PERJUDIAN BUPATI DAN WALIKOTA JAMBI DALAM PILGUB 2020
Oleh : Hendri. Y*
Tahun ini adalah tahun politik bagi masyarakat Jambi, meski pestanya akan berlangsung tahun depan tapi aura pertarungan sudah sangat terasa. Sebut saja kampanye poster yang dilakukan oleh calon atau oleh tim dibeberapa titik dalam Kota Jambi maupun dipelosok-pelosok provinsi Jambi seolah ingin menegaskan bahwa mereka serius untuk maju dalam kontestasi pemilihan Gubernur 2020.
Majunya beberapa bupati dan walikota dalam pesta pilgub kali ini terasa agak dipaksakan karena sebagian mereka belum genap 2 tahun memimpin daerahnya masing-masing. Sehingga menimbulkan tanda tanya, apakah mereka saat maju dalam pilwako atau pilbup dahulu betul-betul serius untuk membangun daerahnya? Atau hanya batu loncatan untuk bersaing dalam pilgub 2020?
Pertanyaan ini wajar diungkapkan, sebab masyarakat sudah memberikan kepercayaan kepada walikota dan bupati untuk memimpin mereka selama lima tahun kedepan. Walikota Jambi misalnya, baru satu tahun berkuasa, tapi sudah menyatakan niatnya untuk maju dalam pilgub kali ini, begitu pula dengan bupati Merangin yang baru memimpin Merangin 22 September 2018. Tidak hanya dua tersebut, bupati Sarolangun, Bupati Kerinci dan Walikota Sungai Penuh dikabarkan juga sedang serius melakukan manuver guna mencari simpati dan dukungan.
Jelas ini adalah perjudian, meskipun tidak ada satupun klausul yang dilanggar dalam aturan main pilgub, tapi seolah majunya mereka kemaren menjadi bupati dan walikota tidak lebih sekedar lipstick, karena tujuan utamanya adalah menjadi BH 1. Sampai disini masyarakat kembali menjadi mainan para pencari kekuasaan. Seolah amanah yang diberikan oleh masyarakat terhadap mereka hanyalah permainan belaka.
Dalam UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada khususnya dalam Pasal 7 ayat 2 poin dikatakan setiap kepala daerah aktif yang hendak mencalonkan diri dalam Pilkada harus berhenti dari jabatannya terutama bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon. Selanjutnya, dalam Pasal 70 ayat 3 UU Pilkada dikatakan bahwa kepala daerah tersebut harus cuti selama masa kampanye dan tidak boleh menggunakan fasilitas negara selama menjalankan kampanye. Aturan ini untuk walikota atau bupati yang akan mencalonkan diri didaerah lain.
Disini posisinya sangat jelas, bahwa seorang walikota maupun bupati yang masih menjabat tidak harus mundur jika ingin maju dalam pilgub. Dengan demikian mereka bisa seenaknya ikut bertarung dalam kontestasi pilgub nantinya, bahkan sekarangpun mereka sudah melakukan kampanye dengan berbagai macam atribut dan model kampanye. Menyewa konsultan politik untuk melakukan survey popularitas dan elektabilitas, tingkat penerimaan masyarakat dan seterusnya. Di kota Jambi saja, ada setidaknya tiga baliho besar bupati dan walikota sebut saja baliho Al Haris, AJB, Cek Endra yang begitu mencolok.
Kondisi seperti pada dasarnya adalah hal yang lumrah dalam kehidupan demokrasi kita, apalagi tidak ada aturan yang menghalangi mereka untuk maju. Akan tetapi, sebagai masyarakat timur yang penuh dengan tatakrama, semestinya para walikota maupun bupati yang akan ikut bertarung juga mempertimbangkan pranala politik yang ada dalam kehidupan masyarakat Jambi. Jangan menjadi manusia yang haus kekuasaan yang bukan merupakan budaya etnik Jambi. (bersambung)
Penulis : Ketua Alumni KAMMI Provinsi Jambi dan Founder Oerbanesia
Editor : Siti Saira. H