email : [email protected]

24.2 C
Jambi City
Selasa, September 17, 2024
- Advertisement -

Persekongkolan Elite Menghasilkan Tsunami Politik

Populer

Oleh: Ahmad Fadillah Zurdi*

Oerban.com – Menjelang Pilkada 2024, Indonesia kembali berada dalam cengkeraman permainan politik tingkat tinggi yang melibatkan berbagai aktor, dari partai politik, oligarki, hingga lembaga-lembaga pemerintahan. Slogan “demokrasi” kembali digemakan dengan penuh semangat, namun di balik layar, realitas politik kita lebih menyerupai sandiwara yang dirancang untuk memenuhi kepentingan segelintir elite.

Fenomena yang paling mencolok adalah bagaimana koalisi dibentuk dengan begitu pragmatis, tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat, dan bagaimana para elite saling menjegal satu sama lain untuk memastikan kandidat mereka tetap berada di garis depan. Sementara itu, skenario kotak kosong yang semula dianggap anomali, kini justru menjadi alat strategis dalam permainan politik yang kian kotor.

Di atas kertas, koalisi politik seharusnya dibentuk berdasarkan kesamaan visi, misi, dan kepentingan rakyat. Namun, dalam kenyataannya, koalisi menjelang Pilkada 2024 lebih mirip transaksi jual beli kekuasaan.

Partai-partai politik yang seharusnya menjadi penjaga kepentingan rakyat, justru sibuk menghitung-hitung keuntungan politik jangka pendek. Persekongkolan ini terlihat jelas ketika partai-partai yang semula berseberangan tiba-tiba saja bersekutu, tanpa ada penjelasan logis kecuali untuk memastikan mereka tetap berkuasa.

Koalisi pragmatis ini sering kali dibungkus dengan retorika stabilitas dan kemakmuran. Para elite dengan licik memanfaatkan kekhawatiran rakyat akan ketidakpastian untuk melegitimasi langkah mereka.

Mereka berbicara tentang pentingnya persatuan dan stabilitas, padahal yang sebenarnya mereka lakukan adalah menyatukan kekuatan untuk melindungi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Lebih ironis lagi, dalam banyak kasus, koalisi ini dibentuk bukan untuk memenangkan pilkada dengan cara yang jujur, melainkan untuk menjegal kandidat lain yang dianggap mengancam.

Fenomena jegal-menjegal calon kepala daerah bukanlah hal baru, tetapi menjelang Pilkada 2024, praktik ini semakin terang-terangan. Para elite politik dengan segala cara berusaha menyingkirkan lawan politik yang berpotensi mengganggu dominasi mereka. Mulai dari penggunaan lembaga hukum untuk menyerang secara hukum kandidat yang dianggap berbahaya, hingga penyebaran hoaks dan kampanye hitam yang dirancang untuk merusak reputasi calon-calon tertentu.

Baca juga  Respon Sikap MPR, Sultan Sebut DPD RI Konsisten Ingin Amandemen Konstitusi

Fenomena ini menunjukkan betapa rendahnya moralitas politik di Indonesia. Para elite tidak segan-segan mengorbankan prinsip keadilan dan demokrasi demi mencapai tujuan mereka. Bahkan, dalam beberapa kasus, penjegalan dilakukan dengan cara-cara yang sangat kasar, seperti manipulasi hukum, tekanan ekonomi, hingga ancaman fisik.

Hukum, yang seharusnya menjadi penegak keadilan, malah sering kali diperalat untuk menyingkirkan lawan politik. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas lembaga-lembaga yang seharusnya netral dan berdiri di atas semua kepentingan politik.

Yang lebih mencolok adalah fenomena kotak kosong yang semakin sering terjadi dalam Pilkada. Dalam sebuah negara yang mengklaim diri sebagai demokrasi terbesar ketiga di dunia, keberadaan kotak kosong dalam kontestasi politik seharusnya menjadi aib.

Namun, para elite dengan liciknya memanfaatkan celah ini sebagai strategi politik yang terencana. Alih-alih memberikan pilihan yang beragam kepada rakyat, mereka justru menciptakan situasi di mana kotak kosong menjadi satu-satunya alternatif yang layak.

Fenomena kotak kosong adalah bukti nyata bahwa demokrasi di Indonesia sedang dalam krisis. Ketika rakyat dihadapkan pada pilihan antara kandidat tunggal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atau kotak kosong, jelas terlihat bahwa suara mereka telah direduksi menjadi formalitas belaka. Ini adalah bentuk penghinaan terhadap prinsip dasar demokrasi, di mana rakyat seharusnya memiliki hak untuk memilih dari berbagai opsi yang tersedia.

Para elite yang mengatur skenario kotak kosong ini tampaknya tidak peduli dengan dampaknya terhadap kualitas demokrasi. Bagi mereka, yang terpenting adalah memastikan kekuasaan tetap berada di tangan mereka, dengan atau tanpa persetujuan rakyat. Kotak kosong, bagi mereka, bukanlah ancaman, melainkan jaminan bahwa mereka tidak perlu menghadapi persaingan yang sesungguhnya.

Yang tak kalah memprihatinkan adalah fenomena di mana ketua umum partai justru menjegal kadernya sendiri, seolah-olah prestasi yang telah diraih kader selama menjabat di pemerintahan sama sekali tidak ada artinya. Di tengah hiruk-pikuk perebutan kekuasaan, prestasi dan dedikasi seorang kader menjadi tidak relevan jika tidak sejalan dengan kepentingan sang ketua umum. Padahal, kader yang berprestasi seharusnya dihargai dan didukung, bukan disingkirkan.

Baca juga  Respon Presiden Jokowi Atas Tragedi Kanjuruhan, Minta Kapolri Usut Tuntas Kasus

Kenyataan ini memperlihatkan bahwa partai politik, yang seharusnya menjadi wadah untuk mengembangkan kader dan memberikan yang terbaik bagi rakyat, telah berubah menjadi alat pribadi segelintir elite. Ketum partai lebih sibuk menjaga loyalitas daripada menilai kualitas dan integritas. Mereka lupa bahwa kekuatan partai terletak pada kader-kader yang kompeten, bukan sekadar pada jaringan dan kekuatan politik yang dipertahankan melalui intrik dan persekongkolan.

Dengan menjegal kadernya sendiri, para ketua umum partai bukan hanya menghancurkan karir politik individu yang telah bekerja keras untuk rakyat, tetapi juga mengkhianati kepercayaan publik yang menginginkan pemimpin yang benar-benar berprestasi. Lebih dari itu, tindakan ini menandakan bahwa di dalam partai politik, yang dianggap penting bukanlah kontribusi nyata terhadap masyarakat, melainkan sejauh mana seseorang bisa diatur dan dikendalikan oleh kepentingan kelompok.

Melihat semua dinamika ini, kita harus bertanya: Apakah ini yang disebut demokrasi? Demokrasi seharusnya memberi ruang bagi kompetisi yang sehat, di mana kandidat dipilih berdasarkan kemampuan dan visi mereka untuk memajukan daerahnya. Namun, dalam realitas Pilkada 2024, yang terjadi justru sebaliknya. Demokrasi kita telah direduksi menjadi permainan para elite yang penuh dengan trik kotor, sementara rakyat hanya menjadi penonton yang tidak berdaya.

Kepercayaan rakyat terhadap sistem politik kian tergerus. Ketika para elite terus mengulangi taktik-taktik licik mereka, masyarakat semakin apatis dan kehilangan harapan terhadap perubahan yang sesungguhnya. Ini adalah ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Ketika demokrasi kehilangan substansinya, yang tersisa hanyalah simulasi demokrasi sebuah ilusi yang hanya menguntungkan mereka yang berada di puncak kekuasaan.

Masyarakat yang semakin kritis dan melek informasi memiliki potensi untuk mematahkan persekongkolan elite ini. Keterbukaan informasi dan media sosial memberikan ruang bagi rakyat untuk mengevaluasi dan mengawasi perilaku para elite. Dalam jangka panjang, tekanan dari bawah ini bisa menjadi kekuatan yang mampu mendobrak permainan kotor para elite.

Baca juga  Kepala Otorita Ungkap Adanya Peningkatan Minat Investasi ke IKN

Pilkada 2024 bukan hanya sekadar kontestasi politik lokal, tetapi juga ujian bagi kualitas demokrasi Indonesia. Apakah kita akan terus membiarkan demokrasi dipermainkan oleh segelintir elite, atau kita akan berjuang untuk memastikan bahwa suara rakyat benar-benar didengar? Hanya waktu yang bisa menjawabnya, tetapi satu hal yang pasti: jika persekongkolan elite ini dibiarkan terus berlangsung, tsunami politik yang mereka ciptakan bisa menghancurkan fondasi demokrasi yang kita bangun dengan susah payah.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi

- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru