Surabaya, Oerban.com – Guru besar Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Profesor Henry Subiakto memberikan komentarnya soal polemik kritik dan buzzer lewat akun twitter pribadinya.
Menurut Henry, kritik bukanlah bentuk pelanggaran terhadap undang-undang, selama kritik tersebut dimaknai sebagai tanggapan, koreksi, penilaian, dan ketidaksetujuan terhadap sebuah argumentasi.
Namun kata Henry, segala bentuk penyebaran hoax dan provokasi kebencian tidak boleh dianggap sebagai kritik, karena pada dasarnya hal tersebut telah melanggar hukum
“Tapi kalau nyebar hoax, fitnah, provokasi kebencian dianggap juga sebagai aktivitas kritik. Itu sama saja dengan mengabaikan hukum,” Kata Henry pada Sabtu (13/2).
Menyoal keberadaan buzzer di dunia maya, Henry meminta masyarakat untuk tidak sembarangan menuduh, sebab yang aktif media sosial bukan hanya buzzer.
“Rakyat juga banyak yang eksis dan aktif, dengan semangat & berbagai motif. Yang penting mereka asal tidak melanggar hukum. Karena kalau melakukan kejahatan yang dilarang UU bisa dihukum,” Tegasnya.
Lebih lanjut, Henry membandingkan antara kondisi kritik zaman dulu dan sekarang. Dirinya mengatakan jika dulu kritik itu dilakukan lewat media massa, sehingga reaksi yang dihadapi hanya dari yang dikritik, dan rakyat pun hanya dapat menjadi penonton.
“Sekarang rakyat punya media sendiri di internet. Pola komunikasi berubah. Pengritik dapat reaksi langsung dari rakyat yang aktif & beragam. Ternyata pengritik banyak yang tidak tahan juga dikritik,” Ungkapnya.
Terpisah dari itu, Henry mengatakan jika persaingan di era digital akan semakin sulit, hanya mereka yang mampu beradaptasi dan meningkatkan diri menghadapi perubahan yang mampu memenangkan persaingan.
“Meraka yang tidak mau berubah, pasrah, atau menganggap keadaan yang salah, hanya akan kalah,” Katanya di akun twitter pribadi pada Minggu (14/2).
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini