Kota Jambi, Oerban.com – Dalam diskusi terbuka yang diadakan oleh Extinction Rebellion Jambi pada Jumat, 25 Oktober 2024, masyarakat, mahasiswa, dan aktivis berkumpul untuk membahas permasalahan tata ruang di Kota Jambi yang berkontribusi pada krisis banjir yang semakin memburuk.
Kegiatan bertajuk “Kota Jambi Darurat Banjir” ini, berlangsung di Anggrek Cafe & Resto, mengupas tuntas persoalan alih fungsi lahan serta dampak pembangunan yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Mengutip laporan dari situs resmi Walhi Jambi, hampir 70 persen pembangunan di Kota Jambi tidak sesuai dengan RTRW yang ditetapkan. Hal ini berujung pada masalah banjir yang melanda kota, bukan semata karena limpasan air dari hulu Sungai Batanghari, tetapi akibat alih fungsi lahan dan pembangunan yang mengabaikan aturan tata ruang.
Misalnya, terdapat indikasi bahwa banyak bangunan komersial besar yang mendirikan konstruksi di atas aliran sungai, seperti yang disorot oleh Moderator Risma Pasaribu, SH. Ia menyoroti adanya ketimpangan penegakan aturan, di mana bangunan besar seperti pusat perbelanjaan WTC dibangun di atas sungai tanpa penindakan, sementara warung-warung kecil kerap dirazia.
Potret Ketimpangan Tata Ruang Kota Jambi
Para narasumber mengungkapkan berbagai bentuk ketimpangan dalam penataan kota. Seniman dan musisi Jambi, Ismet Raja, menyuarakan bahwa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Jambi, terutama mereka yang terdampak pembangunan tak sesuai aturan, dapat dirangkum dalam karya seni.
Sementara itu, aktivis dan korban dari ketidakadilan, Ko Yungyung mengungkapkan betapa parit dan drainase di sekitar bangunan komersial besar menjadi penyebab tidak terurainya air banjir, diakibatkan bangunan tersebut berdiri terlalu dekat atau bahkan di atas aliran sungai alami.
Langkah Konkret dalam Mengatasi Persoalan Tata Ruang
Pada sesi tanya jawab, banyak peserta mengeluhkan sulitnya mengakses regulasi tata ruang yang berlaku di Kota Jambi. Aktivis menyerukan agar mahasiswa dan masyarakat menjadi lebih matang dalam teori dan praktik untuk menekan perwakilan daerah, termasuk pejabat di Senayan, agar membawa persoalan lokal Jambi ini ke level nasional.
Di sisi lain, tokoh masyarakat Elas Amra berpesan bahwa kesadaran masyarakat perlu dibangun melalui diskusi dan pendidikan mengenai pentingnya tata ruang. Dengan kesadaran yang tumbuh, masyarakat diharapkan akan lebih kritis terhadap praktik alih fungsi lahan yang melanggar aturan.
Pada akhir diskusi, peserta mendesak adanya langkah konkret dari pemerintah daerah untuk menindaklanjuti dan mengawasi pembangunan yang menyalahi aturan tata ruang. Beberapa langkah yang diusulkan meliputi:
- Peninjauan dan revisi terhadap RTRW Kota Jambi untuk mengakomodasi kondisi geografis dan iklim.
- Pengawasan ketat pada bangunan-bangunan komersial yang berdiri di atas aliran sungai atau drainase utama.
- Mendorong transparansi dan akses publik terhadap peraturan tata ruang agar masyarakat dapat mengawasi implementasinya.
- Edukasi berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait dampak negatif pembangunan tanpa perencanaan tata ruang yang tepat.
Diskusi ini diwarnai oleh pembacaan puisi WS Rendra dan lagu-lagu dari Ismet Raja, yang mempertegas pesan bahwa seni dapat menjadi medium perlawanan terhadap ketidakadilan. Semangat diskusi ini diharapkan dapat membawa dampak nyata dalam menata ulang kota dan mencegah musibah banjir yang melanda masyarakat.
Editor: Ainun Afifah