‘Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian.
Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’.
Pantun ini begitu memilukan untuk diterapkan pada keadaan saat ini. Bagaimana tidak, pantun yang menjanjikan kesenangan di akhir perjuangan kini hanya menjadi opini dan bahan pergunjingan. Banyak janji manis yang terucap dari mulut para pejabat walau melalui pantun yang singkat. Katanya untuk penyemangat, nyatanya obat penenang sesaat.
‘Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing’
Pepatah ini kian terngiang dalam benak saya ketika masih berproses di rumah tercinta, yakni HIMSI (Himpunan Mahasiswa Indonesia). Acap kali pepatah ini kami gunakan untuk saling mengingatkan bahwa tidak ada masalah tanpa ada solusi, tidak ada yang sulit jika ingin berbagi. Namun sayang, meski pepatah ini telah diterapkan dikalangan mahasiswa ternyata masih bermasalah. Banyaknya bertanya dan berbicara malah dianggap sebagai bencana. Oleh siapa? Siapa lagi kalau bukan mereka yang enggan berbagi cerita dengan dalih ini tugas mereka, sedangkan mahasiswa cukup belajar dan nikmati saja hasilnya.
‘Tong kosong nyaring bunyinya’
Masih ingat dengan pepatah ini? Saya rasa pepatah ini cukup mewakili janji mereka yang tidak ada buktinya. Jika memang semuanya sudah diusahakan, apakah menyerah pilihan yang tepat untuk dilakukan? Saya rasa sebagai pengambil kebijakan, menyerah bukanlah solusi yang tepat untuk dilakukan. Meski berulang kali mereka berdalih tidak ada yang dirugikan apabila fakultas yang belum OTK di integrasikan ke fakultas lain yang sudah OTK, pada kenyataannya mahasiswa tetap yang menjadi korban dari itu semua. Rugi dari segi apa? Kalau menurut saya semuanya, mulai dari waktu, tenaga, dana, sampai otak yang selalu dipaksa. Bagaimana tidak, selama empat tahun berada di fakultas FIB tercinta banyak sekali saya temui mahasiswa yang rela menggunakan uang pribadi dalam mengikuti organisasi diluar kampus dengan tujuan agar himpunan, prodi, fakultas maupun universitas mereka dapat dikenal di khalayak luar seperti mahasiswa yang mengikuti berbagai kegiatan dari Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Indonesia (IMABSII) di luar pulau salah satunya. Apakah hasil seperti ini (FIB di integrasikan ke FKIP) layak untuk mereka? Ini masih sepercik kerugian yang dialami oleh mahasiswa di prodi Sastra Indonesia saja, apalagi jika kita lihat dari kerugian yang terdapat pada mahasiswa di prodi FIB lainnya.
‘Dimana kaki dipijak, disitu langit dijunjung’
Perihal pepatah ini, bukan tidak ingin menerapkannya hanya saja apakah linear ilmu murni disatukan dengan ilmu pendidikan? Meski terdapat beberapa matakuliah yang sama akan tetapi tetap saja keduanya merupakan dua rumpun ilmu yang berbeda. Kejadian ini mengingatkan saya pada pelajaran semantik bagian sinonim. Banyak sekali orang yang mengatakan bahwa sinonim merupakan ilmu yang membahas tentang kata yang memiliki makna sama padahal sinonim merupakan ilmu yang membahas tentang kata yang memiliki makna hampir sama bukan sama. Untuk itu, saya selaku mahasiswa FIB sangat menolak apabila FIB diintegrasikan ke FKIP dan tetap menyarankan bagaimanapun caranya dan apapun alasannya sesuatu yang hampir sama jangan di katakan sama apalagi jika hanya untuk coba-coba dan harus tetap diletakkan pada tempat semestinya.
(KM)