email : [email protected]

24.2 C
Jambi City
Selasa, September 17, 2024
- Advertisement -

Pilah Pilih Putusan MK, Bukti Lemahnya DPR Hari Ini

Populer

Oerban.com – Demokrasi jadi topik yang tak pernah dingin selama hampir genap satu dekade Jokowi memimpin Indonesia sebagai presiden. Pelan tapi pasti, sosok yang hari ini santer dijuluki “Si Tukang Kayu” oleh netizen itu hampir purna memahat kekuasaan. Hanya tinggal satu momen lagi, mantan Wali Kota Solo itu bakal sukses mewariskan kekuasaan untuk anak dan menantunya.

Cara-cara yang dilakukan Jokowi untuk meneruskan kekuasaan dan membangun dinasti terbilang cukup ekstrem bagi demokrasi, yang notabene mengalami kemunduran dan merosot jauh 10 tahun belakangan. Saat ini menurut data yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit (EIU), di tahun 2023 demokrasi Indonesia masih masuk dalam kategori cacat (flawed democracy), dengan catatan skor hanya sebesar 6,53, turun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Selain ruang kebebasan berekpresi yang semakin menyempit, salah satu persoalan yang kian menonjol saat ini adalah lemahnya supremasi hukum. Di mana hal tersebut merupakan satu dari enam tuntutan reformasi yang belum bisa terselesaikan. Mengutip apa yang pernah disampaikan Fadli Zon, Anggota DPR RI sekaligus politikus Partai Gerindra dalam cuitannya di X bertajuk catatan akhir tahun 2021, pada praktiknya kini Indonesia tidak lagi berprinsip pada “rule of law” (supremasi hukum), namun lebih kepada “rule by law” (supremasi pembuat hukum).

Baca juga: Baleg DPR RI: Abaikan Putusan MK dan Menyelundupkan Amanat Kepentingan Keluarga

Mantan aktivis 98 itu menjelaskan, hukum disusun tidak untuk melayani masyarakat dan menegakkan keadilan, namun bisa dibuat untuk melayani kepentingan kekuasaan dan segelintir orang. Akibatnya, Indonesia yang secara konstitusional merupakan negara hukum (rechtstaat), saat ini sudah hampir seperti negara kekuasaan (machtstaat). Apa yang disampaikan Fadli Zon tersebut, berangkat dari isu dan aksi yang merebak tentang UU Omnibus Law atau Cipta Kerja.

Terkooptasi dengan Jokowi, Peran dan Fungsi DPR Makin Melemah

Semenjak memasuki periode kedua kepemimpinan, Jokowi tidak segan-segan lagi untuk menunjukkan sikap yang dinilai masyarakat sebagai sikap yang otoriter, mulai dari pengesahan UU Cipta Kerja, pembangunan dan pemindahan IKN, sampai ke aturan main Pemilu yang diotak-atik meski tidak secara langsung. Demi melancarkan rencananya, figur yang dibesarkan oleh PDIP itu memperkuat pengaruh ke partai-partai yang ada di Parlemen.

Baca juga  Terkait Pembentukan BRIN, Komisi VII Minta Presiden Tegur Dua Menteri Ini

Selain menanamkan pengaruh dengan memberi jabatan pada petinggi partai di Parlemen, sebut saja Prabowo Subianto, Jokowi juga diduga punya senjata sendiri untuk membuat partai dan fraksi-fraksi yang ada di DPR manut. Pada tahun 2023 lalu misalnya, untuk memamerkan kekuatan yang dimiliki, eks Gubernur Jakarta itu seolah sengaja mengungkap soal data intelejen yang dimiliki. Dengan tegas, Jokowi mengatakan jika sudah mengetahui semua arah partai politik, di mana saat itu sedang hangat momen menuju Pileg dan Pilpres tahun 2024.

Dalam catatan perjalanan yang ada, ancaman dan jeratan kasus merupakan senjata yang paling banyak digunakan untuk menakut-nakuti lawan politik. Hal ini bermula dari adanya revisi UU KPK yang dinilai melemahkan KPK itu sendiri. Ada banyak contoh dugaan KPK dijadikan sebagai alat politik. Misalnya, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar langsung digoyang kasus saat hendak dipasangkan dengan Anies Baswedan pada Pilpres tahun 2024. Lalu, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga sempat diperiksa KPK tidak lama setelah partainya berlawanan dengan Jokowi. Teranyar, kabar mundurnya Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto juga diduga berkaitan erat dengan ancaman kasus minyak goreng.

Beranjak dari kepiawaian Jokowi dalam memanajemen instrumen kekuasaan, hari ini, DPR yang punya imunitas dalam mengkritik dan mengawal jalannya pemerintah sudah melenceng jauh dari tugas dan fungsi. Terbilang mengalami kemunduran, DPR hari ini sama seperti di era orde baru, hanya sekedar cap stempel yang memuluskan langkah penguasa untuk mengeksploitasi negeri.

Tarik mundur satu tahun ke belakang, aturan mengenai batas usia Capres dan Cawapres diotak-atik dengan adanya putusan MK Nomor 90 tahun 2023, sehingga memuluskan langkah putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk bisa mencalonkan diri sebagai Cawapres mendampingi Prabowo. Putusan MK ini menimbulkan banyak kontroversi, sebab sidang putusan dipimpin oleh Anwar Usman yang merupakan paman dari Gibran.

Baca juga  Presiden Jokowi Instruksikan Jajaran Antisipasi Krisis Pangan dan Energi

Imbasnya, Anwar Usman diberhentikan dari posisi Ketua MK usai dinyatakan melanggar kode etik oleh Majelis Kehormatan MK. Jauh sebelum pernyataan resmi disampaikan, masyarakat serta pengamat sudah lebih dulu tahu jika putusan Nomor 90 tersebut cacat secara etika dan sarat akan kepentingan, tetapi, tidak ada respon dan tindak lanjut apapun dari DPR RI selaku pembuat undang-undang. Alasannya tentu karena fraksi-fraksi yang ada sudah terkooptasi dengan pemerintahan Jokowi, serta secara hukum keputusan MK memang bersifat final.

Kendati begitu, hari ini sikap DPR berbanding terbalik, usai adanya putusan MK yang isinya mengcounter putusan MA, terjadi banyak perdebatan di kalangan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Putusan MK yang dinilai merugikan penguasa direspons dengan adanya rapat tindak lanjut oleh Baleg sehari setelah putusan nomor 60 dan 70 tahun 2024 disahkan. Bahkan, terdengar kabar jika Baleg lebih cenderung berpedoman pada putusan MA, sehingga timbul rencana untuk merevisi UU Pilkada sekaligus menganulir putusan MK.

Pilah pilih putusan MK ini menuai banyak kritik dari masyarakat. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga jika terjadi penganuliran sama saja dengan pembangkangan konstitusi. Karenanya, Dosen UI tersebut meminta pemerintah, DPR dan seluruh elemen bangsa tunduk pada putusan tersebut.

“Jangan hanya mau tunduk pada Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia capres,” singgungnya dalam akun X pada Rabu 21 Agustus 2024.

Menghapus Fraksi di DPR RI, Sebuah Tawaran Solusi Perbaikan

Meski kini DPR secara resmi mengumumkan pembatalan pengesahan Revisi UU Pilkada, semua elemen tetap harus waspada dan terus mengawal kebijakan tersebut. Sebab, 575 anggota DPR RI yang tergabung dalam 9 Fraksi bisa saja berubah haluan akibat adanya tekanan pada partai politik (Parpol).

Hadirnya sistem parlemen dengan fraksi-fraksi membuat anggota DPR lebih cenderung mewakili kepentingan petinggi Parpol dibanding kepentingan rakyat. Kasus pemecatan Fahri Hamzah dari PKS jadi bukti nyata jika anggota DPR terkerangkeng oleh partai, kala itu Fahri dianggap sudah tidak sejalan dengan arahan partai.

Baca juga  Singgung RUU Pemilu, Andi Arief Sebut Jokowi Belum Mempunyai Legacy Besar Tentang Demokrasi Dan Kemakmuran

Selain Fahri, Anggota Fraksi PDIP, Bambang Pacul juga terang-terangan menyampaikan kuatnya cengkraman partai terhadap anggota DPR. Ia menyebut pengesahan RUU perampasan aset tergantung dengan ketua partai masing-masing.

“Mungkin RUU Perampasan Aset bisa (disahkan), tapi harus bicara dengan para ketua partai dulu. Kalau di sini nggak bisa, Ini semua nurut bosnya masing-masing,” ungkap Bambang pada Maret 2023 lalu.

Bukti kuatnya pengaruh Parpol terhadap kinerja anggota DPR juga terlihat dari geliat kritik yang biasa disampaikan oleh Fadli Zon. Kini semenjak Gerindra merapat ke koalisi, mantan aktivis 98 itu sudah jarang membagikan cuitan mengenai kebijakan dan kinerja pemerintah. Tidak segetol dan sekeras dulu.

Sebagai yang pernah mengalami peliknya cengkraman partai, Fahri Hamzah sempat berwacana untuk menghapus fraksi-fraksi yang ada di DPR. Wakil Ketua Umum Partai Gelora itu mengatakan, fraksi menjadi alat kepentingan politik ketua umum partai atau elite politik lainnya, dan bukan berpikir untuk rakyat atau konstituen.

Deklarator sekaligus Ketua Umum pertama KAMMI itu menyampaikan, menghapus fraksi merupakan agenda paling penting dalam reformasi politik di Indonesia. Fahri menjelaskan, saat menjadi Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019, dirinya diminta melakukan tindakan yang bertentangan dengan kehendak masyarakat oleh partai sebelumnya, karena dipengaruhi oleh oligarki.

“Saya sendiri memiliki yurisprundensi, makanya waktu itu saya melawan kendali partai, karena berpotensi mendistorsi kehendak rakyat menjadi kehendak parpol. Ini yang mesti kita lawan ke depan,” tegas Fahri pada tahun 2022 silam.

Wacana penghapusan fraksi ini patut diapresiasi, sebab anggota DPR harus murni sebagai wakil rakyat, bukan lagi wakil partai politik. Banyak sudah contoh anggota DPR yang tidak berdaya melawan kehendak partai. Adanya fraksi di DPR membuat oligarki makin mudah untuk mengontrol kekuasaan, tinggal mencari titik lemah pada pimpinan Parpol saja.

Zuandanu Pramana, Pemimpin Rekdaksi Oerban.com

- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru