Kota Jambi, Oerban.com – Selasa, 17 Agustus lalu menjadi sebuah momentum yang akan selalu diingat oleh bangsa Indonesia, pasalnya, hari inilah yang diperingati sebagai hari ulang tahun kemerdekaan republik Indonesia. Sejarah penjajahan di Indonesia menjadi titik balik perjuangan hingga saat ini.
Meskipun penjajahan secara fisik tidak kita temui saat ini, namun, beberapa pihak mensinyalir penjajahan tersebut telah berubah bentuk. Dalam teori Pascakolonial, bentuk penghambaan terhadap bangsa kulit putih dapat dilihat dari kecenderungan mereka yang lebih membanggakan peradaban barat, menganggap segala yang ada di barat sebagai superior, sedangkan bangsa timur (Indonesia) menjadi negara kelas kedua.
Padahal, segala bentuk indikator penilaian dan asumsi tersebut tidak dapat dibenarkan begitu saja. Bangsa timur memiliki kultur masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai sopan santun dan keramahtamahan, begitu pula barat dengan kultur masyarakatnya yang plural. Perbandingan keduanya tidak akan pernah final, sebab, keduanya memiliki kelebihan masing-masing.
76 tahun merdeka, umur yang cukup tua jika diasosiasikan sebagai umur manusia. Dengan tahun kedua yang masih berada dalam situasi sengkarut pandemi yang melemahkan berbagai aspek kehidupan, semua orang diharapkan dapat saling bantu dan berdaya, menjalankan segala bentuk kebiasaan baru yang berbeda dari sebelumnya.
Kerumunan di Gentala Arasy
Barangkali diakibatkan oleh rasa bosan di rumah yang tidak tersalurkan, disertai dengan momentum perayaan kemerdekaan, warga Jambi beramai-ramai mendatangi jembatan Gentala Arasy, yang telah diberi 1000 bendera.
Dikutip dari Jambi independent.co.id, pemasangan bendera itu merupakan semarak menyambut peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI ke-76. Gubernur Jambi dalam statemennya mengatakan hal itu dilakukan dalam rangka mengenang perjuangan para pahlawan terdahulu.
Tidak ada yang salah, bendera-bendera itu terpasang indah memenuhi sepanjang jembatan yang meliuk membentuk huruf ‘s’ tersebut. Hanya, pemandangan kerumunan yang akhir-akhir ini dilarang menjadi tumpah ruah disana. Beberapa petugas berjaga, namun, hanya duduk-duduk saja sambil sesekali tersenyum dengan sesamanya.
Barangkali, memang tidak ada yang bisa dilakukan dengan kerumunan dan perayaan kemerdekaan bangsa. Sebuah momentum, bahkan jika pun itu membahayakan, memperbesar resiko penularan virus yang hingga hari ini sulit dikendalikan. Isu politis dibalik asal mulanya di Wuhan, Cina. Hingga upaya WHO yang belum juga menunjukkan kemajuan dimana virus ini bermula tidak akan mengubah semangat kemerdekaan.
Kita maklum, karena sebab beberapa hal yang menurut sebagian orang dapat ditolerir, membuat kita menormalisasi keadaan berbahaya. Tidak ada yang mengingatkan bahwa kemerdekaan yang dulu direbut dengan perjuangan susah payah juga harus dipertahankan dengan kesadaran, ya, kesadaran akan mahalnya nyawa. Betapapun tidak, mati konyol karena berkerumun di Gentala akibat penyebaran virus, bukanlah harapan para pahlawan kita, saya rasa.
Editor : Renilda Pratiwi Yolandini