Sedangkan strategi keras (hard strategy), menurut penulis diantaranya, Pertama, Counter Attack. Maksudnya kampanye negatif di balas dengan kampanye negatif. Sebagai contoh terkait isu tingginya alih guna lahan (lebih sering di kenal dengan istilah deforestasi) yang kerap di jadikan senjata untuk mendiskriminasi minyak sawit. Ternyata sawit lebih rendah dalam aktivitas alih fungsi lahan jika di bandingkan kedelai dan jagung yang notabene merupakan minyak nabati unggulan negara-negara Eropa dan Amerika. Sebagaimana rilis Komisi Eropa–The Impact of EU consumption of deforestation (2013) yang di pajang di laman bpdp.or.id bahwa sawit hanya 8 %, kedelai 19 % dan jagung 11%. Artinya, isu deforestasi sebenarnya isu akal-akalan saja dari benua biru maupun benua koboi untuk menutupi kenyataan minyak nabati yang mereka hasilkan sesungguhnya lebih besar dampaknya terhadap deforestasi. Perbanyak seminar/webinar maupun penerbitan jurnal ilmiah internasional yang membahas perbandingan keunggulan minyak sawit dengan minyak nabati lainnya melibatkan para pakar multi science di barengi dengan ‘serangan udara’ yang masif melalui media mainstream maupun media sosial.
Kedua, menempuh langkah hukum di badan internasional WTO. Pemerintah Indonesia dan Malaysia harus mengajukan gugatan atas upaya diskriminasi yang telah di buat oleh Uni Eropa, Amerika beserta kroni-kroninya. Menuntut keadilan dan kesejajaran atas produk minyak nabati sawit dengan minyak nabati lain seperti minyak jagung dan kedelai.
Langkah ini sangat perlu dilakukan guna memberikan warna kepada dunia bahwa Indonesia dan Malaysia bukan macan ompong dalam kancah internasional. Bahwa negara produsen minyak sawit ini memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam proses perdagangan internasional. Atau bahkan harus mendapatkan privilege lebih atas usahanya menemukan sumber energi yang terbarukan. Berjasa atas upaya mengikis ketergantungan atas minyak fosil.
Di samping itu, kemenangan Indonesia atas gugatan tentang iklan minyak sawit di Perancis tahun 2018 yang lalu juga bisa menjadi pelajaran berharga bahwa langkah tegas dan mempertahankan diri dari isu negatif memang perlu di lakukan.
Akhir kata, penulis ingin menegaskan bahwa sawit adalah masa depan. Geliat ekonomi yag di topang sektor ini sudah merata di sudut-sudut penjuru nusantara. Pemerintah beserta stakeholder sawit lainnya harus terus melakukan aksi propaganda ke tengah masyarakat yang berusaha kebun sawit. Tujuannya agar tercipta kesatuan persepsi bahwa isu negatif tentang sawit perlu di tepis secara bersama dan selanjutnya melakukan langkah-langkah perbaikan mulai dari hulu hingga hilir dalam proses pengelolaan kebun kelapa sawit. Dan penulis menilai langkah GAPKI yang mengundang para petani sawit dalam acara IPOC 2018 di Bali patut di apresiasi.
Sekali lagi, sawit adalah masa depan, sektor tangguh penghasil devisa dan tangga menuju kesejahteraan dengan terus memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan. Dan ketika ada pihak yang secara sengaja ingin memghambat harapan masa depan ini, maka hanya ada satu kata LAWAN!!!.