“Hidup Mahasiswa”
“Hidup Rakyat Indonesia”
“Hidup Perempuan Indonesia”
Kalimat di atas pasti sangat familiar bagi mahasiswa yang masih merasakan keberadaan demokrasi di lingkungan kampus, dan kalimat ini akan terdengar aneh bagi mahasiswa yang tidak lagi merasakan nikmatnya demokrasi di kampus.
Ya, kalimat ini tidak hanya sekedar pembakar semangat. Tetapi ada perjuangan dan pengorbanan mendalam yang terkandung di dalam kalimat di atas. Kalimat yang selalu digaungkan oleh mahasiswa, tiap kali akan menyuarakan ketidakadilan.
Kalimat yang sangat fundamental ini mulai asing terdengar tatkala Rektor UNJA saat ini yaitu Prof. Drs. H. Sutrisno, M.Sc., Ph.D mengeluarkan sebuah surat sakti dengan Nomor 2337/UN21/KM.05.03/2021 yang menjadi langkah awal kematian demokrasi di Universitas Jambi.
Surat tersebut berbunyi bahwasanya Dekan Fakultas haruslah mengirimkan 3 (tiga) orang perwakilan mahasiswa untuk dipilih menjadi Plt BEM di level Universitas maupun Fakultas. Hal ini jelas menyalahi aturan Permendikbud No.155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi Pasal 2 yang masih aktif dan belum ada amandemen hingga detik ini, yang berbunyi :
“Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.”
Kondisi kampus saat itu juga masih ada MAM KBM UNJA yang salah satu tugasnya tertuang dalam Peraturan Rektor Universitas Jambi No.4 tahun 2018 pasal 18 point d yaitu;
MAM-UNJA berwenang:
“Mengusulkan pelaksana tugas Ketua dan Wakil Ketua BEM UNJA kepada Rektor melalui Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan apabila terjadi pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua BEM-UNJA secara bersamaan dalam masa kepengurusan.”
Surat ini merupakan langkah awal Rektor melakukan penabrakan terhadap peraturan kampus. Hal ini sekaligus mendapatkan penolakan keras dari mahasiswa hingga berujung aksi yang diadakan oleh Aliansi Mahasiswa Universitas Jambi tak lama setelah itu. Aksi itu pun tidak membuahkan hasil, dan akhirnya Rektor malah diam seribu bahasa dan tidak beritikad untuk mengesahkan SK KPU dan BAWASLU yang sudah mulai dibentuk oleh MAM KBM UNJA pada tanggal 08 November 2021, jauh sebelum terbitnya “surat kaleng” rektor.
Dan juga, pimpinan di lembaga mahasiswa seharusnya diusulkan oleh elemen mahasiswa itu sendiri bukan birokrasi. Birokrasi hanya bertugas mengetahui, mengesahkan dan memberikan arahan agar dapat berkolaborasi dengan visi kampus bukannya intervensi. Plt BEM yang dipertugaskan kepada Dekan bukan MAM KBM UNJA merupakan tindakan kriminal karena telah melanggar aturan yang dibuat rektor dan juga sarat akan “pembunuhan idealisme” mahasiswa. Karena ia tidak didelegasikan oleh elemen mahasiswa melainkan oleh birokrasi tentu saja yang punya kepentingan sendiri.
Saat ini, kita telah memasuki tahun-tahun terakhir dari masa jabatan Prof Sutrisno sebagai Rektor UNJA. Kemudian kita akan menghadapi pemilihan rektor lagi. Jika sistem pemerintahan mahasiswa UNJA masih terus mati, siapa lagi yang bisa jadi mitra kritis bagi rektor? Siapa lagi yang akan menyelamatkan demokrasi kampus selain mahasiswa? Siapa lagi yang bisa menjadi social control, setidaknya di dalam lingkungan kampus selain mahasiswa? Siapa lagi yang akan menolong calon mahasiswa baru untuk setidaknya mensosialisasikan dan melayani pertanyaan jawaban informasi perkuliahan di awal tanpa kenal lelah dan tanpa bayaran sebelum memasuki kampus selain mahasiswa? Dan siapa lagi yang pantas mengucapkan sumpah mahasiswa saat kegiatan PKKMB selain mahasiswa itu sendiri?
Kembalikan Demokrasi Kampus itu! Kembalikan makna Kampus sebagai Miniatur Negara! Kami menolak lupa apa yang telah terjadi!
Penulis takkan bosan mengucapkan kalimat ini di akhir:
“Jika kampus adalah motor, mahasiswa adalah rem dan rektor adalah pengemudi. Motor yang dicabut rem nya akan maju tanpa hambatan tetapi akan mencelakakan pengemudinya.”
Jordi Adrian Syach,
Mahasiswa Semester 8 Universitas Jambi