Penulis: Adrian kurniawan
Pada 17 Januari 2018 parlemen Eropa mengadakan jejak pendapat, dengan tujuan pengambilan keputusan tentang penggunaan minyak sawit bagi produk biodiesel. Tujuan keputusan ini diambil untuk meningkatkan efisiensi energi hingga 35 persen pada 2030. Mayoritas anggota Parlemen Uni Eropa menyetujui rencana untuk melarang penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku utama biodisel. Indonesia merupakan produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2016, Indonesia dapat menghasilkan minyak kelapa sawit sebesar 36 juta ton metrik.
Ada lima alasan Parlemen Uni Eropa mengeluarkan kebijakan larangan impor CPO dan produk turunannya, yaitu industri sawit menciptakan deforestasi, degradasi habitat satwa, korupsi, memperkerjakan anak, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Parlemen Uni Eropa menganggap industri sawit Indonesia sebagai salah satu pemicu masalah-masalah tersebut. Alasan tersebut disetujui oleh 640 anggota Parlemen Uni Eropa, sedangkan 18 lainnya menolak, dan 28 memilih abstain. Peritel Eropa juga semakin sadar untuk lebih peduli terhadap lingkungan, sosial dan hak asasi manusia yang ditimbulkan dari industri sawit, sehingga menolak penggunaan CPO pada produk makanan yang dijual, seperti: Iceland Foods(Inggris), Carefour (Prancis), Systeme U (Prancis), Del Haize (Belgia), Casino (Prancis). Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah salah tindakan peritel Eropa menolak CPO karena kepeduliannya terhadap lingkungan, sosial dan hak asasi manusia?. Jawabnya, tidak. Dominasi penguasaan ruang oleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia menciptakan deforestasi dan membawa dampak bencana ekologis.
Sementara itu pelarangan impor CPO sendiri akan berimbas besar kepada Indonesia seperti kelebihan pasokan CPO sementara permintaan CPO turun akibat larangan ekspor, menyebabkan penurunan harga TBS sawit. Bahkan kesepakatan penetapan harga TBS sawit dilanggar oleh pabrik-pabrik sawit.
Penurunan harga TBS secara sepihak ini menyebabkan kerugian petani.
Langkah yang Harus Diambil untuk Menyelamatkan Industri Kelapa Sawit langkah awal yang perlu dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan industri adalah melakukan upaya diplomasi untuk memerangi stigma negatif bagi industri kelapa sawit. Upaya ini perlu dilakukan untuk menahan efek domino yang mungkin timbul akibat berkembangnya stigma negatif terhadap minyak kelapa sawit. Tanpa adanya political will yang kuat dari pemerintah, upaya diplomasi tidak akan dapat dilakukan dan industri kelapa sawit Indonesia akan semakin suram mengingat banyaknya stigma negatif yang berkembang. Mengingat keputusan Parlemen Uni Eropa akan berdampak bagi perkembangan industri sawit dalam negeri dan juga berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat baik secara sosial maupun ekonomi. Harusnya pemerintah juga mendesak WTO agar semua Negara anggota mematuhi prinsip perdagangan dunia yang tidak boleh ada ristriksi perdagangan teknis. keempat pemerintah harus serius mengembangkan produk industri hilir yang selama ini dianggap kurang optimal.
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi