email : [email protected]

24.5 C
Jambi City
Thursday, November 14, 2024
- Advertisement -

Bandit Unyil Kecapi Demokrasi 

Populer

 Oleh: Zet Haryanto S.H.M.H.*

Oerban.com – BAWASLU Provinsi Jambi menemukan 19 (sembilan belas) ujaran kebencian selama 42 (empat puluh dua) hari pelaksanaan tahapan kampanye Pemilihan Calon Kepala Daerah. Bawaslu juga menemukan 15 (lima belas) dugaan berita bohong (hoaks) selama tahapan kampanye Pilkada serentak tahun 2024 ini.

Selain pengawasan bidang cyber yang telah dilakukan, Bawaslu provinsi dan Bawaslu kabupaten/kota di Jambi juga telah melakukan pengawasan terhadap 1575 Jenis kegiatan kampanye yang terdiri dari 595 dengan metode kampanye pertemuan terbatas, 909 dengan metode pertemuan kampanye tatap muka, 3 metode debat publik dan 70 kegiatan dengan metode lainnya yang tidak melanggar larangan kampanye.

Lebih lanjut ditemukan pula 2 (dua) konten yang mengandung ajakan pelanggaran pemilihan serta 1 (satu) dugaan pelanggaraan ketidaknetralan yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN). Sampai dengan 5 November 2024 yang lalu, Bawaslu se-Provinsi Jambi juga telah menangani sejumlah 38 (tiga puluh delapan) dugaan pelanggaran dengan rincian 9 (sembilan) berupa temuan dan 29 (dua puluh sembilan) berdasarkan laporan. Selanjutnya terhadap seluruh hal tersebut, pihak Bawaslu telah meneruskan kepada pihak berwenang untuk ditindaklanjuti (Sumber: TVRI Jambi).

Catatan Bawaslu di atas kiranya sebagai refleksi bagi kita semua pada ditahap kampanye Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024 ini. Penyelenggara dengan semua instrumen yang melekat, dituntut untuk selalu bersikap independent, impartiality dan profesional sebagai instrumen dasar yang harus benar-benar melekat sebagai cermin suksesnya helatan lima tahunan ini. Setidaknya itulah idealnya yang harus dilakukan guna mewujudkan Pemilukada yang berintegritas ditengah meningkatnya tensi dan konstelasi politik di masa kampanye.

Fenomena gempuran ujaran kebencian dan berita bohong (hoaks) yang menjadi trend dimasa kampanye, tak hanya menjadi momok yang menakutkan buat para kontestan, ditengah iktiarnya berjuang meraih simpati dimasa kampanye sebagai upaya untuk mendulang suara dari vouters pada saat masa dilaksanakannya pemilihan nanti, akan tetapi lebih jauh tindakan ini adalah, bentuk upaya penyesatan bagi vouters untuk mendapatkan informasi yang benar tentang calon kandidat yang akan menjadi pemimpin nantinya didaerah otonomnya masing-masing.

Melawan hoaks sama dengan melawan atas upaya pembodohan, apalagi ujaran kebencian yang tak hanya berpotensi mengancam atas amannya keberlangsungan helatan Pilkada saja, tapi patut pula dimaknai sebagai suatu bentuk kejahatan yang harus ditangkal bersama sejak dini karna berpotensi memicu disintegrasi dalam bingkai Indonesia sebagai kesatuan. Maka tak ada pilihan lain bahwa, komitmen untuk menegakkan aturan secara serius dan konsisten amatlah dibutuhkan dari para penegak hukum sesuai ranah dan kewenangannya.

Baca juga  Menggali Makna 'Salah Boleh, Bohong Jangan' di Balik Kecanduan

Di samping upaya represip dalam konteks law inforcement, tentunya pendekatan dengan metode preventif mesti tetap gencar dilakukan sebagai bentuk pencegahan. Koordinasi dan upaya edukasi yang telah dilakukan sebelumnya antara penyelenggara beserta seluruh elemen unsurnya, dengan menggandeng pihak terkait dan berkepentingan, harus lebih masif hendaknya.

Kreator konten dan influencer sebagai salah satu profesi yang dominan digandrungi oleh kaum muda yang berfokus pada pemanfaatan kemajuan tekhnologi media sosial, dengan banyaknya pengikut mereka tentu menciptakan suatu energi kekuatan untuk mempengaruhi opini, perilaku ataupun keputusan pengikutnya.

Bergabungnya komunitas ini pada helatan kontestasi Pilkada didaerah utamanya saat masa kampanye, tentu menambah warna dan dapat pula diinterptetasikan sebagai kemajuan perilaku sadar akan hak berpolitik pada perspektif warga negara. Pendidikan politik dengan bekal pengetahuan dan wawasan yang luas dengan prinsip mengedepankan nilai-nilai budaya kearifan lokal dan perilaku taat dan sadar akan konsekuensi hukum, menjadi penting dalam rangka upaya menjaga iklim yang sejuk dan kondusif terlebih di masa kampaye Pilkada kala ini.

Hal ini tentu memiliki korelasi yang erat yaitu calon kepala daerah yang sedang berlaga sebagai figur ataupun pengguna, terlepas dari motif ekonomi yang mungkin saja menyertainya sebagai upaya untuk membangun brand image dimata vouters sebagai strategi pemenangan yang akan dimainkan dimasa kampanye Pilkada.

Hal di atas tentu akan sangat berguna mengingat generasi muda sebagai individu, merupakan entitas penting yang diharapkan dapat mempertahankan eksistensi dan pengaruhnya yang menuntut harus cerdas dalam bertindak maupun selektif dalam memilih pemimpin konteksnya. Sebagai kontestan, tiap kandidat kepala daerah tentu harus memegang teguh janji sebagaimana telah diikrarkan pada deklarasi kampanye damai sebelumnya. Ko

mitmen yang telah disetujui dalam bentuk penandatangan yang dilakukan bersama sama dengan pihak berkepentingan lainnya, secara substansi adalah bersifat mengikat dan berlaku sebagai Undang-Undang untuk keseluruhan unsur yang terdapat dan melekat didalamnya. Perilaku ingkar atas komitmen tersebut tak hanya memiliki konsekuensi secara norma sebagai hukum yang berlaku, dengan kondisi masyarakat daerah yang kian hari semakin terbuka dan cerdas tentu memiliki persepsi tersendiri akan perilaku dan sosok kandidat yang pasti akan menjadi bahan timbangan berfikir yang berpengaruh pada keputusan akhir saat tiba waktu memilih kelak.

Baca juga  Soal Strategi Peningkatan UMKM di Muaro Jambi, BBS-Jun Sodorkan 2 Program Berdikari

Selain itu fakta yang sering kali dijumpai pada masa kampanye Pilkada adalah, adanya fenomena narasi janji pemberian jabatan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) daerah yang secara terang-terangan digaungkan oleh calon kepala kepala daerah dibeberapa kesempatan yang umumnya dilakukan dibeberapa daerah pemilihan terutama yang memiliki vouters terpadat diantara daerah pemilihan lainnya baik secara populasi maupun kohesi dan koherensi dalam pemahamannya.

Buaian janji itu bagaikan suara alat musik kecapi, terdengar lembut dan merdu ditelinga Aparatur Sipil Negara (ASN) didaerah, karna harapan akan suatu jabatan tertentu yang akan diduduki yang tentu saja pada praktenya terdapat hubungan timbal balik yaitu Aparatur Sipil Negara (ASN ) tersebut tidak saja harus mendukung calon kepala daerah dimaksud, akan tetapi harus pula mencari suara lain secara maksimal dalam rangka pemenangan calon kandidat kepala daerah tersebut.

Padahal secara logika, tentunya praktik pemberian janji jabatan ini adalah semu, terkesan asalan dan serampangan yang tentu saja saat ini belum bisa dikatakan sebagai bukti dan kebenaran bentuk komitmen atas janji. Dalam pelaksanaannya, tentunya tidak mudah yang bisa dilakukan secara serta merta dengan semena-mena karna diharuskan memperhatikan dan taat kepada seluruh aturan dalam bentuk regulasi dibanyak tahapan yang harus dilalui berkaitan dengan hal tersebut, apalagi jika dikaitkan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) tentunya pemberian janji ini perlu kita cermati kembali.

Walaupun secara ekplisit tidak diatur sebagai perbuatan yang dilarang pada masa kampanye ditahapan Pilkada, fenomena pemberian janji jabatan yang dilakukan oleh calon kepala daerah diatas akan menambah daftar panjang masalah yang berpotensi mengusik netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) didaerah dalam penyelenggaraan Pilkada dimanapun tingkatannya, karna netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) hakikatnya harus terjaga.

Guna menghindari penyalahgunaan wewenang (abuse of power) terhadap pelayanan publik, Aparatur Sipil Negara (ASN) bertugas serta bertanggung jawab dalam rangka pelayanan kepada masyarakat bukan untuk pemenuhan kebutuhan pribadi atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, segala potensi yang dapat mengakibatkan keberpihakan atau ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam penyelenggaraan Pilkada semestinya menjadi perhatian kita semua utamanya oleh penyelenggara.

Baca juga  Ulasan Jumat, H. Haryono Ingatkan Anjuran Pilih Pemimpin Laki-laki dalam Islam

Pada perspektif etik, apabila ada perilaku calon kepala daerah yang bertentangan dengan aturan hukum serta tidak mendapatkan penegakkan hukum bisa berdampak terhadap turunnya kepercayaan masyarakat terhadap upaya pengawasan yang telah dilakukan oleh penyelenggara, akhirnya berdampak terhadap kepercayaan masyarakat atas kualitas penyelenggaraan maupun hasil dari tahapan proses Pilkada itu sendiri akhirnya.

Menyimak fakta, dengan memperhatikan keseluruhan fenomena yang terjadi diatas, kiranya patut kita waspadai akan hadirnya gejala hipotetik atau kecenderungan yang bisa saja terjadi didaerah manapun di Nusantara ini dengan kemunculan aktor-aktor penjahat (bandit) yang dimulai ditahapan dan level paling bawah (kecil), dengan peran sebagai perampok atau penjarah sumber-sumber kekayaan publik, pencipta kebobrokan pelayanan terhadap publik dengan memanfaatkan situasi yang tentu melenceng dari cita-cita pendiri bangsa sebagai salah satu dampak lemahnya penegakkan hukum (law inforcement) karena gagalnya mamahami ataupun melaksanakan nilai demokrasi yang bertransformasi hingga ketingkat daerah yang telah dibangun sebelumnya.

Munculnya bibit-bibit praktik perilaku yang koruptip yang dilakukan secara masif dalam pelaksanaannya, tentu saja telah menciderai kepentingan umum dengan membunuh harapan-harapan rakyat untuk bisa merasakan kemakmuran dan kesejahteraan secara bersama dan merata, dan hal ini semua dimulai dilingkup dan berangkat dari hal terkecil. Perilaku apatis tersebut atas fenomena tersebut selanjuitnya dapat menggerogoti dan merusak tatanan serta nilai juga konsep yang telah dibangun sebelumnya.

Tanpa bermaksud menyudutkan apalagi menyalahkan lalu menuding satu kelompok sebagai pelaku untuk kemudian bersikap tendensisus pada golongan tertentu pula, dalam perspektif masyarakat didaerah pada helatan kontestasi Pilkada ini, kiranya hal diatas adalah sebagai bentuk evaluasi dan wujud empati sekaligus kritik yang membangun bagi kita semua terhadap proses penyelenggaraan ditahapan masa kampanye Pilkada tahun 2024 ini yang secara hakekat adalah berintegritas sebagai momentum untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas.

Tentang pilihan, cukup dua saja yang menjadi alasan:

Pertama, kita tidak berhutang penjelasan apapun pada siapapun perihal pilihan yang kita pilih.

Kedua, pada akhirnya hasil baik dari apapun yang kita pilih dengan sendirinya akan menjelaskan semuanya.

*Jambi Perdha Riset & Edukasi (JAPRI). 

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru