email : oerban.com@gmail.com

25.3 C
Jambi City
Friday, November 7, 2025
- Advertisement -

Kedaulatan Data di Persimpangan, Indonesia Harus Berdaulat di Dunia Digital

Populer

Oleh : Moh Sahrul Lakoro*

Oerban.com – Di tengah derasnya arus digitalisasi global, Indonesia berdiri di persimpangan sejarah: antara menjadi penguasa data atau sekadar penyedia sumber daya digital bagi raksasa teknologi asing.

Kedaulatan data kini bukan sekadar urusan teknis di balik server, tetapi isu hukum dan geopolitik yang menentukan arah kedaulatan bangsa di abad digital.

Kementerian Kominfo dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tengah menyusun peta jalan nasional tentang “kedaulatan data dan infrastruktur siber.” Namun di balik jargon kemandirian digital, tersimpan kelemahan mendasar: Indonesia belum sepenuhnya berdaulat secara hukum dalam ruang digital.

Baca juga  Bjorka, Propaganda, dan Perdagangan Data: Antara Keamanan Siber dan Manipulasi Isu Ekonomi

Paradoks Kedaulatan Digital

Lebih dari 80 persen data warga Indonesia masih tersimpan di server luar negeri. Artinya, secara yuridis, sebagian besar aset informasi nasional berada di luar kendali hukum Indonesia. Dalam hukum internasional, ini berarti “loss of jurisdictional control”, kehilangan kendali yurisdiksi atas data yang seharusnya tunduk pada hukum nasional.

Uni Eropa melalui General Data Protection Regulation (GDPR) telah menegaskan bahwa setiap data warga Eropa di luar wilayahnya tetap tunduk pada hukum Uni Eropa.

Sementara Indonesia baru sampai pada tahap pembentukan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang masih menghadapi tantangan besar dalam implementasinya.

Baca juga  Buka Rakortek Percepatan Transformasi Digital, Gubernur Al Haris Minta Daerah Miliki Data Terintegrasi dan Terjamin Tingkat Keamanan

Tantangan dan Ancaman Kedaulatan Data

Kedaulatan data tidak bisa diwujudkan hanya dengan regulasi, tetapi dengan kesiapan struktural. Beberapa ancaman nyata yang dihadapi Indonesia antara lain:

  1. Ketergantungan Teknologi Asing : Hampir semua layanan cloud dan perangkat keamanan siber berasal dari luar negeri, sehingga kontrol dan audit hukum terhadapnya lemah. Ini membuka peluang penyadapan atau pengalihan data tanpa izin.
  2. Ancaman Spionase dan Perang Siber : Serangan terhadap data pemerintah dan BUMN meningkat, sementara mekanisme hukum penegakan siber masih reaktif. Tidak ada state protocol yang kuat untuk menegakkan cyber deterrence atau perlindungan hukum terhadap serangan digital lintas negara.
  3. Infrastruktur dan SDM yang Lemah : Ketergantungan terhadap vendor asing memperburuk posisi hukum Indonesia dalam kontrak digital global. Banyak perjanjian layanan data masih tunduk pada hukum negara asal penyedia layanan (choice of law asing).
  4. Regulasi Lemah dan Penegakan Tidak Tegas : UU PDP belum memiliki lex specialis enforcement body seperti Data Protection Authority di negara lain. Akibatnya, penegakan hukum masih bergantung pada Kominfo yang fungsinya campur-aduk antara regulator dan operator.
  5. Tekanan Ekonomi Global : Dalam hukum perdagangan digital, aliran data lintas batas (cross-border data flow) sering dijadikan alat diplomasi. Negara berkembang seperti Indonesia berisiko ditekan melalui klausul dalam perjanjian dagang digital internasional (Digital Trade Agreement).
Baca juga  Ancaman Nyata Kesepakatan Dagang Indonesia–AS

Kelemahan Kritis Indonesia

Ada tiga kelemahan fundamental yang membuat Indonesia rapuh secara hukum dan geopolitik digital:

  • Pertama, lemahnya regulatory coherence. Terdapat tumpang tindih antara UU ITE, UU PDP, dan regulasi Kominfo yang tidak seragam dalam penegakan. Banyak pasal saling bertabrakan dan tidak memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri digital.
  • Kedua, lemahnya legal enforcement capacity. Kasus kebocoran data seperti BPJS, Dukcapil, atau marketplace besar tidak berujung pada sanksi tegas. Tidak ada preseden hukum yang memberikan efek jera, sehingga prinsip accountability dalam UU PDP tidak berjalan.
  • Ketiga, mentalitas birokrasi yang reaktif. Pemerintah sering menanggapi serangan siber dengan pembenaran administratif, bukan dengan strategi hukum atau diplomasi digital. Ini menunjukkan lemahnya state capacity dalam menghadapi ancaman non-konvensional di ranah hukum siber.
Baca juga  Refleksi Hari Kemerdekaan: Merekonstruksi Pemikiran Dalam Penafsiran Makar

Pandangan Hukum: Kedaulatan Data sebagai Hak Publik

Secara yuridis, kedaulatan data merupakan perpanjangan dari kedaulatan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berdaulat.” Kedaulatan ini kini tidak hanya mencakup wilayah darat, laut, dan udara, tetapi juga ruang digital (cyberspace sovereignty). UU PDP menegaskan prinsip:

  • Kedaulatan Data Pribadi, di mana setiap pengendalian dan pemrosesan data harus berdasarkan persetujuan subjek data;
  • Prinsip Keamanan dan Tanggung Jawab, yang menuntut penyelenggara sistem elektronik menjaga integritas dan kerahasiaan data;
  • Prinsip Lokalisasi dan Transfer Data, yang membuka ruang bagi negara untuk mengatur data strategis tetap berada dalam yurisdiksi nasional.

Namun, kelemahan hukum muncul pada aspek implementasi dan pengawasan. Tanpa lembaga pengawas independen, prinsip hukum ini akan kehilangan taring.

Dalam konteks geopolitik, kedaulatan data juga bersentuhan dengan hukum internasional publik terutama Tallinn Manual on the International Law Applicable to Cyber Warfare, yang mengakui bahwa setiap serangan digital terhadap data strategis suatu negara dapat dikategorikan sebagai bentuk agresi non-konvensional.

Dengan demikian, pelanggaran terhadap sistem data nasional bukan sekadar tindak pidana siber, tetapi dapat dianggap pelanggaran terhadap kedaulatan negara, yang menuntut respon hukum setara dengan ancaman terhadap wilayah teritorial.

Baca juga  Amnesti dan Abolisi: Rekonsiliasi Politik atau Senjata Melawan Dinasti Kekuasaan?

Kedaulatan Siber adalah Ketahanan Nasional

Kedaulatan data merupakan bagian integral dari hukum pertahanan negara di ranah digital. Negara wajib melindungi data rakyatnya sebagaimana melindungi wilayah dan kedaulatan politiknya. Oleh karena itu, pemerintah perlu:

  1. Membentuk otoritas perlindungan data independen (Data Protection Authority) untuk menegakkan UU PDP secara efektif;
  2. Menetapkan klausul hukum lokal dalam semua kontrak penyimpanan data internasional;
  3. Mengintegrasikan kedaulatan data dalam doktrin hukum pertahanan nasional dan diplomasi luar negeri;
  4. Membangun sistem peradilan siber agar setiap kejahatan digital memiliki jalur hukum yang jelas dan cepat.
Baca juga  Optimalkan Literasi Digital Peserta Didik melalui Virtual-Lab di Masa Pandemi

Kedaulatan negara di abad digital tidak lagi diukur dari luas wilayah atau kekuatan militer, melainkan dari kemampuan hukum dan teknologi untuk mengendalikan data dan melindungi warga di ruang maya.

Jika Indonesia gagal menegakkan hukum kedaulatan datanya hari ini, maka esok, kedaulatan politik dan ekonominya akan ikut ditentukan oleh algoritma dan kontrak yang dibuat di luar batas negerinya.

Kedaulatan data bukan hanya urusan Kominfo ia adalah fondasi hukum dari kedaulatan bangsa di era digital.

*Penulis merupakan Ketua DPC PERMAHI Gorontalo
- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru