email : [email protected]

28 C
Jambi City
Friday, November 22, 2024
- Advertisement -

MENGUAK USAHA PENGINGKARAN TAKDIR DALAM CERPEN DINDING ANAK KARYA DANARTO

Populer

Oerban.com – Cerpen berjudul Dinding Anak merupakan salah satu cerpen yang terhimpun dalam antologi Berhala karya Danarto yang kembali diterbitkan pada Maret 2017. Cerpen ini merupakan salah satu dari empat karya Danarto yang memiliki judul dengan kata dinding, diantaranya “Dinding Ibu” (Kompas, 10 Mei 1987), “Dinding Anak” (Kompas, 19 Juli 1987), “Dinding Ayah” (Matra, April 1989), dan “Dinding Waktu” (Kompas, 21 Januari 1990). Dalam cerpen ini, Danarto menceritakan tentang usaha pengingkaran takdir melalui serangkaian upaya yang tokoh Ayah lakukan demi melindungi anaknya dari maut. Dialog tokoh dan penggambaran hal-hal yang mustahil secara logis digambarkan dengan cukup baik dalam cerpen ini sehingga pembaca merasa seakan dihadapkan pada kondisi yang mistis.

Penyatuan unsur yang wujud dan ilahiah selanjutnya menjadi keunggulan tersendiri dalam cerpen ini. Danarto yang dianggap sebagai pembaharu cerpen Indonesia baik secara teknik kepenulisan maupun tema yang bersumber dari khazanah kebudayaan Indonesia, lahir di Sragen, 27 Juni 1940. Ia dikenal sebagai seorang sufi yang mengacu pada ajaran wahdat al-wujud yang tergambar pada cerpen-cerpennya. Cerpen Danarto menggambarkan dunia yang tidak sepenuhnya real namun juga tidak abstrak secara keseluruhan. Dalam cerpen ini, hal itu terlihat pada penggambaran sosok Izrail yang digambarkan dengan jubah yang panjang memenuhi dunia dengan wajahnya yang suram serta permainannya dalam mengejar-ngejar Bibit.

Cerpen ini berkisah tentang kedatangan malaikat Izrail di hadapan tokoh Ayah yang sedang sakit. Ia ingin mencabut nyawa tokoh Ayah, namun anggota tubuhnya mengatakan bahwa tokoh Ayah belum siap. Setelah kejadian itu, tokoh Ayah sehat dan keluarga merayakan kesembuhannya. Para kolega pun banyak yang mengirimkan ucapan selamat dan hadiah atas hal itu. Sebagai bos yang memiliki 300 perusahaan, tokoh Ayah hidup bergelimang harta. Ia memiliki 5 orang anak dan 1 orang istri. Anak sulungnya Joko yang memimpin 50 perusahaan merupakan anak yang sengak dan suka minum-minuman keras. Dari lima anak tersebut, ia memiliki anak emas bernama Bibit yang berusia 4 tahun, lantaran anaknya yang  tidak dapat diandalkan.

Bibit adalah anak yang mewarisi sifat ayahnya. Ia suka menonton permainan sepak bola, pandai menghitung, membaca dan menghafal sehingga menjadi rebutan dan tumpahan kasih sayang yang berlebihan. Pada saat malam perayaan kesehatan ayahnya, Bibit dipergoki oleh Bodyguard berayun-ayun di pangkuan Izrail. Tokoh Ayah panik dan meminta anaknya diturunkan. Bibit turun dengan meniti sulur yang panjang dan langsung terjatuh ke pelukan Ayahnya. Tokoh Ayah takut bahwa Izrail akan mengambil Bibit darinya. Keluargapun diperintahkan untuk siaga penuh menjaga Bibit.

Bibit kemudian dibuang ke Wonogiri bersama empat orang bodyguard, dua orang babysitter, seorang guru sekolah, seorang guru agama, dua orang pembantu dan seorang pelapor di persembunyian Bibit. Sebuah keluarga miskin yang kebutuhannya dipenuhi oleh tokoh Ayah diperintahkan untuk mengambil Bibit sebagai anak. Pada suatu hari Izrail muncul menemui tokoh Ayah di lapangan parkir. Tokoh Ayah mengatakan pada Izrail bahwa ia tak mungkin bisa mengejar Bibit lagi karena Bibit bukan anaknya lagi. Izrail hanya diam. Namun, dokter yang berdiri di sampingnya berkata seolah ia adalah penjelmaan Izrail. Ia berkata bahwa tokoh Ayah tak akan sedih jika Bibit diambil karena ia bukan lagi anaknya.

Tokoh Ayah semakin geram dan menjadi-jadi. Kemudian, ia mengganti nama Bibit menjadi Sruni. Ia pun memindahkan Bibit dengan helikopter ke sebuah perkampungan di Pacitan. Bibit sempat meronta karena tidak suka dengan pendaratannya. Malam hari ketika Bibit tertidur pulas, tokoh Ayah kembali ke helikopter dan memerintahkan agar penjagaan terhadap Bibit jangan sampai lengah. Tiba-tiba Izrail kembali muncul menjelma bukit cahaya yang berbinar-binar. Lalu, tokoh ayah berkata bahwa Bibit sudah menjadi masa silam, yang ada hanya Sruni yang tengah meniti masa depan ungkapnya pada Izrail. Tetiba suara entah dari mana terdengar “dalam catatan nasib, Bibit memang harus mati pada hari ini di sebuah kampung di Pacitan, ketika namanya sudah diganti Sruni” tokoh Ayah berteriak sekeras-kerasnya, mengadukan nasib pada Tuhan sambil berlelehan air mata.

Pada judul cerpen dengan kata “dinding anak” pembaca dibuat bertanya-tanya, apa korelasi variabel judul dengan isi dari cerpen tersebut. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dinding diartikan sebagai sebuah bangunan penutup samping (penyekat) ruang. Sedangkan anak berarti keturunan. Dalam sebuah artikel Kompas berjudul “pentingnya kedekatan emosional Ayah dan anak perempuan” (31/01/18) menyebutkan bahwa seorang Ayah berperan penting dalam kehidupan seorang anak perempuan. Ia akan menjadi contoh bagi anak perempuannya dalam membangun hidupnya sendiri bahkan ketika ia memiliki pandangan yang berbeda tentang dunia. Dalam cerpen ini, tokoh Ayah, menjadikan Bibit sebagai representasi dirinya. Ia berharap banyak pada Bibit yang ia rasa memiliki kecerdasan dan ciri yang sama seperti yang ia miliki. “Dinding anak” dalam cerita berarti sebuah batasan yang dimiliki oleh seorang anak, meskipun orang tua adalah sosok yang melahirkan dan membesarkan, namun anak bukan semata-mata milik orang tua secara mutlak. Sebab Tuhanlah yang paling berhak dalam kepemilikan anak tersebut, sehingga para orang tua harus sadar sedemikian rupa.

Izrail sebagai simbol malaikat dalam agama Islam, memberikan pengertian mahluk yang bertugas mencabut nyawa. Dalam cerpen ini, tokoh Ayah menginterpretasikan maksud Izrail mengambil Bibit adalah sebagai tumbal dari kebengisan anggota keluarganya yang lain. Menurutnya, Bibitlah yang paling sedikit berdosa di antara anggota keluarga sehingga Izrail sangat bernafsu mengambil Bibit darinya. Anggapan ini merupakan asumsi umum pada orang-orang yang memeluk agama Islam bahwa mereka yang lebih dahulu menghadap Tuhan adalah mereka yang lebih sedikit memiliki dosa dibandingkan manusia yang bertahan hidup lebih lama.

Danarto sebagai pengarang hendak mengatakan bahwa antara anak laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak jauh berbeda. Setiap anak memiliki kelebihan masing-masing. Hal ini barangkali berkaca pada zaman dahulu ketika anak perempuan diberlakukan dengan sangat tidak adil. Dalam Islam sendiri, terdapat tiga hadis yang berkenaan dengan keutamaan anak perempuan, salah satunya adalah hadis riwayat Anas Bin Malik yang artinya Nabi Muhammad SAW bersabda ”barangsiapa yang mengayomi dua anak perempuan hingga dewasa maka ia akan datang pada hari kiamat bersamaku” (HR.Muslim 2631).

Isu sentral dalam cerpen ini sesungguhnya ialah pengingkaran takdir yang dilakukan oleh tokoh Ayah terhadap nasib Bibit anaknya yang dibuang ke Wonogiri, penggantian nama menjadi Sruni hingga pemindahannya ke sebuah perkampungan di Pacitan. Apa yang dilakukan tokoh Ayah, sebagai usaha untuk menghindarkan Bibit pada maut. Tokoh Ayah mengira bahwa apa yang ia lakukan akan mengubah ketetapan yang ada. Tokoh tidak menyadari bahwa manusia sebagai mahluk yang terbatas, memiliki takdir (suatu ketetapan oleh yang ilahiah) sebagai serangkaian proses kehidupan. Perwujudan tokoh Ayah dalam cerpen sebagai representasi nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh orang Indonesia juga tergambar jelas dalam bagian ini.

Danarto menyadari bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu materiil dan spiritual. Sehingga dimensi transenden yang ditunjukkan kepada Bibit dilakukan dengan segala macam cara. Ia berfikir bahwa apa yang ia lakukan akan mengubah tujuan Izrail, meskipun semua berakhir dengan tragis. Bibit tetap menemui yang kuasa persis saat namanya dirubah menjadi Sruni setelah beberapa saat dipindahkan di sebuah perkampungan di Pacitan.

Ketidakmampuan tokoh Ayah dalam menentang takdir pada bagian akhir menjadi penutup yang cukup tragis, hal ini menunjukkan ketidakmampuan seorang manusia dalam menentang takdir yang telah diciptakan oleh sang pencipta. Cerpen ini cukup bijak dalam menjadikan persoalan pada saat ini sebagai pengingat nilai humanisme universal. Pengarang dalam cerpen ini menggambarkan penolakan terhadap kemampuan orang kaya (representasi tokoh Ayah) dalam melakukan semua hal, termasuk hendak mengubah takdir. Pengarang menganggap, dengan segala bentuk materi yang dimiliki orang kaya bukan berarti dapat mengatur segalanya dan berbuat segala sesuatu dengan mudah. Perwujudan cerita merupakan peringatan pengarang bahwa tidak semua hal dapat dilakukan oleh kelompok orang kaya karena ada sesuatu yang bersifat ilahiah yang tidak mampu dibeli dengan materi. Cerpen karya Danarto ini dinilai berhasil karena memuat nilai-nilai kemanusiaan yang berkaitan dengan nilai ketuhanan. Ia dapat dijadikan edukasi dalam menghadapi kehidupan modern sebagai pengingat dan pembelajaran yang humanis. Cerpen ini juga tersajikan dengan pendeskripsian yang baik dan bahasa yang cukup mudah dicerna.

Biografi Penulis
Novita Sari merupakan mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jambi. Lahir di Jambi, 25 November 1997. Anak ke-empat dari enam bersaudara ini merupakan ketua komunitas berani menulis Jambi, beberapa tulisan nya pernah diterbitkan di media online. Penikmat kebebasan, berusaha memerdekan diri sejak dalam pemikiran. Dapat dihubungi melalui nomor 0821-7836-8962 (Wa dan Telp), Instagram @nys.novitasari serta surel: [email protected]

 

Editor: Renilda Pratiwi Yolandini


 

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru