Oleh: Hesti*
Oerban.com – Terdapat sebuah rumpun sanak Suku Anak Dalam (SAD) di pinggir Jalan Lintas Sumatra. Mereka tinggal dengan cara berpindah-pindah mencari kenyamanan untuk hidup lebih leluasa. Secara awam, Suku Anak Dalam ini banyak dihindari oleh masyarakat. Pasalnya mereka disebut-sebut mempunyai karakteristik sebagai preman dilihat dari dari segi wajahnya, perawakkannya, pakaiannya, hingga cerita mistis yang masih melekat.
Beberapa panggilan mereka yang sering diucapkan yakni, Anak Dalam, Sanak, Kubu, Orang rimba atau Mamak dan tentunya panggilan ini biasa berkonotasi negative maupun positif. Sebagai contoh dalam penelitian Setyabudi (2021), menjelaskan bahwa orang “Kubu” artinya dalah orang yang kotor, pemalas, tidak beradab, tidak beradab ini dimaksudkan karena dulunya mereka tidak bertuhan atau tidak memiliki agama (non-religious people). Selama lebih dari 5 bulan bermukim bersama dengan mereka, panggilan Mamak atau hanya dengan menyebutkan kata Bepak dan Indok mereka sudah merespons dengan baik.
Saat ini mereka hidup dengan keberagaman agama, yakni agama Kristen. Penyebaran agama tentu tidak bisa dihentikan, mereka menyebarkan, membina dan mengajarkan dengan pendekatan yang berbeda. Namun tak jarang juga suku anak dalam mau memaluk agama Islam, karena biasanya mereka sering mengeluh dengan cara ibadahnya yang tidak fleksibel dengan waktu.
Selain itu, penyebaran mereka cukup masif hingga saat ini. Di lansir dari laman Kompas.com, mereka tersebar di enam kabupaten yang berbeda yakni Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dan Kabupaten Batanghari. Sedangkan hanya 3 lokasi dampingan Pundi tempat saya bekerja, yakni daerah Sarolangun tepatnya di Desa Sukajadi, Desa Pulau Lintang, Desa Pematang Kejumat, sementara itu di Kabupaten Bungo di Desa Pelepat.
Dengan desa dampingan yang telah Pundi Sumatra bina, saya berharap teman-teman yang membaca sedikit kisah Suku Anak Dalam yang saya tulis dapat membayangkan dan terbebas dari rasa penasaran akan suku dalam di wilayah Jambi. Mereka sering di lihat sebagai seseorang yang buruk, tapi yakinlah mereka tidak akan melakukan tindakan yang tidak benar jika kita tidak memulai yang salah.
Saat tiba di Pematang Kejumat Kelurahan Bathin VIII Kecamatan Bathin VIII Kabupaten Sarolangun, ada kelompok Suku Anak Dalam (SAD) yang tercatat sebanyak 17 kepala keluarga (KK) dengan jumlah jiwa kurang lebih 70 orang. Tentu selaku pendamping, saya, Yoga dan Arif tinggal di pemukiman besama mereka.
Merupakan kebahagiaan bagi seorang pendamping telah merasakan hangatnya kebersamaan di awal pertemuan kami datang, salah satunya adalah kami mandi bersama di sungai yang biasa mereka pakai untuk kubutuhan keseharian mereka. Apa lagi memasuki musim kemarau, tentu kebutuhan air merupakan sumber utama bagi mereka.
Akses menuju sungai tersebut tidak jauh dari rumah-rumah mereka, hanya butuh berjalan saja dan memang betul adanya jalan tersebut cukup terjal. Tak hanya itu, sebelum ke sungai terdapat pula sumur yang juga dimanfatkan oleh rombong Jurai.
Ada sekitar Empat sampai enam wadah air minum yang biasa mereka gendong menggunakan jarik lawas, wadah yang biasa di pakai itu disebut “gligen”, yang mereka gendong tiap hari untuk diangkut ke dalam jamban mereka. Kami menyebut Bepak (Bapak) sedangkan penyebutan Ibuk adalah “Indok” sementara anak-anak mereka kami sebut dengan sapaan boyeh. Saya sempat menanyakan pertanyaan dengan Bahasa rimba yang mereka gunakan, dengan kalimat yang seadanya saya bertanya “Bepak nak komono ambek aek, (Bapak mau ke mana ambil air) tanya saya kepada Bepak Jurai.
Anak-anak mereka bermain hingga malam dengan mainan seadanya, seperti kayu yang bisa mereka tunggangi bersama layaknya mobil-mobilan dan juga sepeda yang biasa mereka pakai berkeliling. Selain itu, pakaian mereka adalah representasi dari orang rimba atau suku pedalaman zaman dahulu, yang hanya memakai baju tanpa memakai celana maupun celana dalam (telanjang) dan dengan pakaian itu mereka bisa memakainya selama berhari-hari dan berganti jika perlu tanpa harus menggunakan pakaian lainnya.
Merupakan kabar gembira bagi Bepak dan Indok, karena biasanya mereka hanya memakai lampu dari minyak tanah ataupun senter sebagai penerangan ketika di malam hari. Semenjak adanya arus listrik masuk, mereka sudah memiliki tv dan kipas angin sebagai penawar atas rasa konsumtif yang mereka miliki. Tentunya hal tersebut tidak luput dari adanya peran pendamping, yakni Arif.
Selain menonton TV, Indok-Indok juga menyirih sebagai kegiatan rutin untuk membersihkan gigi mereka. Wajar saja jika beberapa dari mereka mempunyai daun sirih di samping rumah mereka yang banyak menjalar, pinang dan kapur turut melengkapi beberapa bahan untuk menyirih para Indok, namun bahan seperti kapur sulit bagi Indok dapatkan karena tak banyak tempat yang menjajakannya. Sejalan dengan kebiasaan mereka yang bersandingan dengan hutan tentunya keperluan sehari-hari berasal dari hutan, akan tetapi kondisi saat inilah yang mengharuskan mereka membeli produk dari warung-warung pinggir jalan.
Sementara itu, mereka juga banyak mengambil makanan dari hutan, seperti labi-labi atau kura-kura yang biasa di jadikan hidangan yang lezat, kura-kura biasa disebut dengan “Byuku” (Bahasa Rimba), tak jarang sering dijual sebagai pendapatan tambahan. Selain kura-kura maupun labi-labi makanan seperti monyet dan biawak biasa mereka konsumsi untuk menyambung hidup mereka.
Dengan memakan makanan tersebut bukan berarti makanan seperti ayam dan ikan tidak mereka sukai. Mereka memelihara ayam kampung atau sapi sebagai hewan ternak mereka, sedangkan untuk ayam potong maupun ikan biasanya mereka membelinya di tukang sayur yang biasanya berkeliling tiap pagi menjelang.
Mereka juga sering berburu hewan di hutan, seperti memancing ikan di sungai tempat kami mandi maupun di antara kebun sawit milik masyarakat desa. Sedangkan untuk makanan seperti babi menjadi angat langka untuk didapatkan karena populasinya menjadi sedikit dari tahun ke tahun, “dulu kami sering berburu babi dihutan kak, tapi sekarang jarang karena lah sikit” ujar Rasti anak suku anak dalam yang saya tanyai.
Tentunya kejadian tersebut diakibatkan karena menipisnya area hutan yang beralih fungsi menjadi tanaman kelapa sawit. Hal tersebut diperkuat dengan produksi kelapa sawit di Indonesia memenuhi 40 persen kebutuhan pangan penduduknya yang cukup besar, namun juga mendominasi kegiatan ekspor suatu negara (Rosyidi, 2009).
Belum lama ini, saya pernah menanyakannya pada salah satu Temenggung yang berada di daerah Limbur, tepatnya di desa Sukajadi tempat dampingan saya. Ia adalah Pak Lintas, yang merupakan Temenggung yang saya tanyai waktu itu perihal makanan Suku Anak Dalam yang tidak lazim bagi orang awam namun lazim di mata mereka. Beliau menjawab dengan lugas bahwasannya mereka dulunya hidup aman sejahtera tanpa sokongan pemerintah, ini dikarenakan kebutuhan mereka terpenuhi dengan keberadaan hutan dan sumber makanan yang ada di dalamnya. Ia menambahkan bahwa dulunya hanya beberapa yang makan monyet, ular, biawak, dan binatang reptile lainnya karena ketersediaan sumber makanan selama di hutan telah lenyap, dan bahkan baru ini rombong mengenal uang dan gawai.
Menariknya beliau juga memberitahu saya bagaimana cara membalas pesan saat gawai pada saat itu belum popular, yakni dengan menggunakan gulungan kulit kayu akan tetapi beliau memperlihatkan kepada saya perumpamaan kulit kayu itu dengan diganti menggunakan janur kuning (daun kelapa muda). Saya melihat dengan seksama janur tersebut. Pak Lintas menyebut bahwa dengan menggulungkan lingkaran seperti pita secara kecil berarti dimintai datang, menggulungkan lingkaran dengan lebar itu berarti pertemuan atau diskusi sudah selesai, dan apabila tali lingkaran tersebut di salah satu kakinya terdapat gantungan kecil terpasang berarti dimintai untuk berperang/ berantam dengan pihak yang memberi gulungan kulit kayu tersebut.
Hal ini tentunya membuat saya banyak membayangkan bagaimana kehidupan suku anak dalam zaman dahulu berlangsung. Terkait makanan ekstrem yang sudah dibahas sebelumnya, menandakan bahwa sebetulnya mereka terdesak dengan banyak kebutuhan, terlebih lagi hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan habis dibabat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Interaksi utamanya bagi pendamping bercengkrama bersama Suku Anak Dalam (SAD) rombong Jurai ini berlangsung selama lebih dari 2 bulan. Tak butuh waktu banyak kami harus menempati tempat dampingan kami masing-masing. Karena terbilang masih baru, tentunya pendekatan di awal pertemuan sangat diperlukan. Namun, tak jarang juga jika ada keperluan atau kegiatan serta refresing bersama kami pula ke Pematang Kejumat sebagai basecamp kami beristirahat.
Bagaimana tidak, fasilitas yang telah tersedia seperti listrik, air sumur, kipas, jarak antara tempat belanja cukup dekat dengan tempat tinggal, membuat kami ingin ke sana sembari menenangkan pikiran dan juga bermain bersama secara lengkap.
Teringat masa ketika kami masih di satu lokasi yang sama, banyak mengatur keuangan dan juga pembagian tugas dalam memasak dan membeli perlengkapan dapur, sungguh menyebalkan dan merepotkan karena dia banding satu saya rasa itu tidak adil. Akan tetapi saya selalu diperlakukan layaknya adik kecil yang selalu dijaga dengan kedua algojo yang tidak mempunyai lemak dan daging sedikit pun, itu yang membuat saya khawatir ketika ada penjahat degan badan yang kekar tentunya kami kalah telak mengenai fisik, tapi untungnglah kami masih mempunyai banyak ide cemerlang untuk memenangkan itu sewaktu hal itu terjadi.
Selama beberapa bulan ada di rombong Jurai, tiba saatnya saya untuk bisa mendampingi Suku Anak Dalam (SAD) rombong Lintas di Desa Sukajadi. Saya jelaskan bahwa penamaan rombong berasal dari nama Temenggung, yakni jika nama Temenggungnya Lintas maka rombong tersebut bernama rombong Lintas begitu pula rombong yang lainnya.
Saya baru 9 bulan mendampingi SAD rombong Lintas, yang bernotaben sebagai perempuan yang menjadi pendamping Suku Anak Dalam. Hal tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri, terlebih dampingan saya adalah lokasi baru dan juga masih berwatak natural yakni keras dan kolot. saya menikmati profesi ini dengan selalu melihat kilas balik mereka yang jauh dari kata kurang.
Mereka selalu diajarkan untuk mengambil dan memetik dari hasil hutan bukan untuk merawat maupun menanam, inilah yang sedang saya arahkan untuk rombong tetap mempertahankan adanya kegiatan tanaman menanam. Dengan adanya bertaman maupun mengasah skil, tentunya rombong akan melihat bahwa mereka mempunyai potensi yang lebih. Untuk apa meratapi hutan yang telah tiada sedangkan kita lagi dalam masa modernisasi yang semakin membuat kita berubah berpikir bahwa mereka belum bisa move on dari kehidupan mereka kala itu.
Menjadi pendamping perempuan, yang baru mendampingi lokasi dampingan yang masih menginjak “sepucuk jagung” membuat saya mempelajari hal baru, seperti pengaturan adat laki-laki dan perempuan, denda adat, tradisi dan lain sebagainya. Soal saya berbicara mengenai laki-laki dan perempuan tentu mereka sangat mengatur akan hal tersebut sejak nenek moyang yang memperlihatkan bahwa laki-laki dan perempuan yang umurnya setara atau terbilang sudah dewasa tidak boleh berboncengan dalam satu motor maupun berduaan dalam satu rumah, hal tersebut bahkan diatur dalam adat mereka dan dikenakan denda sesuai kesepakatan orang tua. Begitu mengaturnya urusan adat mereka ketika mereka melakukan hal yang tidak benar.
Hal tersebut yang saya rasakan ketika laki-laki yang saya ajak duduk bersama maupun mengobrol bersama lebih banyak tidak melihat lawan bicaranya yang notabennya perempuan, lebih parahnya lagi ketika suami A memegang tangan atau bagian tubuh istri B dan C maka sudah dipastikan bahwa hal tersebut pasti akan dikenakan denda. Itulah mengapa saya selalu berhati-hati dalam berkegiatan dan meminta arahan dan saran jika melakukan kesalahan.
Akan tetapi, sangat disayangkan adalah pengaturan denda tersebut terbilang masih dikatakan tidak tetap, dikarenakan berbentu lisan dan tidak tertulis. Bayangkan bahwa banyak pengaturan adat yang mengikat dan apalagi pengaruh gawai sangatlah besar terhadap pribadi seseorang, maka fatal lah bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang dilarang. Kejadian seperti kabur sebelum nikah, bawa kabur anak orang, selingkuh, saya temui ketika saya baru masuk bekerja sebagai fasilitator lapangan Pundi Sumatra di bulan maret lalu.
Padahal adat sekompleks itu dalam mengatur kehidupan mereka, namun masih banyak pula yang melanggar adat yang telah tebentuk. Lebih kagetnya ketika Arif yang lebih banyak berinteraksi dengan mereka selama lebih dua tahun mengatakan bahwa hampir keseluruhan rombong menikah dengan cara tak benar secara adat, dan yang benar-benar menikah secara sah di mata adat dan negara bisa dihitung dengan jari.
Saya lulusan Unversitas Jambi (Unja) S1 Sastra Indonesia, selepas kuliah saya melamar di salah satu NGO yang berada di Jambi. Posisi yang saya lamar pada waktu itu adalah seorang fasilitator lapangan yang tentunya di luar dari jurusan yang saya tekuni di bangku perkuliahan. Hal ini tentu menjadi tantangan baru dan pengalaman baru bagi saya yang background-nya bukan berada di lingkup sosial dan lingkungan.
*Alumni mahasiswa Universitas Jambi.