Oerban.com – Bumi sakti alam kerinci, begitu ia dikenal. Dengan alam yang membentang indah dipagari dengan bukit barisan tempat tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna. Gunung kerinci yang gagah perkasa yang terkadang bersembunyi di balik awan, danau kerinci, danau gunung tujuh, danau belibis, danau kaco, danau duo, danau lingkat, serta puluhan bahkan ratusan air terjun yang segar mengalir langsung dari mata air. Jika pernah kita lihat iklan air mineral yang dengan bangga mengatakan air itu dari mata air pegunungan, maka kita mesti bersyukur lebih bahwa air dari pegunungan itu tidak hanya kita minum, tapi kita jadikan untuk mandi, mencuci dan lainnya. Sebuah nikmat yang Allah berikan lebih pada makhluk dipedalaman lembah kerinci.
Berada di bawah kaki pegunungan atap sumatra menjadikan udaranya segar dan tanahnya subur makmur, apa yang ditanam akan tumbuh, bahkan batang singkong yang kita lempar sembarangan pun akan tumbuh kata nenek moyang kita dahulu. Sayur mayur yang melimpah ruah, gabah yang tak pernah kekurangan stok bahkan berlimpah menjadikan masyarakat kerinci semiskin apapun tetap akan makan tiga kali sehari bahkan lebih, belum lagi makan di undangan yang tendanya sering menghalangi jalan, (Astaghfirullah).
Atau silaturahmi ke rumah keluarga atau teman yang pasti ditawari makan, yang kadang kita nolak, tapi lapar, tapi malu, tapi pengen makan, sudahlah. Belum lagi buah-buahan yang habis musim berganti musim, anak-anak yang terlahir 90-an pasti tau betapa asyiknya bermain tanpa smarphone, anak-anak cowok yang kadang dihari minggu sepulang didikan subuh, langsung maraton kelapangan bola kaki, bermain hingga jelang maghrib, kalo lapar tinggal ambil buah atau sejenis umbi-umbian diladang orang, (orangnya gak marah sih, hanya dikejar aja) atau anak-anak cewek yang bermain kalereng, masak-masak, atau rumah-rumahan, bawa nasi kerumah teman atau nginap dirumah teman, pulang ngaji bareng dan yang paling ditunggu adalah ketika libur sekolah, semua kita keladang, menghabiskan waktu 1-2 pekan di ladang.
Barangkali tidak ada penduduk asli kerinci ini yang tidak punya tanah, baik tanah yang ia beli ataupun tanah warisan. Waktu libur sekolah permainan dipindahkan ke ladang, lempar-lemparan tanah, main lumpur, berpetualang mencari buah dihutan adalah tradisi yang mungkin anak 90-an masih terkenang.
Atau barangkali kita masih mengingat ketika pulang dimarahi emak karena habis mandi disungai, belum pulang jika badan belum menggigil dan membiru, melompat dari jembatan atau tebing yang tinggi, sengaja menghanyutkan diri dengan benen bekas untuk menerjang ombak, semakin besar ombaknya semakin tertantang, bahkan sering diantara kita yang pulang dengan luka, yang paling sering biasanya ditelapak kaki karena terinjak kaca. Mencari ikan disungai, atau pulang membawa batu yang gak penting.
Atau masih ingatkah kita jika masjid terletak dipinggiran sungai, pengurusnya bahkan membuat jalan untuk kesungai sebagai alternatif kita untuk berwudhu’? saking bersihnya aliran sungai waktu itu.
Itu semua dulu. Dulu, sebelum orang tua mengenal yang namanya proyek, yang limbahnya merusak alam, merusak sungai, bahkan airnya, sudah lah, tragis sekali, jangankan melihat ikan, melihat batu didasar sungai saja kita tidak mampu, belum lagi sampah-sampah yang berserakan disepanjang aliran sungai.
Itu dulu, ketika tanah surga yang subur dan makmur ini dikelola oleh nenek moyang kita, hari ini diantara kita bahkan malu menjadi petani, padahal kaum anshar yang menolong kaum muhajirin ketika hijrah dulu adalah mereka yang punya kebun dan tanah. Menjadi petani di yastrib. Hari ini bahkan diantara kita rela menukarkan tanah surga demi menjadi ASN seakan definisi sukses adalah ASN. Padahal yang sering bermanfaat dan menyumbangkan banyak penghasilannya adalah para pengusaha dan petani, petani bahkan mau menginfakkan tanahnya untuk pembanguna pesantren, rumah ibadah, dll.
Nenek moyang kita adalah petani, mereka menjaga dan merawat tanah surga, bersahabat dengan flora dan fauna bahkan saya tidak pernah mendengar ada binatang buas seperti harimau sumatra memangsa penduduk tanah surga ini. Nenek moyang kita mengajarkan kita untuk mengelola, menjaga dan merawat tanah surga, sehingga dengan itu beliau bisa memastikan tiap makanan yang masuk ke dalam perut keturunannya adalah halal hasil tanaman dia sendiri.
Tanah surga, bumi sakti alam kerinci, di bawah kaki atap sumatra, dengan perkebunan teh yang luas, udara yang sejuk, puluhan bahkan ratusan air terjun yang dialiri langung dari mata air pegunungan, tempat tumbuh berbagai jenis tumbuhan yang mŕenjadi sayur, buah ataupun pelindung, tempat bertani, bercocok tanam dan tempat memproduksi berbagai makanan pokok kini ditinggal pemiliknya.
Jika semua bercita-cita menjadi PNS/ASN, siapa yang akan menjaga dan merawat tanah surga ini, relakah kita tanah surga ini diambil oleh mereka yang datang dari luar? Kita tukarkan tanah surga dengan rupiah atau bahkan jabatan? Sungguh aku tak rela.
Kerinci tanah surga, untuk siapa?
Jawabannya adalah untuk kita, mari kita kelola, rawat dan jaga kembali tanah surga ini, tanah bumi sakti alam kerinci.
Penulis : Ori Apobo
Editor : Siti Saira. H