Jakarta, Oerban.com – Pasca disahkannya Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2024 (Perpres No 9/2024) tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual nampaknya belum menampakkan kemajuan terkait peningkatan pemahaman Aparat Penegak Hukum (APH) dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Dewi Rahmawati, mengatakan bahwa meskipun peraturan turunan dari UU TPKS ini telah disahkan, namun belum menunjukkan adanya tanda-tanda keseriusan dari Kementerian Hukum dan HAM sebagai inisiator untuk mengimplementasikannya dalam bentuk aturan tertulis.
“Kementerian Hukum dan HAM sebagai inisiator dari Perpres ini perlu dengan segera untuk mengeluarkan peraturan di lingkungan kementerian terkait tentang pentingnya peningkatan kapasitas bagi APH (penyidik, jaksa penuntut dan hakim) dalam penanganan kasus kekerasan seksual.”
Hal ini sangat penting untuk dilakukan menimbang masih banyaknya APH yang tidak memiliki pengetahuan dasar dalam penanganan kasus yang bersifat sensitif. Banyak APH dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan cenderung tidak bersifat empati bahkan tidak responsif dan memojokkan korban, bahkan ketika ada bukti yang disertakan dalam laporan.
Selain itu, dalam siaran tertulisnya, Dewi menyampaikan pentingnya peraturan turunan ini untuk segera diimplementasikan di institusi terkait, khususnya di lembaga penegak hukum, mengingat bahwa hal ini menjadi bagian dasar keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap APH dalam menjalankan fungsinya untuk menegakkan hukum, termasuk dalam kaitannya dengan UU TPKS, serta pemenuhan hak dan keadilan pada perempuan sebagai korban.
“Aparat penegak hukum (APH), terutama penyidik di kepolisian, menjadi pintu gerbang pertama proses pemeriksaan kasus. Mereka harus memiliki SOP dan standar etik, termasuk pemahaman akan perspektif gender dan HAM, serta keberpihakan pada korban, seperti yang termaktub dalam mandat UU TPKS dalam menangani kasus kekerasan seksual,” timpal Dewi.
Terakhir, Dewi menyampaikan bahwa sensitivitas APH dalam penanganan kasus kekerasan menjadi sebuah keharusan. Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi dalam penanganan TPKS, seperti yang dimandatkan Perpres 9/2024 menjadi mandat yang tidak bisa dielakkan untuk segera dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan HAM sebagai lembaga berwenang, dengan menyertakan lembaga lain seperti Komnas Perempuan, maupun organisasi masyarakat sipil dan pemangku kebijakan terkait lainnya.
Hal tersebut penting agar pendidikan dan pelatihan yang diberikan sesuai dengan mandat UU TPKS dan Perpres tersebut dan kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas APH dalam menangani kasus TPKS secara tepat dan dengan perspektif gender, HAM, penegakan hukum, serta keberpihakan pada korban,” tutup Dewi.(*)