Oleh : Zuandanu Pramana Putra
(Penulis adalah Mahasiswa UIN STS Jambi)
Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat (PD) menjadi polemik sendiri di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini, meski dimotori oleh eks pendiri dan beberapa kader, pada akhirnya polemik itu hanya memunculkan 2 nama tokoh, AHY dan Moeldoko.
Perebutan singgasana tertinggi dalam Parpol sebenarnya adalah hal yang lumrah terjadi, namun kali ini agak sedikit berbeda, sebab Moeldoko yang terpilih menggantikan AHY lewat KLB di Sumatera Utara (Sumut) tidak pernah ada rekam jejak di Partai dengan logo Bintang Mercy tersebut.
Hal ini juga terasa sedikit membingungkan, karena jika melihat dari latar belakang karier, sudah jelas bahwa Moeldoko banyak berhutang budi pada presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang merupakan ayah kandung dari AHY.
Namun di sisi lain, Moeldoko juga merupakan orang lingkar terdekat presiden Jokowi. Dirinya dipercaya untuk mengemban jabatan sebagai Kepala Staf Presiden (KSP), maka kita juga tidak bisa menafikan bahwa hubungan Moeldoko dan Jokowi saat ini sudah sangat dekat.
Saat ini memang belum bisa dipastikan apa yang sebenarnya terjadi, tidak menutup kemungkinan hal ini merupakan siasat dari SBY untuk menaikan simpati masyarakat pada AHY. Karena secara empiris, bisa dikatakan SBY terpilih menjadi presiden karena banyak mendapat simpati setelah dipecat oleh Megawati selaku presiden ke-5 RI kala itu.
Lagipula, peluang Moeldoko untuk mencalonkan diri di 2024 saat ini benar-benar kecil, namanya tak masuk jajaran tertinggi lembaga survei manapun. Menurut LSI dan Indobarometer seperti dilansir Tempo, 5 nama dengan elektabilitas tertinggi saat ini dipegang oleh Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, dan Sandiaga Uno.
Menimbang lebih dalam nama-nama di atas, wajar jika kelimanya masuk jajaran tertinggi, karena memang panggung politik yang dimiliki sudah sangat mencukupi. Lain hal ketika membicarakan Moeldoko, kalaupun persiapan untuk menuju 2024 itu dimulai dari sekarang, rasanya pun masih kurang untuk meyakinkan publik jika mantan panglima TNI itu mampu.
Terlebih lagi dengan kejadian KLB ini, suka tidak suka nama Moeldoko akan makin turun ke bawah, karena rakyat sedikit banyak tahu awal mula persoalan. Lebih tepatnya pada saat pertama kali AHY mengumumkan gerakan kudeta di tubuh PD, tak lama berselang nama Moeldoko terang-terangan disebut sebagai orang yang paling bernafsu mengambil tampuk tertinggi singgasana.
Kendati semua bukti telah ditunjukan terang-terangan oleh PD soal pertemuannya di lantai 28 Hotel Aston Rasuna, Kuningan, Jakarta Selatan pada Rabu, 27 Januari 2021 pukul 21.00 bersama Nazaruddin (eks Kader PD), Jhoni Allen Marbun, dan sejumlah ketua DPC. Moeldoko tetap mengelak dirinya dikaitkan dengan isu kudeta, menurutnya kalaupun ada kudeta pasti berasal dari dalam, tidak mungkin dari luar.
“Ya kalau itu menjadi persoalan yang digunjingkan, ya silakan saja. Saya nggak keberatan. Berikutnya kalau ada istilah kudeta itu, ya kudeta dari dalem, masak kudeta dari luar. Gitu saja penjelasan dari saya,” Kata Moeldoko menjawab isu kudeta yang menyeret namanya, dilansir dari tempo pada Selasa (2/2).
Waktu saat ini menampar wajah Moeldoko secara keras, siapapun akan tahu jika sejak awal memang Moeldoko ikut bermain dalam gerakan kudeta PD. Buktinya, KLB yang berlangsung di Sumut 5 Maret kemarin tidak hanya memutuskan AHY sebagai demisioner, namun juga memutuskan Moeldoko sebagai ketua umum terpilih periode 2021-2025.
Besar kemungkinan jika Moeldoko terpilih sebagai ketua umum di KLB bukan untuk mencalonkan diri di 2024, namun ada agenda tersembunyi di balik itu semua. Seperti yang sudah saya katakan di awal, bisa jadi hal ini hanya cara SBY untuk menaikan nama AHY dengan siasat Playing Victim.
Mungkin juga hal itu tidak sepenuhnya benar, karena sangat kecil kemungkinan Moeldoko Cs sudi mengorbankan diri dan karier politik secara cuma-cuma, atau dengan pertaruhan yang sangat kecil. Lagipula, jika kudeta ini memanglah siasat SBY dan berhasil, impact besarnya tidak akan bertahan hingga ke tahun 2024, beberapa bulan saja masyarakat akan lupa dan tidak akan lagi memperdulikannya.
Memandang dari sudut yang berbeda, PD memang punya daya tarik sendiri sebagai sebuah partai besar, mengingat jika di Pemilu sebelumnya partai tersebut berhasil untuk memperoleh 7,78 persen suara rakyat, dengan jumlah kursi di DPR sebanyak 54. Selain itu, jika melihat jabatan Moeldoko sebagai KSP saat ini, tidak menutup kemungkinan jika kudeta yang dilakukan juga melibatkan kepentingan di lingkaran istana.
Seperti yang diungkap oleh Tengku Zulkarnain misalnya, yang mengatakan adanya kemungkinan kudeta PD sebagai salah satu upaya untuk memuluskan langkah Jokowi menuju 3 periode, dengan cara melakukan amandemen terhadap UUD.
Hal tersebut mungkin saja terjadi, sebab semua orang bisa berubah kapan saja karena pengaruh kekuasaan. Moeldoko Cs pun tidak mungkin melakukan kudeta tanpa pertimbangan yang matang, semua pasti telah dipersiapkan termasuk backing dari dalam ketika hendak menempuh jalur hukum.
Dari apa yang saya amati terhadap KLB di Sumut kemarin, maka seharusnya Moeldoko Cs tidak akan dapat menggeser AHY dari kepemimpinan yang sah. Namun jika nantinya AHY kalah, maka semakin besar kemungkinan adanya kepentingan istana yang membersamai kudeta Moeldoko. Salah satu kepentingan tersebut bisa jadi adalah mengamankan kursi presiden untuk Jokowi di 2024.