Jambi, oerban.com – Kebutuhan manusia di era revolusi industri 4.0 semakin kompleks dibersamai pula dengan penggunaan teknologi yang semakin modern. Dengan kebutuhan yang semakin tak terbatas tersebut manusia pastinya akan dihadapkan dengan sesuatu yang disenangi seperti harta sebagai pemenuhan hajat hidupnya. Menurut Muhamad Mansur (2017) harta merupakan karunia Allah Subhanahu wa ta’ala untuk umat manusia, ia bagaikan perhiasan yang bisa menambah indahnya kehidupan di dunia, ia merupakan suatu hal yang selalu dipikirkan oleh manusia, bahkan banyak orang yang mengorbankan tenaga dan fikirannya untuk memperoleh harta sebanyak-banyaknya.
Penggunaan harta dalam ajaran Islam ditujukan untuk harus senantiasa dalam pengabdian kepada Allah dan dimanfaatkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Pemanfaatan harta pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi pemilik harta, melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial dalam rangka membantu sesama umat manusia. Machmud (2017) menyatakan bahwa pada hakikatnya harta merupakan titipan dan amanah dari Allah yang harus dimanfaatkan untuk kebaikan karena apabila harta tersebut tidak dapat dikendalikan maka akan menimbulkan kemudharatan yang dapat menjerumuskan dalam kekufuran.
Oleh karena itu, untuk mencapai falah yakni kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat, umat manusia harus menghindari mata pencaharian yang haram dan berusaha untuk mendapatkan harta yang halal. Allah telah menjadikan harta sesuatu yang indah dalam pandangan manusia yang diberi tabiat alamiah mempunyai kecintaan terhadap harta (Muhammad Nizar, 2017).
Allah Subhanahu wa ta’ala adalah pemilik sejati alam semesta yang memberikan titipan kepada manusia salah satunya harta dengan tujuan dapat dipergunakan selain untuk pemenuhan hajat hidup tetapi juga untuk fungsi sosial. Manusia dengan mata pencaharian yang halal yakni memanfaatkan harta yang halal dan menghindari hal-hal yang haram dapat memberikan manfaat seperti terpenuhinya kebutuhan diri sehingga tercapai keamanan dan kenyamanan dalam hidup, untuk beramal sholeh sehingga dapat menjadi ladang pahala di akhirat kelak.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, harta adalah barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan baik barang milik seseorang. Secara umum, definisi tentang harta akan langsung merujuk pada kata al-maal dalam bahasa Arab yang artinya condong, suka atau simpati. Dalam pandangan Al-Quran, harta adalah segala sesuatu yang disenangi manusia dan dibutuhkan dalam hidupnya.
Islam pun menunjukkan pentingnya bahasan mengenai harta karena sedikitnya terdapat 86 kata al-maal di dalam Al-Quran. Al-maal merupakan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan manusia dan mendatangkan kepuasan serta kenyamanan jika mengkonsumsinya, dan bisa dimiliki oleh manusia.
Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”. (Q.S Ali Imran [3]: 14).
Sebagaimana juga hadist Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang harta, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baiknya harta ialah yang berada pada orang saleh”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Harta merupakan nikmat dan berkah apabila dimanfaatkan untuk kebaikan. Namun, harta bukanlah tujuan hidup yang utama dalam islam, tetapi tujuan utama umat manusia adalah beribadah kepada Allah sebagai sang pemilk harta sejati (Machmud, 2017).
Harta dari segi cara memperolehnya ada dua jenis, yaitu harta halal dan harta haram. Harta halal adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk dimanfaatkan oleh manusia. Sebagai contoh, harta warisan. Sementara harta haram adalah harta yang dilarang oleh Allah untuk dimanfaatkan oleh manuisa. Contohnya, harta yang didapat dari kejahatan, seperti menipu, korupsi dan judi serta harta riba.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah Al-Baqarah (188):
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padalah kamu mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah (188).
Pembagian harta dalam Islam terdapat lima jenis yakni:
Mutaqawwin dan Ghairu Mutaqawwin. Menurut Wahbah Zuhaili (1989), al-maal al mutaqawwin adalah harta yang didapatkan oleh manusia melalui sebuah upaya yang ditempuh dan diperbolehkan untuk digunakan atau dikonsumsi menurut syarak. Sementara al-maal ghairu mutaqawwin adalah harta yang belum didapatkan dan belum dimiliki oleh manusia.
‘Iqai dan Manqul. Menurut ulama Hanafiyah dalam Zuhaili (1989), manqul adalah harta yang dapat dipindah dan ditransfer dari satu tempat ke tempat lainnya baik terdapat perubahan fisik maupun tidak. Sedangkan ‘iqar adalah harta yang tidak bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya.
Mistli dan Qimi. Al-Maal Al Mistli adalah harta yang memiliki padanannya di pasaran tanpa ada perbedaan fisik maupun satuannya. Sedangkan Al-Maal Al Qimi adalah harta yang tidak memiliki padanannya di pasaran.
Istikhlaki dan Isti’mali. Al-Maal Istikhlaki adalah harta yang dapat dimanfaatkan dengan merusak bentuknya. Sedangkan Isti’mali adalah harta yang dimanfaatkan tanpa merusak bentuknya.
Al-maal Al- Ashl dan Al-Maal Al-Tsamarah. Al-Maal Al-Ashl adalah harta yang dapat menghasilkan harta lain. Sedangkan Al-Maal Al-Tsamarah adalah harta yang tumbuh atau dihasilkan dari al-maal al-ashl.
Harta yang dimanfaatkan dengan baik merupakan sumber kebaikan untuk dunia dan akhirat yakni harta dapat menyejahterakan keluarga (Q.S. Al-Kahf : 82), mempermudah hidup manusia (Q.S. Nuh : 12), membantu orang lain, dan sebagai bekal penyempurnaan ibadah seperti zakat, sedekah, wakaf dan lain sebagainya. Namun, apabila harta tidak dimanfaatkan dengan baik maka akan membawa kemudharatan bagi pemilik maupun masyarakat umum yang dapat mendorong kepada kemaksiatan dan kekufuran serta dapat melalaikan diri dari mengingat Allah subhanahu wa ta’ala. Contohnya seperti bermegah-megahan, mubadzir, bakhil, dan lainnya.
Kegiatan ekonomi dalam Islam ditujukan untuk mencapai falah, dalam hal harta ini untuk mencapai falah tersebut tentunya harus didapatkan dengan cara yang halal dan menghindari harta haram. Cara untuk mendapatkan harta halal tersebut dapat dilakukan dengan usaha yang halal, bekerja keras (tidak berpangku tangan), menjauhi harta yang terjkait dengan riba, dan tentunya tawakal serta berdoa.
Islam juga memiliki aturan dalam memanfaatkan harta yang sesuai dengan syari’at supaya mendatangkan kemulian dan kebaikan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Cara tersebut yakni dengan menentukan prioritas sesuai kemanfaatan harta artinya dalam menggunakan hartanya, sebisa mungkin umat muslim harus mendasarkannya untuk kebutuhan dharuriyat dan hajiyat. Kemudian mendahulukan sifat halal dan tayib dalam memanfaatkan harta artinya islam menganjurkan manusia untuk mengonsumsi segala sesuatu yang halal, tetapi juga tayib yaitu yang membawa kebaikan dan manfaat yang berarti bagi manusia (Machmud, 2017).
Sesuai kodratnya, manusia memang pada umumnya akan menilai segala sesuatunya dari harta. Semakin banyak harta yang dimiliki oleh seseorang maka orang tersebut akan dipandang. Padahal dalam pandangan Islam, harta bukanlah hal yang utama. Seharusnya dengan harta, manusia bisa bersikap lebih rendah hati dan dermawan sehingga derajatnya akan naik di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Nama Kelompok 2:
1. Ditha Yolanda Ramadhani (C1C018156)
2. Nurul Rizki Septiani (C1C018104)
3. Nuzulma Jusyafitri (C1C018089)
4. Prabu Jaka Triadi (C1C018028)
5. Sarah Sinadela (C1C018038)
Mahasiswa Aktif Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Jambi.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini