jakarta Dapil 3 inisial MT.

Dari sebagian masyarakat Indonesia sendiri menganggap pesta Demokrasi sebagai ajang untuk bagi-bagi rezeki. Berdasarkan survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada tahun 2019 yang mana menyebutkan masyarakat memandang pesta demokrasi itu sebagai ajang “bagi-bagi rezeki”.

Baca juga  26 Orang Tewas Akibat Ledakan di Pakistan Menjelang Pemilu

Masyarakat atau calon pemilih ini seolah tidak mempertimbangkan konsekuensi yang akan mereka terima akibat jual beli suara ini yang jelas melanggar hukum dan termaksud dalam perbuatan suap.

Sebagaimana diketahui bahwa serangan fajar (politik uang) adalah praktik yang melanggar Peraturan Perundang-Undangan Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada pasal 523 ayat 3, yang berbunyi setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau memberi yang lain kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah)”. Selain itu, praktik ini akan melahirkan pemimpin  berkualitas rendah yang hanya perduli pada diri sendiri dan golonganya bukan pada masyarakat yang telah memilihnya.

Angka kemiskinan dan rendahnya pendidikan menjadi kombinasi permasalahan yang cukup kompleks dan menjadi salah satu faktor merebaknya praktik politik uang di Indonesia (walaupun banyak kasus sulit dibuktikan). Hal ini seolah menjadi rantai yang tidak terputus sejak dulu dan terus berputar di tempat yang sama dan sudah melekat layaknya budaya disetiap pemilu.

Sekalipun politik uang tidak memandang kelas atas atau bawah, akan tetapi masyarakat kelas bawah paling berpotensi. Hal ini karena masyarakat kelas bawah menganggap hal tersebut sebagai bantuan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka dan memandang hal tersebut sebagai rejeki yang datang dan patut untuk disyukuri.

Berkaca pada pemilu tahun 2019 lalu, berdasarkan data riset Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa 72% masyarakat Indonesia menerima uang politik. Dari Jumlah tersebut, 82% di antarannya oerempuan yang kebanyakan beruasia 36 hingga 50 Tahun. Menurut keterangan Deputi Bidang Pendidikan dan Peran serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana, bahwa alasan yang usia 36-50 tahun terima uang dalam bentuk apapun, karena kebutuhan ekonomi.

Baca juga  La Nyalla Sebut Dua Indikator Demokrasi Indonesia Memburuk

Menurut penulis, membudayanya praktik politik uang  di Indonesia dibutuhkan solusi kerja sama antara negara dan masyarakat.  Bagaimana negara mensosialisasikan terkait money politic bukan hanya kepada mahasiswa tetapi juga kepada masyarakat yang ada di daerah-daerah pelosok.

Selain itu,  bagaimana solusi negara memutus rantai kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan serta memberikan Pendidikan  yang mumpuni kepada masyarakat sebagaimana yang menjadi amanat dalam UUD 1945 yaitu “memajukan kesejahteraan umum”.

Selain itu, dibutuhkan pula kesadaran dari masyarakat untuk memilih figure oasangan calon yang benar sesuai dengan rekam jejak setiap paslon tanpa iming-iming uang atau sembako, karena salah memilih pemimpin hari ini akan menyengsarakan dan merugikan masyarakat untuk lima (5) tahun yang akan datang.

Independensi masyarakat dalam memilih sangat diperlukan untuk menciptakan pemilu yang mandiri, bersih jujur dan berkeadilan. Ingat, sesuatu yang dimulai dengan keburukan akan berakhir dengan buruk dan dalam proses perjalananya juga akan diwarnai dengan kecurangan dan keburukan!

Referensi:

  1. https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230217-waspadai-bahaya-politik-uang-induk-dari-korupsi
  2. https://dialeksis.com/nasional/politik-uang-disebut-menyasar-masyarakat-miskin/
  3.  Azlin Faqih Mutolib, Pinkan Hana Jofami, Jenuari, Dkk. 2023. Analisa Fenomena “Serangan Fjar” dalam Pemilu Melalu Pandangan Islam.  Miykal Al-Anwar Jurnal: Kajian Islam. Hal. 148.
  4.  https://www.rri.co.id/pemilu/286779/data-kpk-sebut-penerima-politik-uang-kebanyakan-perempuan

*

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru