Oleh: SABDA PRANAWA DJATI, SH
(Sekretaris Jenderal Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia)
“Bro, KAMI itu apa sih? Arahnya mau kemana?” tanya seorang sahabat juang, sesama aktivis serikat pekerja, beberapa hari yang lalu.
Belum saya jawab, dia sudah bertanya lagi, “Ente kan hadir yah, waktu deklarasi KAMI di Tugu Proklamasi tanggal 18 Agustus 2020?”
Saya pun tersenyum. Rupanya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia atau disingkat KAMI, tidak saja menarik perhatian para elit politik di negeri ini. Tapi juga menjadi perhatian masyarakat umum.
“Gini, Bro… Sebelum saya jawab apa dan kemana arah KAMI, saya mau ngajak ente untuk flashback ke tahun 2014. Saat masa kampanye pemilihan Presiden Indonesia. Tepatnya tanggal 5 Juli 2014, ketika Calon Presiden Joko Widodo menandatangani 9 Piagam Perjuangan Rakyat. Salah satunya adalah Piagam Perjuangan Marsinah. Dalam Piagam Marsinah, Joko Widodo menegaskan janjinya atas komitmen perjuangannya untuk buruh yang dinamakan Tri Layak, yaitu menyangkut kerja layak, upah layak dan hidup layak bagi pekerja/buruh.”
“Apa hubungannya dengan KAMI?” kejar sahabat saya.
Saya tak menjawab pertanyaannya, tapi saya memilih untuk balik bertanya, “Ente masih ingat kan? Bagaimana nasib isi Piagam Perjuangan Marsinah?”
Sahabat juang saya pun menjawab, “Janji tinggal janji, Bro…”
Ia kemudian mencari jejak digital tentang Piagam Perjuangan Marsinah melalui telepon genggamnya.
Sahabat juang saya melanjutkan, “Boro-boro memenuhi janjinya untuk Kerja Layak, untuk menghapus sistem tenaga kerja kontrak dan outsourcing, yang dalam Piagam Marsinah disebut merupakan bagian dari perbudakan modern. Kenyataannya justru di periode kedua Jokowi menjadi Presiden, justru akan membebaskan praktek kerja kontrak dan outsourcing di semua jenis pekerjaan, melalui Omnibus Law RUU Cipta Kerja!”
Saya tersenyum, “Terus apa lagi isi Piagam Marsinah, Bro?”
Sembari mencermati layar handphonenya, sahabat juang saya melanjutkan, “Nih… soal Upah Layak, tertulis mendukung kebijakan politik yang bukan politik upah murah. Penentuan upah pun harus berdasarkan perhitungan kebutuhan hidup yang layak (KHL) bagi pekerja dan keluarganya!”
“Faktanya gimana, Bro?” tanya saya. “Masih ingat kan? Belum genap setahun masa pemerintahannya, Jokowi justru menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Padahal dalam Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum harus memperhitungkan komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Namun PP 78/2015 justru menghapus komponen kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai dasar perhitungan upah minimum!”
“Masih ingat juga kan, bagaimana sahabat-sahabat juang kita, 26 aktivis buruh ditangkap dan dikriminalisasi saat aksi tolak PP 78/2015 di depan Istana Presiden tanggal 30 Oktober 2015?”
Saya pun melanjutkan, “Nah, terbukti kan bahwa Pemerintahan Jokowi tidak serius untuk melindungi nasib buruh dan tidak serius untuk mensejahterakan buruh?”
“Hari ini, masa depan buruh kembali terancam dengan adanya Omnibus Law RUU Cipta Kerja! Pekerja kontrak dan outsourcing akan dibebaskan di semua jenis pekerjaan! Upah minimum tingkat kota dan kabupaten dihilangkan! Pesangon dikurangi dan dihilangkan! Tenaga kerja asing dipermudah masuk ke Indonesia di saat rakyat masih banyak yang menganggur! Bahkan sanksi pidana untuk pengusaha nakal, yang semula sudah ada dalam UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003, juga mau dihilangkan! Dengan dibebaskannya pekerja kontrak dan outsourcing, maka buruh tidak saja akan kehilangan hak atas pesangon, tapi juga akan kehilangan jaminan sosial”
“Bro, ini jawaban saya untuk pertanyaan awal ente. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia atau KAMI, hadir sebagai gerakan moral rakyat Indonesia dari berbagai elemen dan komponen yang berjuang demi tegaknya kedaulatan negara, terciptanya kesejahteraan rakyat, dan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. KAMI berjuang dan bergerak untuk melakukan pengawasan sosial, kritik, koreksi, dan meluruskan kiblat bangsa dari segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan. KAMI berjuang dengan melakukan berbagai cara sesuai konstitusi, baik melalui edukasi, advokasi, maupun cara pengawasan sosial, politik moral, dan aksi-aksi dialogis, persuasif, dan efektif.”
Sahabat juang saya pun antusias menganggukkan kepalanya, “Lantas, bagaimana sikap KAMI terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja?”
“KAMI tegas menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, karena akan merugikan masa depan rakyat Indonesia! Bahkan, ketika buruh hanya menolak kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja, KAMI justru juga menolak kluster-kluster lainnya di RUU Cipta Kerja! Karena RUU Cipta Kerja hanya untuk kepentingan pengusaha dan akan merugikan rakyat Indonesia secara luas!”
“Sebetulnya masih banyak yang bisa diceritakan tentang cita-cita besar KAMI. Tapi minimal segitu dulu deh, Bro. Minimal ente paham kenapa KAMI bersama buruh dan buruh juga bersama KAMI. Itulah alasan kenapa saya bergabung bersama KAMI! Tidak ada niatan untuk makar, tapi KAMI ingin berjuang untuk terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Saya pun menyeruput kopi panas yang sudah tidak lagi panas.
Jakarta, 31 Agustus 2020.
– Bersambung –
- Advertisement -
KAMI BERSAMA BURUH
- Advertisement -