Berbagai pro dan kontra mengiringi rencana pemerintah pusat untuk tetap menyelenggarakan Pilkada serentak 9 Desember mendatang ditengah pandemi Covid-19,sebagaian pihak menilai pilkada serentak membuka potensi terjadinya penularan virus yang lebih massif di tengah masyarakat,Karena itu perlu ditunda hingga kondisi pandemi mereda dan memungkinkan pemimpin-pemimpin didaerah bisa menangani pandemic dengan maksimal.
Dimana pronya adalah yang tadi dijelaskan bahwa untuk merubah system demokrasi yang baru untuk system kepemimpinan yang lebih baik maka seharusnya pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan , pro muncul pada persepsi rakyat,dimana pronya adalah yang tadi dijelaskan bahwa untuk merubah system demokrasi yang baru ,untuk system kepemimpinan yang lebih baik maka seharusnya pemilihan kepala daerah segera dilaksanakan. agar pasangan calon yang menang segera menduduki jabatannya serta dapat membuat kebijakan kebijakan untuk mengatasi permasalahan didaerah, maupun dapat memberikan solusi pandemi saat ini.
Sebab meski pemimpin daerah yang sudah habis masa menjabatnya bisa digantikan oleh pejabat pelaksana harian (plh) atau pelaksana tugas (Plt), namun dinilai tidak akan berjalan dengan optimal, dan bisa cenderung menimbulkan masalah yang lain.
Hal itu diungkapkan Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI), Aditya Perdana, Rabu (23/9/2020). “Kalau PLT itu terbatas, tidak bisa melakukan putusan-putusan yang strategis. Yang kedua waktunya juga terbatas, PLT itu tidak bisa 5 tahun, seterusnya menjabat, waktunya dibatasi,” kata Adit. Sementara dalam situasi pandemi, menurut Aditya, perlu kebijakan atau keputusan politik yang harus dilakukan dengan strategis dengan baik. Selain itu, menurut dia pandemi Covid-19 belum pasti kapan akan berakhirnya. Ketidakpastian di dalam politik ini dampaknya bisa banyak hal. Apabila tidak dilaksanakan pilkada, dari sisi administrasi dan birokrasi pemerintah akan terhambat.
“Jika ada satu pimpinan dinas, misalnya kepala dinas kesehatan, bekerja tidak maksimal dan harus diganti, pejabat Plh atau Plt tidak memiliki kewenangan untuk ini,” ujar dosen politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) UI itu.
Menjadi kontra adalah pada saat pilkada terdapat klaster baru penularan covid-19, yang meningkantkan angka jumlah warga yang terpapar covid, kita ketahui sangat sulit memprediksi sumber asal covid -19.permasalahan covid 19 bukan lah permasalahan utama, permasalah lainnya adalah partai penyusung pasangan calon dan dapat kita ketahui kemarin sempat gempar terkait keputusan omnibuslaw dan partai mendukung keputusan atau peresmian omnibuslaw tersebut adalah partai PDIP serta beberapa partai lainnya.bagi pasangan calon yang diusung oleh partai PDIP serta partai pendukung penetapan omnibuslaw sulit sekali untuk mendapatkan perhatian rakyat, hal ini tentunya akan mempengaruhi dalam system pemungutan suara, PDIP dianggap sangat arogan terkait penetapan omnibuslaw. Masyarakat sudah cukup kecewa dengan keputusan tersebut, hal tersebut tentunya merugikan paslon yang didukung partai PDIP.sedangkan disisi lain paslon yang diusung partai PKS maupun Demokrat mendapat keuntungan karena mendapat perhatian dari masyarakat, Partai PKS dinilai lebih memikirkan kepentingan rakyat dan dianggap lebih memberikan simpati kepada masyarakat karena menentang secara keras keputusan omnibus law tersebut .hal tersebut tentunya sangat berpengaruh pada perolehan suara pasangan calon kepala daerah.
Berdasarkan keterangan resmi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Senin (23/9/2020), Pilkada menjadi momentum memilih pemimpin di daerah yang bisa mengatasi krisis akibat pandemi di bidang sosial dan ekonomi. “Kalau setting-nya tepat, ini akan menjadi kontribusi dalam rangka menekan (penyebaran) Covid-19 ini. Di negara kita yang menganut sistem demokrasi dengan desentralisasi, kendali sosial kontrol akan sulit dikerjakan oleh pemerintah pusat sendirian, karena sistem desentralisasi membagi kekuasaan pusat dan di daerah-daerah pun juga terbagi lagi menjadi tingkat provinsi dan kabupaten/kota,” jelas Mendagri, Tito Karnavian. Tito juga menyebut dibutuhkan kontribusi dan komitmen dari semua pihak, mulai dari pemerintah, penyelenggara, pasangan calon, hingga masyarakat, untuk tetap menaati protokol kesehatan yang ada. Untuk memastikan semua protokol dijalankan dengan baik, maka penerapan protokol kesehatan juga pelaksanaan aturan pemilu akan disertai dengan sanksi hukum.
“Kemudian penegakan disiplin dan sanksi hukum yang tegas sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, khususnya Pasal 69 huruf e dan huruf j dan 187 ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular khususnya Pasal 14 ayat (1), UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan khususnya Pasal 93,” ungkap Tito. Ada juga sanksi berdasarkan KUHP bagi mereka yang melanggar pasal-pasal tertentu dalam aturan yang digunakan.
Pasalnya, dengan kondisi masih pandemi Covid-19, tetap dilaksanakannya Pilkada 2020 menimbulkan ketakutan akan semakin meningkatnya penyebaran virus tersebut.