email : [email protected]

24.5 C
Jambi City
Friday, November 22, 2024
- Advertisement -

DIBALIK ECO BRICK

Populer

Karya: Ibnu Al Amin

Pada rintik-rintik gemercik gerimis, sisa dari lebatnya hujan siang ini. Orang-orang yang dilapangan merapat kebeberapa bangunan yang tersedia disekitar. Hujan siang ini sama hakikatnya dengan hujan di bulan Desember lainya. Membawa aroma alami petrikor, menyenangkan bagi siapapun yang menghirupnya.

Di gazebo sudut lapangan, tampak seorang perempuan yang baru beberapa bulan ini ku kenal. Sesekali wajahnya mengalihkan pandang pada keramaian, sesekali pula dia seolah mengais hujan dengan tangan kanannya. Meski berapa kalipun di coba, hujan tetaplah air berwujud cair. Hujan itu hanya terlihat dan mampu dirasa, tetapi kita tak mampu menggenggamnya. Ku lihat tingkahnya semakin lama semakin lucu dan menggemaskan.

“Hai, sendirian saja kak?” Ujarku dari belakang gazebo mengagetkan. Dia pun berbalik badan lantas tersenyum mengembang. Tampak jelas dimatanya berpendar pelangi. Sorotan mata berkarakter hazel menjadikan dia semakin istimewa. Tampak pula tangan kanannya dengan segera menyeka kedua kantung mata. Aku tahu dari apa yang dilakukannya ada sesuatu yang coba di rahasiakan dalam dirinya.

“Oh, hai!” Jawabnya terkejut. “Ada apa ya? Apakah ada yang bisa dibantu!” Berondongnya dengan pertanyaan memburu. Aku membalas dengan senyum mengembang dan sedikit menundukkan kepala. Biar bagaimana pun dia adalah salah satu pendiri dari komunitas pecinta lingkungan ini. Rasa segan dan hormat tetap ku jaga dengan wibawa.

“Silahkan duduk Gas”. Timpalnya lagi dengan sedikit menggeser seluruh peralatan anyaman dan beberapa botol untuk di buat Eco Brick. Orang-orang dikomunitas ini mengenalku dengan nama panggilan Bagas. Seperti filosofisnya orang Jawa bahwa nama Bagas mengandung arti orang yang kuat dan teguh. Aku pun dengan segera duduk. Dan memulai pembicaraan lagi,

“Kenapa kakak sendirian disini. Lagi ngelamunin apa hayooo?” tanyaku selidik.

“Apa-an sih Gas. Kakak tidak sedang melamun. Lihat ditangan kakak banyak botol dan sampah plastik yang mau dibuat Eco Brick”. Sembari menunjukkan posisi tangan kanan sedang memegang tongkat kecil dan kiri botol plastik yang sudah bersih. “Mau bantuin?” Ujarnya lagi. Aku pun tersenyum menyeringai, menandakan setuju.

“Yah Bagas sudah sampai disini kenapa pula tidak mau bantu!” Sambungku tegas. Dia pun menunjukkan dimana letak dari bahan-bahan yang akan di buat Eco Brick. Dengan segera ku ambil karung dan ku seret mendekatinya. Selanjutnya ku keluarkan isi yang ada didalamnya. Karung tersebut berisi botol berukuran 250ml, 500ml, dan sampai 1500 ml. Semuanya botol berbahan dasar plastik dan ku kelurkan pula plastik yang menjadi pemadatannya (isi).

Baca juga  Keluarga Syurga

Hujan yang tadi mulai mereda tiba-tiba berubah menjadi sedikit lebat kembali. Namun tak menghilangkan semangat kami untuk terus menyelesaikan Eco Brick.

“Bisa Gas?” Tanyanya menyelidik. “Bisa dong kak”. Jawabku ketus. Dia pun ketawa geli melihat apa yang sedang kulakukan. Seolah-olah mengejekku. “Kenapa ketawa kak” Ujarku penasaran. “Sini aku bantuin kamu ya” Jawabnya dengan segera mengambil botol plastik dari tangan kananku. “Gini loh caranya Bagas”,

“Pertama, kumpulkan semua sampah yang akan kamu jadikan sebagai pemadatannya. Dari bungkus permen, kresek, minuman saschet dan lainnya. Sudah terkumpul semuanya, pilih dan pilahlah” Jelasnya dengan mengumpulkan bahan-bahan dari dalam karung. “Oh iya kakak, bahan ini semuanya di dapat dari mana yah” Tanyaku seolah polos. “Duh, kamu itu sudah berapa lama ikut komunitas ini. Masa masih tanya juga sih. Sanggahnya kesal. “lh, kakak jangan jutek gituh jawabnya. Entar cantiknya hilang loh”. Ledekku sembari tertawa kecil. Dia tak menghirauka dan masih sibuk memotong plastik-plastik kresek yang besar sebelum dipadatkan agar mudah.

“Kan semua barang-barang ini didapat dari siswa sekolah yang mau belajar disini. (Menunjuk kearah aula gedung yang berada didepan gazebo dan sedang di penuhi anak-anak Sekolah dasar (SD) yang berkunjung) Kamukan tahu sendiri! Alhamdulillah sejauh ini komunitas kita sudah bisa bekerjasama dengan pihak-pihak sekolah disekitar maupun luar sebagai sarana edukasi mengenai pengelolaan limbah sampah. Salah satunya yang sangat sederhana ya seperti yang kita buat saat ini”. Jawabnya lugas. “Syarat untuk belajar ini ya mereka harus mengambil sampah dari TPA (Tempat Pembuangan Akhir) ujung jalan itu”. Tambahnya lagi.

“ Oh gituh. Oh, iya Kak, sudah aku potong sampahnya. Selanjutnya apa lagi!” Tanyaku. “tinggal kamu masukkan semua sampahnya. Tapi harus satu persatu ya, jangan borongan. Lihat seperti ini” Unjuknya kembali.

“Terakhir, ya kamu tekan dan padatkan dengan sekuat tenaga sampah yang menjadi isinya. Sampai benar-benar padat atau tidak ada ruang sedikit pun. Kalau sudah bisa kamu tutup botolnya dan dikreasikan misalkan dengan memberikan tambahan warna. Jadi deh” Tutupnya. Dan aku memperhatikan dengan seksama. “Makanya, Bagas jangan sering bolos terus ketika ada pelatihan dari komunitas”. Hardiknya lembut.

“Ya kakak. Maaf! “ Balasku dengan mencolek bahunya menggunakan tongkat kayu.

“Satu lagi! Jangan panggil kakak. Karena aku pernah baca biodata peserta relawan. Dirimu lebih tua Bagas. Jadi, panggil nama saja”. Sambungnya lagi. “Siap!” jawabku dengan posisi memberikan hormat.

Kami pun terus melanjutkan aktivitas membuat Eco brick. Ditemani dengan suasana dingin hujan yang menyeka. Sesaat kemudian suasana menjadi hening, yang terdengar hanya gemerincik hujan. Mataku sesekali memperhatikan dia yang sedang menyelesaikan tugasnya dengan baik. Jujur saja aku begitu kagum dengan dia, memiliki tinggi yang proposinal, hijab yang rapi, dan wajah cantik serta kemampuan ekonominya. Akan tetapi, dia masih mau bergerumul dengan terik panas, dinginnya hujan seperti ini ditambah denga aroma sampah. Tangannya tak sama sekali takut dengan sampah. Sebab, tidak terlalu banyak anak muda yang perduli hal demikian, ataupun perduli hanya sebatas swafoto ria.

Baca juga  Cerpen: Gadis Nadir Bersimbah Kirana Kartika (Bagian 4)

“Kamu hebat!” Gumamku dalam dada. Hujan rupanya kian hebat turunnya. Dan udara kian menusuk badan.

“Citra, pakailah jaketku ini. Udara sangat dingin saat ini”. Ku sodorkan padanya. “Tidak, terima kasih.” Tolaknya halus. “Tidak apa-apa. Pakai saja. Aku lihat dirimu sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Wajahmu mendadak nampak pucat. Sudah kita pindah ke sekretariat saja yah. Disana banyak anak-anak komunitas yang sedang mempersiapkan untuk acara besok”. Ajakku.

“Tidak perlu gas, aku baik-baik saja kok. Sudah bias seperti ini. Wajahku kan memang putih jadi ya kelihatan pucat karena dingin.” Kilahnya kembali sembari tertawa tengil.

“Citra, pakai saja jaketnya kalau begitu. Kalau kamu tidak mau pakai aku keluar dari relawan.” Ancamku dengen tegas. Akhirnya dia mengenakan jaket yang ku berikan. Dia pun melanjutkan membuat Eco Brick. Aku pun diam tak berani berkata-kata lagi karena sedikit sulit mendengarkan ucapan kita. hujannya semakin lebat menderu. Belum selesai aku mengisi botol dengan sampah, tiba-tiba tubuhnya terjatuh kelantai dari posisi duduknya. Aku pun di buat terkejut olehnya. Aku pun bersikap tenang dan berusaha memanggil nanya, “Citra, bangun. Kamu baik-baik saja”. Dia mengalami gejala asma nampaknya, dengan segera ku cari dalam tasnya obat. Ternyata tidak ada. Dengan sigap pula ku keluarkan handphone dan menelpon temanku yang di sekretariat untuk segera membawa mobil ke Gazebo. Tak beberapa lama datang dua orang temannya menghampiri. “Bagas, kenapa Citra. Kamu apain dia?” Memberondongku. “Cari obatnya di tas dia.” Ujar salah satunya. “Tidak ada obatnya. Sepertinya dia lupa membawa obat asmanya. Segera kita bawa kerumah sakit.” Ucapku tegas.

Dengan segera temannya membereskan tas dan membawa masuk ke mobil.. Ku pacu kendaraan dengan secepat mungkin menuju rumah sakit terdekat. Setelah sampai dengan segera Citra dimasukkan kedalam ruang ICU. Aku dan teman-teman menunggu diruang tunggu. Keadaan kian mencekam mendekati waktu maghrib. Kulirik jam tangan, menunjukkan waktu azan maghrib. Aku pun berpamitan sebentar dengan teman Citra untuk menunaikan kewajiban terhadap Tuhan.

Baca juga  Cerpen: Gadis Nadir Bersimbah Kirana Kartika (Bagian 7)

“Kita banyak berdoa untuk Citra yah” Ujarku pergi dan membawa tas ransel. Setelah selesai menunaikan kewajiban, aku segera kelobi untuk memakai sepatu kembali.

Sebelum itu ku buka tas karena ingin melihat apakah ada yang tertinggal di sekretariat. Setelah di periksa, aku menemukan sebuah buku catatat harian yang ketika ku buka bertuliskan nama Citra Putri Kirana. “Sepertinya temanku salah memasukkan buku ini” Ujarku penasara. Tidak tahu mengapa rasa selidikku membuncah. Ku beraika diri untuk membuka lembar demi lembarnya. Sampai pada suatu lembar ku temukan sebuah foto. Ternyata Citra dengan seorang laki-laki mengenakan jas dokter. Ku pikir ini adalah calon suaminya, sebab dibelakang foto itu tertulis kalimat “Membangun bersamamu kian semangat” glek air liurku kutelan sesak. Kemudian ku baca tulisan di buku tersebut,

Assalamualaikum alam semesta bernama bumi,

Apa kabarmu hari ini? Semoga kian membaik dan lestari serta semakin banyak yang mencintai. Lusa, adalah tepat satu tahun. Yang menulis ini belajar sesuatu, pada senja sore itu, mataku sayu. Terhempas oleh nada-nada sumbang pilu. Hilang raut seru, tertinggal sembilu, raut wajah sendu. Air mata saksi bisu, panas tapi darahku membeku dan lidah kian kelu. Ikhlas jadi pelajaran paling haru. Yang berjanji ternyata diingkari oleh takdir waktu. Kita bisa apa? Mencemooh hanya menambah lebar luka. Sulit dan sakit, namun tak berdarah sama sekali. Kamu telah pergi jauh dari jarak berbeda dimensi. Tuhan telah merencanakan, dan sekarang hanya menyisakan rumah yang kita bangun kian tumbuh,berkembang dan semakin banyak relawan. Kamu benar, bahwa kita hanya butuh kata sabar dalam hal apapun.

Dan kata itu masih ku coba pegang teguh untuk mengenangmu. Terima kasih atas ruang rumpang, karena kekosongan ini sudah tak terelakkan lagi. Terima kasih kamu pernah singgah lalu mengisi sejarah dengan meninggalkan komunitas ini. Ku kirimkankan doa terbaik untukmu, melepas dan mengikhlaskan. Ku biarkan tangan Tuhan untuk mencipta cerita dari masing-masing kita.

*Teruntuk kamu sang pahlawan lingkunganku, namun Demam Berdarah merenggutmu*
Wassalam,

Aku pun menutup buku catatan tersebut, ternyata kesedihan diawal ku lihat kala hujan tadi adalah bentuk pelampiasan atas kehilangannya orang yang di cintai, juga bagian pendiri komunitas ini. “Kring!” Handphone ku berbunyi, “Bagas, di mana kamu. Citra sudah siuman, dia tanya kamu” Ucap temanku. “Iya aku segera kesana.” Tutupku cepat.

Editor: Renilda Pratiwi Yolandini

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru