Oleh: Tamsil Linrung
Ada yang berubah dari substansi narasi Presiden Joko Widodo. Sebulan lalu, Presiden bilang siapapun boleh-boleh saja memunculkan wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Sebulan kemudian, Jokowi menegaskan penyelenggaraan pemilu tetap dilaksanakan sesuai agenda agar tak ada lagi isu dan spekulasi soal penundaan pemilu atau presiden tiga periode.
Penegasan itu disampaikan dalam rapat terbatas di Istana Negara, sehari sebelum demo besar BEM SI. Mengapa Jokowi berubah? Kalau melihat momentumnya, boleh jadi karena eskalasi gerakan mahasiswa. Sebelum demo besar 11 April 2022, berbagai demonstrasi pendahuluan telah marak terjadi di daerah. Di Jambi, kunjungan kerja presiden yang disambut demo mahasiswa bahkan membuat orang nomor satu di tanah air itu dikabarkan mengambil langkah seribu.
Perubahan sikap Jokowi terkait penundaan Pemilu tak merubah rencana mahasiswa. Lagi pula, demo kali ini tidak cuma terkait penundaan pemilu semata. Banyak aspirasi lain yang harus disampaikan, sehingga unjuk rasa pada 11 April 2022 tetap dilakukan.
Alhasil, jalan-jalan kembali menjadi podium, mobil komando kembali menjadi panggung penyampai aspirasi. Lautan manusia membanjiri depan Gedung Parlemen. Jakarta dan sejumlah kota besar lain gegap gempita, tetapi media sepi meliput. Minimnya pemberitaan tak membuat bara api semangat mahasiswa meredup. Media sosial menjadi sarana alternatif penyampai informasi.
Sayangnya, aksi demo diwarnai insiden pengeroyokan terhadap Dosen UI Ade Armando. Peristiwa ini jelas melawan hukum. Namun, sebagai bahan renungan, tidak juga keliru bila melihatnya sebagai warning kian menajamnya polarisasi. Ketidakadilan jangan-jangan telah membuat luka hati masyarakat mengendap seperti magma di perut bumi. Ketika endapannya semakin besar, magma terdorong kuat dan menyembur melalui gunung api begitu menemukan momentum.
Kita menyerahkan penyelesaian pengeroyokan Ade Armando kepada aparat kepolisian. Sang pengeroyok tentu harus diusut tuntas. Disaat bersamaan, status tersangka Ade Armando sejak 2017 melalui putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan harus pula diselesaikan hingga berkekuatan hukum tetap, agar rakyat merasakan keadilan.
Di luar persoalan itu, demonstrasi mahasiswa adalah refleksi dari proses demokrasi sekaligus ekspresi kebebasan berpendapat atau menyampaikan kritik terhadap kebijakan yang dipandang. Terlebih, undang-undang menjamin kebebasan berpendapat di muka umum dan demokrasi menginginkan partisipasi masyarakat mengawal jalannya pemerintahan.
Oleh karena itu, unjuk rasa mahasiswa sebaiknya tetap dihormati sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan kepedulian pemuda terhadap problem pokok bangsa. Perlawanan mereka adalah jihad konstitusi.
Mahasiswa menolak penundaan pemilu, sebab penundaan Pemilu adalah itikad buruk yang mengangkangi konstitusi. Mahasiswa meminta stabilitas harga pangan, sebab kebutuhan pokok yang terjangkau merupakan hak rakyat sekaligus kewajiban negara. Mahasiswa meminta evaluasi UU IKN, sebab UU IKN dipandang banyak menimbulkan masalah, di samping sangat minim partisipasi publik, dan memang belum layak di tengah berbagai problem ekonomi bangsa. Pun dengan tuntutan lainnya: usut tuntas mafia minyak goreng, selesaikan konflik agraria, dan realisasi janji kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin adalah hal lumrah yang layak ditagih.
Maka, negeri ini harus bangga masih memiliki kaum intelektual muda yang senafas dengan rakyat, yang merasakan dan memperjuangkan persoalan mereka. Itulah sejatinya jati diri mahasiswa, yang tidak akan diam melihat pembungkaman, ketidakadilan, atau penghilangan hak-hak rakyat. Gerakan mahasiswa adalah reaksi atas aksi-aksi kegagalan pemerintah melakukan tugasnya. Kegagalan itu memuncak pada rapuhnya ekonomi bangsa yang, sayangnya, diiringi belitan hutang negara yang menembus angka 7.000 triliun.
Sayangnya, berbagai kebijakan yang ditempuh justru semakin membuat bangsa terpuruk lebih dalam. Apa urgensinya IKN di tengah problem ekonomi kita? Mengapa harus ada pembelahan di sana-sini? BEM SI diadu dengan BEM Nusantara yang terkesan sebagai bentukan pemerintah. APDESI diadu dengan APDESI “baru” yang palsu karena tidak terdaftar di Kemenkumhan. Semakin bangsa ini terbelah, semakin lemah NKRI, walau semakin keras dielukan sebagai harga mati.
Kini, pascademo, apa yang harus dilakukan? Tidak lain dan tidak bukan, pemerintah harus introspeksi diri, segera melakukan perubahan kebijakan yang signifikan, dan memenuhi tuntutan mahasiswa. Bila tidak, maka tidak menutup kemungkinan aksi-aksi mahasiswa berikutnya terus terjadi dan justru berpotensi memicu gerakan-gerakan dari elemen masyarakat lainnya.
Sejarah menuliskan, mahasiswa selalu menjadi garda terdepan dalam menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia. Soeharto yang berkuasa 32 tahun saja harus tumbang. Kita tidak ingin itu terjadi pada Pemerintahan Joko Widodo. Maka, Presiden Jokowi harus pula belajar dari sejarah itu.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini