email : [email protected]

24 C
Jambi City
Monday, November 25, 2024
- Advertisement -

ASAL USUL BERDIRINYA KESULTANAN PAGARUYUNG  DI SUMATRA BARAT

Populer

Padang, Oerban.com – Kesultanan Pagaruyung merupakan kerajaan yang pernah berdiri di Sumatra Barat. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yang bernama Pagaruyung. Kerajaan ini dulunya adalah bagian dari kerajaan Malayapura pimpinan Adityawarman. Tetapi tidak diketahui pasti kapan berdirinya Pagaruyung karena masih terbatasnya sumber yang ditemukan untuk menjelaskan kerajaan tersebut. Namun dalam prasasti Batusangkar disebutkan bahwa ketika Adityawarman memerintah disana, ia memindahkan pusat pemerintahan Pagaruyung ke wilayah pedalaman Minangkabau.

Pengaruh Islam masuk di Pagaruyung diperkirakan berkembang pada abad ke-16 oleh para musafir dan ahli agama yang singgah ke wilayah Aceh dan Malaka. Orang yang dianggap pertama kali menyebarkan islam di Pagaruyung adalah Syaikh Baharuddin Ulakan, salah satu murid dari ulama Aceh bernama Syeikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala).
Pada abad ke-17, kerajaan Pagaruyung yang sebelumnya bercorak agama Hindu, berubah menjadi bercorak Islam dan menggantinya menjadi Kesultanan Pagaruyung. Menurut Tambo adat Minangkabau, raja Pagaruyung yang pertama kali memeluk agama islam adalah Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan denagan ajaran agama islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal sampai saat ini : “ Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Qur’an. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yang mendorong terjadinya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri, yang pada awalnya antara kaum Padri (Ulama) dengan kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pmerintahan Kerajaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan islam. Kesultanan Pagaruyung mulai mengalami kemunduran setelah terjadinya Perang Saudara antara Kaumuai Padri (Ulama) dengan orang-orang yang masih menginginkan pemerintahan sesuai dengan adat istiadat sebelumnya. Perang yang melibatkan dua kelompok masyarakat itu terjadi cukup lama, terhitung sejak tahun 1803 sampai 1838. Pemicu utama dari peperangan tersebutadlah adanya penolakan dari sebagian masyarakat terhadap aturan yang dibuat oleh para ulama. Banyak masyarakat yang masih melakukan kebiasaan lama yang bertentangan dengan agama islam, seperti perjudian, minuman keras, penggunaan madat, tidak dilaksanakannya kewajiban dalam islam, dan lain sebagainya.

Runtuhnya Pagaruyung

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di Pesisir Selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung. Pada awal abad ke-19 pecah anatara Kaum Padri ddan Kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negri dakam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya kaum padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkirkan dan melarikan diri dar ibu kota ke lubuk Jambi. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah, kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada diPadang, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan belanda untuk bekerja sama dalam melawan kaum padri. Walau sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjsnjisn ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung datri Kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsayah kembali ke Pagaruyuang, tetapi pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja terakhir di Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.
Sementara Sultan tangal Alam Bagagarsyah pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja Regent Tanah Datar. Kemudian karena kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.
Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prastise kerajaan Pagaruyung tetep tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu ahli waris krajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi di Kuantan. Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, ia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan , dan Raffles bermaksud mengangkat yang dipertuan Ali Alamsyah yang dianggap masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja dibawah perlindungan Inggris. Setelah berakhirnya perang padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan kedudukan yang lebih tinggi daripada sekedar Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, tetapi permintaan ini ditolak oleh Belanda, hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong terjadinya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh setelah Cultuurstelsel.

Penulis: Nilam M (Mahasiswa Semester 3 Ilmu Sejarah Universitas Jambi)

Editor: Renilda PY

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru