Jakarta, Oerban.com – Kasus pengeroyokan terhadap seorang anak di Boyolali yang viral di media sosial telah memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menegaskan bahwa tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apa pun.
Dalam keterangannya, Dewi mengungkapkan, “Peristiwa ini menjadi pengingat penting bagi kita semua bahwa hukum harus menjadi landasan utama dalam penyelesaian konflik. Main hakim sendiri tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga jelas melukai nilai-nilai kemanusiaan yang kita junjung tinggi,” ungkapnya.
Dewi dalam siaran rilis tertulisnya mengingatkan bahwa anak yang menjadi korban pengeroyokan memiliki hak untuk membela diri dari perbuatan yang tidak dilakukannya di muka hukum. Anak juga berhak dan seharusnya didampingi oleh orang dewasa dalam proses tersebut. Oleh sebab itu, dalam konteks ini, aparat penegak hukum hendaknya menerapkan asas praduga tidak bersalah. Selain itu, anak yang menjadi korban pengeroyokan tersebut berhak memperoleh pendampingan hukum dan psikologis.
Lebih lanjut, TII menyerukan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran hukum dan membangun budaya yang menghormati proses peradilan.
“Tindakan main hakim sendiri, apalagi melibatkan anak sebagai korban, menunjukkan adanya tantangan dalam pemahaman masyarakat tentang sistem hukum dan keadilan,” tambah Dewi.
Menurut data dari laporan yang dihimpun oleh tim Collective Violence Early Warning (CVEW) dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), sepanjang tahun 2021 ditemukan 1.221 insiden kekerasan kolektif. Kekerasan kolektif yang dimaksud adalah penggunaan atau ancaman kekuatan fisik yang disengaja dan dilakukan oleh atau terhadap sekelompok orang.
Jumlah temuan tersebut termasuk di antaranya adalah konflik etnis, terorisme, separatisme, konflik akibat pemilihan dan jabatan, main hakim sendiri, konflik sumber daya alam, konflik akibat perbedaan suku agama ras dan antar golongan (SARA), kekerasan seksual, hingga konflik akibat tata kelola pemerintahan (Kompas.id, 2022).
“Kita memerlukan edukasi publik yang lebih intensif dan komprehensif agar masyarakat memahami bahwa tindakan kekerasan bukanlah solusi dan merupakan pelanggaran hukum,” tambah Dewi.
Dewi juga mendorong aparat penegak hukum untuk segera menindaklanjuti kasus ini secara profesional dan transparan. Masyarakat juga harus lebih melek akan hak asasi manusia dan negara hukum. Hal ini penting menimbang bahwa kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum harus terus dijaga agar mereka merasa yakin bahwa keadilan dapat ditegakkan tanpa harus mengambil tindakan sendiri. Begitu pula masyarakat juga harus memahami dan meningkatkan kesadaran hukum dan HAM, bukan seenaknya main hakim sendiri karena ada konsekuensi hukum juga untuk itu.
Editor: Ainun Afifah