Kota Jambi, Oerban.com – Bergabung di KAMMI bukanlah pilihan rasional, lebih kental sisi emosional. Cintalah yang membuat akh Imron menulis serial “Mengapa Aku Mecintai KAMMI”, yang kemudian dijadikan sebagai judul buku ini. Cintalah yang membatalkan rencana akh Yudi terbang ke London. Dan masih banyak lagi ‘kisah cinta lainnya, saya rasa banyak yang mencintai KAMMI di KAMMI.
Tak perlu kader KAMMI diajarkan cinta. Tapi rasanya pantas cinta pada KAMMI digelorakan. Cinta bukan sebuah ajaran ataupun ilmu yang bisa dibuat konsepnya oleh kaderisasi. Cinta terhadap KAMMI merupakan ungkapan perasaan. Perlu teladan dari senior.
Saya sarankan anda untuk mencintai KAMMI, agar peran apapun yang anda mainkan akan anda rasakan manfaatnya bagi anda, agar anda merasakan keindahan cinta terhadap KAMMI dan agar ‘enjoy aja’. Setiap aktivitas dan kegiatan akan terasa menyenangkan. Bahkan tanpa amanah pun anda bisa berbuat untuk KAMMI.
Cinta di KAMMI jugalah sehingga buku ini saya berusaha mencarinya tujuh keliling. Sebelumnya pernah senior membahasnya di mk 1 di akhir 2019. Karena tertarik dengan kisah-kisah inpiratif yang disajikan oleh penulis timbul kembali keinginan untuk membaca buku ini, temasuk juga memiikiknya tapi bagaiamana lagi, ia tidak lagi diterbitkan. Keinginan kuat untuk kembali bisa bertemu dengan buku ini memuncah bagitu luar biasa. Bahkan sampai-sampai menghubungi senior di KAMMI yang kebetulan memilikinya. karena takdir Allah sehinga kembali dipertemukan dengan buku ini.
Buku “Mengapa Aku Mencintai KAMMI” terbit pertama kali di tahun 2010 yang ditulis oleh tiga orang kader KAMMI dengan latar belakang Daerah yang berbeda. Ketika membaca buku ini tanpa melihat dan mengamati buku secara detail kita bisa sedikit menebak tentang seperti apa latar belakang masing-masing penulis selama berkecimpung di KAMMI.
Buku ini juga menjadi rekomendasi saya untuk dibaca oleh seluruh kader KAMMI. Bukan bermaksud untuk membangun kembali nostalgia tentang masa yang telah berlalu, sebab sebagian kisah yang diangkat telah berlalu beberapa tahun silam. Apalagi memaksa zaman mereka untuk kembali hadir di zaman kita yang justru telah nyata berbeda. Namun untuk membangun sebuah penyadaran tentang jalan (KAMMI) yang telah menjadi pilihan. Termasuk juga untuk menumbuhkan budaya pewarisan semangat juang yang ada di KAMMI yang boleh jadi sebagian kader KAMMI tidak lagi memilikinya. Mungkin ia bertanya “kita di KAMMI berasala dari mana, harus berbuat ada, dan untuk apa kita berjuang.” Dengan membaca buku sepintas ia akan memberikan jawab singkat tapi mengena di hati.
Buku ini ditulis oleh tiga orang kader KAMMI, yakni oleh Mas Imron Rosyadi, Mbak Evie Fitrah dan Mas Aji Kurnia Dermawan (izzatul Ikhwan). Sehingga kuartal di dalam buku ini juga dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama Mengapa Aku Mencintai KAMMI, yang ditulis oleh Mas Imron Rosyadi, bagian kedua Bunga-bunga Haraki yang ditulis oleh Mbak Evie Fitrah, dan bagian ketiga tentang Mekar Bersama Bunga Haroki KAMMI oleh Mas Aji Kurnia Dermawan.
Di setiap bagian di dalam buku ini ternyata memiliki ciri khas masing-masing. Hal itu boleh jadi didasari dengan pengalaman penulis sendiri di KAMMI selama ini. Di bagian pertama oleh Mas Imrom Rosyidi bayak berkisah tetang pengalaman dan cerita-cerita menarik tetang KAMMI. Hal itu didasari boleh jadi karena memang beliau pernah menjadi ketua KAMMI Daerah. Buku kedua yang ditulis oleh Mbak Evie Fitrah beyak mengankat tentang kisah maupun peristiwa yang menggugah hati, dan menyentuh perasaan. Termasuk saya yang juga sedikit tersentuh membaca tulisan beliau. Hal pertama karena memang sensitifikasi yang juga cuup tinggi sehingga terbawa perasaan pada saat membaca deretan kisah yang diangkat oleh tulisannya. Berikutnya karena memang bagian kedua ini ditulis oleh seorang perempuan, sehingga banyak mengedepankan tentang perasaan.
Mungkin memang seperti itulah, bahwa perempuan selalu mengedepankna budaya rasanya dibading nalar (boleh jadi tidak semua seperti itu). Juga karena beliau memang memiliki backgroung di KAMMI sebagai orang kaderisasi. Di bagian ketiga oleh Mas Aji Kurnia Dermawan pada tulisannya di bagian ini bayak mengangkat tentang analisis dan ide gagasan di KAMMI. Itu dikarenakan kemungkinan beliau di KAMMI adalah orang Kastrat atau Kebijakan Publik.
Di dalam buku Mengapa Aku Mencintai KAMMI yang tebalnya 199 halaman ini saya lebih bayak mengutip tulisan dari Mas Imron Rosyadi, sebab dalam pemikiran saya bayak hal menarik yang kiranya patut untuk diangkat kembali dari tulisan beliau. Apalagi ketika itu berhubungan dengan realitas yang ada. Sebab memang pernah terjadi peristiwa yang beliau angkat.
Disini saya mengutip tulisan Mas Imron tentang, Namaku KAMMI. Orang-orang juga memanggilku demikian, lebih praktis dibading melafalkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Kalau engkau teringat sesuatu begitu memanggilku tentulah sebuah akronim KAMI yang mencatat prestasi besar (dan akhirnya kelam?). Sebuah jaringan gerakan mahasiswa Indonesia dalam rentang sejarah Indonesia 66-an. Konon atas citra historis itulah founding fathers-ku mengambil mana itu, dan atas alasan ideologis menambah tasydid pada mim hingga KAMMI-lah namaku.
Akan tetapi, aku tidak lahir begitu saja, benihku adalah benih yang tertanam dalam Rahim Indonesia sejak 30-an tahun silam.
Lahan presemaianku, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) adalah manifestasi dari gairah-gairah tersebut, hingga dari kampus-kampus besar ia menyebar ke seluruh Indonesia dengan polanya yang khas : kajian keislaman, dalam sel-sel kecil pembentukan kepribadian, dan wacana dengan dasar Al-Quran dan Sunnah. Dan Fahri Hamzah mas-ul pertamaku meyebutnya sebagai anak-anak sekolah yang punya gagasan untuk berjamaah.
Namaku KAMMI. Tasydid pada mim dalam namaku adalah representasi idiologiku. Islam bagiku adalah energi yang amat dahsyat sekaligus samudera yang amat luas. Bagiku islam lahir untuk menentang dominasi dan hegemoni ide serta kekuasaan ia menegaskan atas ketiadaan yang mutlak kecuali Allah swt.
Setidaknya beberapa kutipan kalimat dari buku ini pada bagian yang ditulis oleh Mas Imron bisa menjadi pengantar hangat bagi kita di dalam menelusuri lembaran-lembaran berikutnya pada saat membaca buku ini. Hal itu pula yang mendasari kenapa beberapa dari kalimat itu saya kutip kembali. Setidaknya y juga menjadi pengantar dan akan sedikit merefleksikan sejarah manis yang pernah tecatat di dalam organisasi ini.
Juga hal menarik tentang pengalaman pribadi yang dituangkan di dalam buku ini. Cerita kadery KAMMI yang seolah dipisahkan dengan KAMMI lantaran alasan dan motif tertentu. Mari kita simak Mas Imron Rosyadi menuturkan kisa itu.
Entah apa yang telah saya buat di KAMMI, begitu lengser saya mendapat ta’limat dari murobbi untuk mengurus LDK di kampus, sekalipun saya tidak pernah dibina maupun dibesarkan di LDK. Saya terima ta’limat itu dengan berat hati untuk kepentingan dakwah. Ketua umum Rohis Fak Mipa langsung diamanahkan. Jangan tanya kok bisa. Soal skenario bisa diatur jaringan di kampus.
Begitulah penuturan penulis di dalam buku tersebut, akh Imron Rosyidi. Yang harus hengkang dari dunai KAMMI karena ada anamah khusus yang diberikan. Tapi dengan semua amanah itu tak membuat hatinya bergeming dan melupakan KAMMI. Seolah ada kerinduan mendalam yang sekian parahnya untuk tetap bersama dengan KAMMI. Menjalani aktivitas dan rutinitas sebagai biasanya. Tentu dengan status sebagai kader KAMMI. Bahkan dibahasakan selama perpisahan dengan KAMMI ia merasa futur. Ia merasa ada kekeringan di dalam jiwanya akibat perpisahan itu.
Kita simak ia melanjutkan penuturannya. “saya sempat patah hari terhadap KAMMI, yang membuat saya berpisah dengan KAMMI selama 14 bulan, lalu membuat saya futur selama 20 bulan karena khilangan semangat. Sertelah keterpaksaan dan amanah itu, kini saya sedang jatuh cinta. Jatuh cinta kepada KAMMI untuk yang kedua kalinya.
Kejadian dan peristiwa seprerti di atas barangkali kita tidak perlu jauh-jauh melihat studi kasus. Bisa jadi hal itu terjadi di sekeliling kita. Dimana seorang kader KAMMI yang mengebuh-gebuh dan memiliki semangat juang yang begitu besar di KAMMI tapi harus berpisah dengan KAMMI dan merelakan cintanya dengan KAMMI terhadap obsesi yang lain. Hal itu disebabkan karena atas nama “kepentingan” dakwah.
Tapi bagaimanapun, cinta yang kuat dan kinginan hati yang tulus akan tetap menyatukany obsesi itu. Walaupun memang KAMMI bukanlah tujuan akhir di dalam berjamaah ataupun berdakwah, tapi setidaknya ia akan mengantarkan kita menuju tujuan yang mulia itu.
Ada bayak kisa-kisah menarik dan tentunya saya katakan semua itu menggugah hati para kader KAMMI. Cerita nyata yang barangkali sulit terlintas di dalam benak kita untuk ukuran KAMMI. Boleh jadi peristiwa-peristiwa besar dan heroik itu bayak kita temukan di dalam kalangan orang-orang terdahulu. Tapi di KAMMI ternayta peristiwa unik semacam itu juga hadir membersamai mereka yang menyatakan ikrar sebagai kader organisasi dakwah.
Ada kisah tetang sosok kader KAMMI yang memiliki keunikan dan juga kelebihan. Ia digelari dengan lelaki yang memilih menikah dengan pena dan buku. Itu disebabkan karena produktifitas dirinya di dalam menulis dan mengolah kata, mengolah rasa, dan memberikan marwah dan semangat perjuangan kepada rekan-rekan dan juga adik-adiknya di KAMMI. Menariknya lagi, meski tulisannya sering tampil dan hadir di berbagai media, hampir ia tidak pernah melabeli tulisannya dengan sebutan aktivis KAMMI, ia malu katanya, merasa tidak pantas menjadi kader KAMMI.
Peristiwa lain yang menarik bagi saya di dalam buku ini. Tentang kalimat “kalau ingin menang, tegakkanlah malam dan bagunlah lebih awal” kok bisa?. Begitulah mereka menyebutnya. Semua itu tidak lepas dari peristiwa yang pernah mereka alami.
Dalam bukunya Mas Imron Rosyidi mengisahkan : malam itu tengah tahun 2001 KAMMI mengadakan muhasabah dan qiyaamul lai. Beratus orang ikhwan dan akhwat hadir, diam, menangis dan khusyu. Ya kami berkata bahwa reformasi Indonesia harus diselamatkan.
Siang besok itu, sang presiden akan datang dan mengunjungi kampus kami. Kami tahu dia akan berbicara omong kosong. Sementara dia enggan bertanggung jawab.
Pagi itu kami bergerak, berbondong-bondong dan berduyun-duyun, menutup lima jalan masuk ke kampus. Kami tak tahu darimana ia akan masuk, sebagian barisan kami tebal dua tiga lapis, sebagian barisan kami cuma satu baris mamanjang, tapi kami tetap bersemangat, ikhwan maupun akhwat.
Muka kami corang-morang dengan pasta gigi, pertahanan murah meriah untuk gas air mata. Presiden akan datang sementara kami masih bertahan. Maka air dari water canon pun tersembur menghantam. Polisi menerjang dan memongkar ikhwan maupun akhwat, kami tetap bertahan. Barisan ikhwan terbongkar, akwat bertahan. Polisi-polisi itu mengangkat mereka seperti mengangkat ayam tuk masuk penggorengan. Kami terus saja bertahan dan terus bertahan.
Presiden batal datang, ia sadar penolakan. Kami menang, karena malamnya kami tegakkan dan paginya kami bergerak sejak awal.
Di lain kesempatan, kembali dikisahkan dengan peritiwa yang persisi sama. Namum cara mereka menghadpinya berbeda. Tidak ada lagi malam yang ditegakkan, mereka juga datang ke kampus kesiangan, tidak pula berbondong-bondong dan berduyun-duyun. Juga tidak ada coren moren pada wajah mereka. Serta tidak pula ada semburan air, apalagi barisan yang dibongkar. Tapi yang berbeda dengan sebelumnya adalah kali ini presiden datang dan berhasil masuk ke kampus mereka.
Akhirnya tutur penulis “presiden tetap datang. Kami kalah. Kampus ia jajah semena-mena, dan menang tidak lagi menjadi milik kami. Kami gagal, ia pun bertahan, bahkan ingin terus tetap jadi presiden pada pemilu depan. Kami gagal, karena malamnya tidak kami tegakkan dan kami bangun kesiangan.
Seperti itulah sepenggal kisah menarik lainnya. Mengisyaratkan bahwa untuk bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, harus didasari dengan ketulusan dan pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Juga dengan konsep serta keseriusan yang mendalam. Termasuk perhatian, waktu serta keseruisan, dan tak kalah penting adalah pengorbanan.
Di bagian kedua dari buku ini saya tertarik pada sub judul tentang “Akhwat, Jomblo, Perjuangan.” Yang disinggung tetang perempuan (Akhwat) karena kebetulan yang menulis bagian ini juga adalah Akhwat. Dimana bayak dikisahkan tentang ahkwat (kader KAMMI) yang begitu tegas berjuang bersama KAMMI. Walau berstatus jomblo itu sama sekali tidak mengurangi semangat perjuangan itu.
Di dalam buku ini diceritakan tentang salah seorang Akhwat yang berasal dari Madiun (masih kader KAMMI) yang tidak lagi diragukan militansinya di KAMMI. Walalu aktivitanys tidak hanya di KAMMI, bahkan di sebuah partai Islam, tapi terkadang masih mendahulukan aktifitasnya di KAMMI, (tentu saja dengan diam-diam).
Beliau belum menikah bukan karena tidak ada ikhwan yang mau meng-hitbah-nya. Bahkan pernah ada ikhwan yang sempat akan meng-hitbah-nya, tapi beliau tolak. Anda tahu mengapa beliau menolak ikhwan itu? Ternyata persyaratan yang diajukan cukup memberatkan aktifitas gerakannya di KAMMI. Yaitu PHK KAMMI, artinya akhwat itu tidak lagi boleh aktif dan bergerak lagi di KAMMI. Maka jangan kaget jika akhwat itu belum menikah, bahkan sampai saat ini.
Kisa ini juga sedikit menyentuh dan menggugah hari. Itu merupakan petanda bahwa generasi dulu telah sukses melakukan didikan di KAMMI. Sebeb semangat juang dan pengorbanan di KAMMI yang nyata sudah kita saksikan bersama sama.
Hal itu juga membuat saya secara peribadi sedikit termenung. Apalagi dengan membandingkan kontesk itu dengan akhwat KAMMI yang ada sekarang. Sebenarnya saya tidak ingin membanding-bandingkan akan generasi. Tapi cukup melihat realita yang ada. Bahwa pasca menikah kadang seorang kader akhawt KAMMI itu jarang bahkan tidak lagi bisa ditemukan peredarannya di KAMMI. Bahkan justru bukan hanya kahwat. Hal itu juga menimpah para ikhwan.
Saya juga tidak bermaksud dengan perbadingan itu kemudian mejustifikasi bahwa akhwat KAMMI sekarang itu lemah. Sebab dulu, Itu dulu para akhwat KAMMI itu semuannya kuat-kuat. Jangankan hanya aksi, berbenturan dengan aparat pun mereka tidak ogah-ogahan. Kalau hanya gas air mata bagi mereka itu hanya angin lewat. Berlalu begitu saja.
Pernah juga suatu waktu Mas Phirman Rezha, mentan ketua KAMMI Daerah, berdiskusi dengan beberpa kader. Kemudian beliau mengoceh, ia mengatakan, “Bahwa Ikhwan KAMMI itu, kalian tidak boleh lemah seperti akhwat!”. Langsung spontan beliau diinterupsi oleh salah seorang akhwat yang hadir. “Afwan akh akhwat itu tidak lemah” ujar seorang akhwat spontan. Diskusi pun dilanjutkan, semuanya berlalu. Tapi masih menyimpan beberapa catatan.
Pada bagian ini juga saya coba kutip peryataan penulisnya yang merupakan seorang akhwat. Tentu juga akhwat tangguh menurut saya secara peribadi. Di dalam tulisan itu ia mengutip pernyataan Ust Cahyadi yang mengatakan : saat ini pergerakan KAMMI sangat membutuhkan orang-orang yang komitmen, istiqomah, dan professional untuk bergerak di bidang harokah mahasiswa. Karena disitulah orientasi, visi dan intelektual mahasiswa islam akan diuji bersama dengan benturan-benturan peradaban, kultur, dan sistem yang ada, yang akan mendewasakan KAMMI untuk melangkah pada ranah yang lebih cerdas dan maju.
Sub topik yang lain yang tidak kalah menarik adalah bagian kedua yang juga dituis oleh ukh EvGie Fitriah. Sebanarnya ketika saya mencobay membadingakan dengan dua rekan ikhwan yang juga menulis di dalam buku ini tulisan beliau lebih bayak menggugah hati dan perasaan saya secara peribadai bahkan juga mungkin pembaca yang lain. Apalagi ketika hal itu dihadapkan kepada saya secara peribadi, yang juga notabene begitu mudah digugah soal perasaan, maka jadinya selalu terbawa suasana.
Topik yang saya maksud disini adalah “Bukti Cinta Seorang Akhwat”. Cinta disini mengarahnya kepada cinta terhadap KAMMI, begitu ditegaskan pada buku ini. Di dalam kisah yang ada, diceritakan seorang kahwat dari komisariat UAD yang berkali-kali mengatakan bahwa ia tidak ingin lepas dari KAMMI walaupun tidak menjabat secara struktural di KAMMI. Ketsiqohannya kepada KAMMI membuat ia selalu dekat dengan kader-kader bawah. Ia selalu ingin membantu sekuat tenaga. Karena belum memiliki penghasilan, ia mulai sibuk mencari maisyah, sampai akhirnya ia mempunyai mini market dan warung makan dekat kampus. Mimpinya untuk menjadi donator tetap KAMMI UAD telah tercapai.
Bukti cinta yang lain dari kahwat ini adalah ketika teman-temannya menjadi relawan yang berangkat ke Aceh dengan wasilah partai, ia lebih memilih berangkat dengan KAMMI. Semua orang tahu kalau KAMMI tidak punya uang banyak untuk sekedar memberangkatkan para relawan ke Aceh dengan pasawat apalagi dengan fasiitas yang memadai. Sampai saya dengar ada relawan KAMMI DIY di Aceh yang sakit karena fasilitasnya tidak memadai dan mereka berkata kalau mereka sedang kebingungan mencari kendaraan untuk pulang ke Jogja. Ia tahu konsekuensi yang harus ia tanggung dengan terus bertahan di KAMMI.
Kisah ini seharusnya menggugah setiap kader KAMMI yang ada. Terlebih misalnya mereka yang selalu bergerak tapi berada di bawah “kendali” orang. Bergerak tapi tidak memiliki kemandirian. Walau memang ia didukung dengan fasilitas lengkap dan memadai. Tapi cerita akhwat tapi cukup heriok, ia menujukkan keteguhan hati untuk membawa nama KAMMI ini melangit bersama dengan mimpi-mimpinya juga dengan segala keterbatasan yang ada.
Hal itu juga semestinya menjadi cambuk bagi kader KAMMI yang selama ini mengaku dirinya bertindak sebagai relawan. Tapi relawan milik orang, bukan kepunyaan KAMMI. Seharusnya ia sadar, tumbuh jiwa dan semangat membangun KAMMI melalui kontribusi mereka. Yang tentu juga dipahami dengan segala keterbatadan yang ada.
Penulis: Rizkiyansyah
Editor: Renilda PY