email : [email protected]

31 C
Jambi City
Minggu, September 29, 2024
- Advertisement -

Dissenting Opinion Memberikan Asa untuk Bangsa

Populer

Oleh: Nailah Arrum Tsabita*

Oerban.com – Indonesia sebagai sebuah bangsa besar yang terdiri dari berbagai macam suku, ras serta agama, tentu tidak asing lagi dengan kata “Memberikan Pendapat”. Kalimat tersebut seolah menjadi kunci persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia hingga saat ini agar tidak terpecah belah.

Beberapa waktu lalu, kita dihangatkan dengan berita persidangan yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa pemilu tahun ini. Yakni terdapat sebuah momen di mana tiga hakim Mahmakah Konstitusi, yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Hal ini menjadi topik hangat dibicarakan oleh beberapa netizen di mana kasus ini juga merupakan kali pertama dalam sejarah perkara PHPU Presiden di Mahkamah Konstitusi.

Dissenting opinion sendiri merupakan pendapat berbeda dari mayoritas atau pendapat hakim yang berbeda dalam suatu putusan. Mulai dari fakta hukum, pertimbangan hukum, sampai amar putusannya berbeda. Menurut Pasal 45 ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dissenting opinion merupakan dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat, pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.

Dalam konteks putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dissenting opinion merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban moral hakim konstitusi yang berbeda pendapat serta wujud transparansi agar masyarakat mengetahui seluruh pertimbangan hukum putusan MK. Adanya dissenting opinion ini tidak memengaruhi kekuatan hukum putusan MK.

Begitu pula di peradilan di lingkungan Mahkamah Agung (MA), dissenting opinion tidak memengaruhi putusan pengadilan. Hal ini karena putusan diambil berdasarkan musyawarah, dan jika tidak mencapai mufakat bulat, maka pendapat yang berbeda dimuat dalam putusan. Dengan kata lain, putusan ditentukan oleh suara mayoritas/terbanyak.

Baca juga  UKM Enterpreneur Mahasiswa UNJA Gelar Pelatihan PHP2D di Desa Suka Maju

Menurut Mahfud MD, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua MK periode 2008-2013 mengatakan, “Memutuskan sengketa pilpres baru hari ini ada dissenting opinion. Sejak dulu tidak boleh ada dissenting opinion, karena biasanya hakim berembuk karena ini menyangkut jabatan orang, maka ini harus sama. Dirembuk sampai sama. Nah mungkin ini nggak bisa sama. Itu ada catatan sejarah.”

Dissenting opinion sendiri memiliki beberapa manfaat dalam proses persidangan MK, yakni mendorong hakim untuk dapat mempertimbangkan semua keputusan dengan tepat dan bijak untuk menghasilkan keputusan yang lebih matang dan berkualitas. Kemudian, dissenting opinion membantu dan memberi ruang kepada suara minoritas, sehingga persidangan tidak didominasi oleh suara mayoritas saja.

Filosofi adanya dissenting opinion adalah untuk memberikan akuntabilitas kepada masyarakat pencari keadilan (justiabelen) dari para hakim yang memutus perkara. Penyelesaian perkara kepailitan harus diselesaikan oleh hakim dalam bentuk majelis sehingga dalam keputusan akhir tidak tertutup kemungkinan adanya perbedaan pendapat di antara majelis hakim. Secara yuridis jika terjadi perbedaan pendapat, maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Hal ini kadangkala mengakibatkan hakim yang mempunyai integritas tinggi kalah dalam voting, sehingga untuk itu disediakan sarana untuk mengungkapkan perbedaan pendapatnya yang disertai dengan argumentasi yuridis dan merupakan satu kesatuan dengan putusan hakim. Bagi masyarakat, dissenting opinion ini penting untuk memantau pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menangani perkara.

Dengan adanya dissenting opinion di antara hakim MK, membuktikan bahwa masih ada tiga hakim yang betul-betul menunjukkan kenegarawanannya. Masih ada harapan bahwa bangsa Indonesia masih bisa maju dan terlepas dari jerat kekang permainan kotor politik yang tidak ada habisnya hingga abad digitalisasi saat ini. Di lautan mayoritas yang seolah tuli akan pendapat minoritas, dissenting opinion hadir untuk membantu dan mengangkat suara minoritas yang seharuusnya juga turut dipertimbangkan. Mayoritas bukan berarti benar dan minoritas bukan berarti salah. Masyarakat dan semua kalangan mempunyai hak bersuara, terlepas dari pendapatnya yang berbeda-beda.

Baca juga  Merawat Kewarasan di Era Peradaban

*penulis merupakan mahasiswi Ilmu Pemerintah Universitas Jambi. 

- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru